Komponen Penentu Tarif Otomatis Listrik Dipertanyakan

Rabu, 03 Desember 2014 - 19:55 WIB
Komponen Penentu Tarif Otomatis Listrik Dipertanyakan
Komponen Penentu Tarif Otomatis Listrik Dipertanyakan
A A A
JAKARTA - Komponen-komponen yang menjadi penentu penyesuaian tarif otomatis listrik PLN membingungkan sejumlah kalangan. Nilai tukar rupiah misalnya, pergerakannya terjadi setiap hari.

Direktur Eksekutif Institute for Essential, Fabby Tumiwa mempertanyakan, nilai rupiah mana yang akan dipakai selama rentang satu bulan itu? Apakah nilai rupiah yang dipatok adalah Rp12.000 per USD?

“Begitu pula patokan inflasi. Nilai inflasi yang digunakan itu inflasi tahunan, inflasi bulanan, atau inflasi apa?” ujarnya, seperti dikutip dari SINDO Weekly, Rabu (3/12/2014).

Pertanyaan besar adalah kenapa pemerintah memberlakukan penyesuaian tarif otomatis ini berdasarkan tiga komponen. Jawabannya terkait dengan biaya penyediaan listrik yang ditanggung PLN. (Baca: Jumlah Golongan Pelanggan PLN Tak Disubsidi Bertambah)

Untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional, PLN tidak sanggup sendirian memasoknya. Tak pelak, PLN kemudian mengandalkan produksi listrik swasta (independent producer power) yang kebanyakan berjenis PLTU dengan batu bara sebagai bahan penghasilnya.

Sementara harga listrik swasta yang dibeli PLN berpatokan pada harga jual batu bara internasional yang ditetapkan dalam USD. Jadi, penyesuaian tarif otomatis ini untuk mengkompensasi USD yang dibeli PLN untuk membayar listrik swasta.

Kedua, utang luar negeri PLN juga dalam bentuk USD. Sebelumnya, Dahlan Iskan saat menjabat Meneg BUMN pernah menyatakan, bahwa utang luar negeri PLN dan Pertamina hanya sebesar 7% dari total utang swasta yang mencapai USD146 miliar.

Namun meski kecil, kata Fabby, PLN tidak memiliki natural hedge. Artinya, pemasukannya hanya dalam bentuk rupiah. Jadi setiap rupiah melemah PLN akan mengalami kerugian.

PLN juga tidak melakukan hedging untuk mengantisipasi pelemahan rupiah yang lebih dalam. Tak heran, akibat pelemahan rupiah ini PLN mengalami kerugian yang cukup besar. Sepanjang tahun lalu, kerugian PLN akibat kurs mencapai Rp30,9 triliun.

“Itu salah pemerintah juga karena tidak membuat regulasi yang menjadikan rupiah sebagai patokan dalam kontrak," jelas Fabby.

Kedua, harga solar yang dibeli oleh PLN dari Pertamina juga ditetapkan dalam USD. Nah soal yang dibeli oleh PLN dari Pertamina bukan solar yang disubsidi. Jadi, jika harga ICP naik, maka itu juga akan menjadi beban buat PLN. (Baca: Kenaikan Tarif Listrik Bebani Dunia Usaha)

Kedua faktor itu mungkin beralasan. Masalahnya bagaimana dengan inflasi? Ini membingungkan. Selain mau pakai inflasi yang mana, kenaikan tarif akan mendongkrak inflasi.

Inflasi yang naik akan menyundul lagi kenaikan tarif listrik. Jadi akan saling terus menyundul antara inflasi dengan tarif listrik.

“Ya memang sebetulnya patokan kenaikan tarif berdasarkan inflasi tidak tepat. Menurut saya ngawur, tak ada hubungannya (tarif) listrik dengan inflasi,” tandas Ketua Umum Apindo, Haryadi B Sukamdani.

Lebih ribet lagi, lanjut dia, tarif listrik akan ditinjau sebulan sekali dan penyesuaian tarif tak lagi lewat Permen melainkan cukup Direksi PLN. Itu sebabnya, naga-naganya, Permen ini bakal membikin ramai di awal tahun depan.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9131 seconds (0.1#10.140)