Tarif Listrik Baru Tak Sesuai Layanan

Senin, 08 Desember 2014 - 11:28 WIB
Tarif Listrik Baru Tak...
Tarif Listrik Baru Tak Sesuai Layanan
A A A
JAKARTA - Sistem tarif listrik baru yang akan diterapkan pemerintah melalui PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dinilai belum sebanding dengan layanan yang diberikan kepada konsumen.

Melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 31/2014, mulai tahun depan ada penambahan jumlah golongan pelanggan PLN yang terkena penyesuaian tarif secara otomatis, atau biasa disebut automatic adjustment tariff.

Dalam aturan baru itu, hanya golongan pelanggan dengan daya 450 VA dan 950 VA yang tidak diikutkan. Dalam Permen itu, ada delapan golongan yang masuk sistem tarif baru, yakni pelanggan rumah tangga R1 (1.300 VA), rumah tangga R1 (2.200 VA), rumah tangga R2 (3.500-5.500 VA), rumah tangga R3 (6.600 VA ke atas), industri I3 nonterbuka, penerangan jalan umum P3, pemerintah P2 (di atas 200 kVA), dan industri besar (I4) dengan daya 30.000 kVa ke atas.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritisi kebijakan pemerintah yang memberlakukan tarif yang bisa disesuaikan tersebut. YLKI mengatakan, sistem tarif seperti itu baru bisa diberlakukan jika pelayanan sudah memenuhi standar layanan kelas dunia. “Apa layanan PLN sudah kelas dunia? Masih jauh! Infrastruktur listrik juga belum memadai. Masyarakat disuruh bayar mahal, tetapi layanan yang diterima tak sebanding,” tandas Ketua YLKI Tulus Abadi di Jakarta kemarin.

Dia menilai, aturan tarif baru itu hanya akal-akalan pemerintah dan PLN untuk mengalihkan beban ke masyarakat. Pemerintah saat ini berupaya menggenjot rasio elektrifikasi nasional. Namun, untuk itu dibutuhkan investasi yang tidak sedikit sehingga subsidi listrik bagi golongan tertentu dikurangi bahkan dihilangkan. Dikaitkan dengan itu, Tulus menilai, acuan pemerintah dalam kebijakan subsidi tidak jelas.

Ketidakjelasan itu tampak dalam kebijakan penarifan dan pengurangan subsidi listrik. Dia menilai, subsidi listrik itu relatif sudah tepat sasaran, dibandingkan subsidi BBM. Dia menambahkan, pelanggan rumah tangga 1.300 VA pun termasuk golongan menengah ke bawah karena mayoritas mereka berasal dari kebijakan migrasi 450-900 VA yang dilakukan PLN. “Jadi, kasihan masyarakat. Baru saja digebuk harga BBM, sekarang listrik mau dinaikkan juga,” ujarnya. Hal senada dikatakan pengamat energi dari Universitas Indonesia (UI) Iwa Garniwa.

Dia menilai, tarif dasar listrik seharusnya tidak dikaitkan dengan upaya pembangunan infrastruktur kelistrikan. Sebab, pembangunan pembangkit listrik merupakan kewajiban pemerintah, sedangkan subsidi merupakan hak dari masyarakat. “Antara kenaikan dan kebutuhan listrik itu jangan dikaitkan. Gencarnya pembangunan itu memang dibutuhkan. Paling tidak dibutuhkan pembangkit listrik 5.000 MW per tahun untuk menerangi seluruh Indonesia,” ujarnya, dikutip Okezone, belum lama ini.

Iwa mengatakan, dibutuhkan dana sekitar Rp120 triliun untuk membangun pembangkit listrik tenaga uap berkapasitas 5.000 MW. Namun, biaya pembangunan itu merupakan tanggung jawab pemerintah dan tidak bisa dibebankan kepada masyarakat. “Meskipun biaya produksi listrik lebih besar ketimbang tarifnya, tetap saja masyarakat berhak mendapatkan subsidi. Itu tertera di undang- undang ketenagalistrikan. Jangan bertubi-tubi subsidinya dicabut, baru kemarin BBM,” tandasnya.

Kepala Divisi Niaga PLN Benny Marbun menyatakan, berdasarkan mekanisme yang baru, tarif listrik akan dipengaruhi nilai inflasi dari Badan Pusat Statistik (BPS), kurs rupiah yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI), dan harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP). “Jadi kalau biaya pokok naik, tarif ikut naik. Kalau biaya penyedia jasa listrik turun, tarif ikut turun,” ungkapnya.

Terkait kompensasi, Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan Satya Zulfanitra mengatakan bahwa seiring tarif baru, kompensasi atas gangguan listrik pun naik. Kalau tahun ini besarannya 10% dari tagihan minimal, tahun depan besarannya naik 20%. “Kalau realisasi di lapangan salah satu dari lima unsur itu lebih dari 10%, akan diberikan kompensasi sebesar 20% dari tagihan minimal,” ujarnya.

Nanang wijayanto
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0686 seconds (0.1#10.140)