Kenaikan Tarif Listrik Bebani Dunia Usaha
A
A
A
JAKARTA - Dampak penyesuaian golongan pelanggan PLN yang mengikuti sistem penyuasaian tarif otomatis bisa lebih besar. Beban paling berat terutama dirasakan kalangan dunia usaha.
“Semua sektor merasa sangat memberatkan. Apalagi, buat usaha yang penggunaan kapasitasnya besar,” kata Haryadi B. Sukamdani, Ketua Umum Apindo, seperti dikutip dari SINDO Weekly, Rabu (3/11/2014).
Seperti diketahui, harga listrik PLN nantinya akan flutuaktif menyesuaikan kurs dolar, harga ICP, dan inflasi. Jadi bisa naik, bisa turun. Oktober kemarin misalnya, harga listrik untuk golongan yang sudah lebih dulu terkena adjustment tariff mengalami penurunan.
Berdasarkan data PT PLN, tarif listrik R3, P1, dan B2 mengalami penurunan dari Rp1.531,86 pada September 2014 menjadi Rp1.515,82 per kWh pada Oktober 2014. Sementara, golongan B3 turun dari Rp1.155,69 pada September 2014 menjadi Rp1.143,59 per kWh pada Oktober 2014.
Sesuai dengan prinsip automatic tariff adjustment, karena kurs dolar AS (USD) rata-rata pada September 2014 turun, maka tarif Oktober menjadi turun. (Baca: Jumlah Golongan Pelanggan PLN Tak Disubsidi Bertambah)
Namun, Apindo menganggap penurunan tarif listrik yang disesuaikan secara otomatis masih lebih mahal. Pangkalnya, tarif listrik sebelumnya sudah tergolong tinggi. “Sudah hampir empat tahun terakhir tarif listrik naiknya gila-gilaan,” ujar Haryadi.
Dampak lainnya, adalah penuruan daya saing produk-produk industri nasional. Apalagi tahun depan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan diberlakukan. Biaya listrik yang tinggi akan mengerek harga jual produk-produk baik barangan maupun jasa.
“Kalau bicara daya saing cukup mengkhawatirkan. Akhirnya masyarakat memandang lebih murah barang impor ketimbang memproduksi sendiri,” tambah Haryadi.
Jadi, kalangan dunia usaha juga tak “merasa diuntungkan” dengan sistem tarif yang baru ini, walaupun ketiga factor penentunya mengalami penurunan. Bisa jadi demikian. Bahkan, tak menutup kemungkinan kalangan usaha kian terjepit ketika rupiah terus melemah.
“Semua sektor merasa sangat memberatkan. Apalagi, buat usaha yang penggunaan kapasitasnya besar,” kata Haryadi B. Sukamdani, Ketua Umum Apindo, seperti dikutip dari SINDO Weekly, Rabu (3/11/2014).
Seperti diketahui, harga listrik PLN nantinya akan flutuaktif menyesuaikan kurs dolar, harga ICP, dan inflasi. Jadi bisa naik, bisa turun. Oktober kemarin misalnya, harga listrik untuk golongan yang sudah lebih dulu terkena adjustment tariff mengalami penurunan.
Berdasarkan data PT PLN, tarif listrik R3, P1, dan B2 mengalami penurunan dari Rp1.531,86 pada September 2014 menjadi Rp1.515,82 per kWh pada Oktober 2014. Sementara, golongan B3 turun dari Rp1.155,69 pada September 2014 menjadi Rp1.143,59 per kWh pada Oktober 2014.
Sesuai dengan prinsip automatic tariff adjustment, karena kurs dolar AS (USD) rata-rata pada September 2014 turun, maka tarif Oktober menjadi turun. (Baca: Jumlah Golongan Pelanggan PLN Tak Disubsidi Bertambah)
Namun, Apindo menganggap penurunan tarif listrik yang disesuaikan secara otomatis masih lebih mahal. Pangkalnya, tarif listrik sebelumnya sudah tergolong tinggi. “Sudah hampir empat tahun terakhir tarif listrik naiknya gila-gilaan,” ujar Haryadi.
Dampak lainnya, adalah penuruan daya saing produk-produk industri nasional. Apalagi tahun depan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan diberlakukan. Biaya listrik yang tinggi akan mengerek harga jual produk-produk baik barangan maupun jasa.
“Kalau bicara daya saing cukup mengkhawatirkan. Akhirnya masyarakat memandang lebih murah barang impor ketimbang memproduksi sendiri,” tambah Haryadi.
Jadi, kalangan dunia usaha juga tak “merasa diuntungkan” dengan sistem tarif yang baru ini, walaupun ketiga factor penentunya mengalami penurunan. Bisa jadi demikian. Bahkan, tak menutup kemungkinan kalangan usaha kian terjepit ketika rupiah terus melemah.
(dmd)