Penerapan Sistem Baru Sebaiknya Ditunda

Selasa, 09 Desember 2014 - 10:57 WIB
Penerapan Sistem Baru Sebaiknya Ditunda
Penerapan Sistem Baru Sebaiknya Ditunda
A A A
JAKARTA - Anggota Dewan menilai pemerintah sebaiknya menunda sistem tarif listrik dengan penyesuaian otomatis yang akan diterapkan mulai Januari 2015.

Sebab, sistem tarif yang berpotensi menaikkan harga listrik yang harus dibayar oleh konsumen itu akan membebani masyarakat yang masih terdampak oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. ”Sebaiknya dipertimbangkan kembali. Pemerintah baru saja menaikkan harga BBM bersubsidi dan itu sudah cukup memberatkan,” ujar Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya W Yudha kepada KORAN SINDO di Jakarta kemarin.

Menurut dia, sistem tarif baru bisa ditunda hingga perekonomian dan pendapatan masyarakat membaik. Satya menambahkan, pelanggan rumah tangga yang terkena aturan sistem tarif baru kebanyakan golongan menengah ke bawah. ”Kita akui, ini juga masih memberatkan. Saya melihat golongan itu merupakan masyarakat bawah yang sangat berat menerima kenaikan tarif tersebut,” ucapnya.

Lebih lanjut dia mengatakan bahwa rencana perubahan sistem tarif itu harus melalui persetujuan DPR setelah mengadakan dengar pendapat dengan pemerintah dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). ”Makanya akan kami jadwalkan lagi. Yang jelas, kenaikan tarif listrik bukan merupakan kewenangan pemerintah dalam hal ini eksekutif, namun harus melalui persetujuan DPR,” tandasnya.

Pemerintah, melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 31/2014, mulai tahun depan akan menambah jumlah golongan pelanggan PLN yang terkena penyesuaian tarif secara otomatis, atau automatic adjustment tariff . Melalui peraturan baru itu, 12 golongan pelanggan listrik, termasuk rumah tangga 1.300 VA hingga 6.600 VA akan terkena penyesuaian tarif dengan mengacu kepada tiga indikator yakni kurs rupiah, harga minyak dunia, serta inflasi.

Menurut Kepala Divisi Niaga PLN Benny Marbun, berdasarkan mekanisme yang baru, tarif listrik dipengaruhi nilai inflasi dari Badan Pusat Statistik (BPS), kurs rupiah yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI), dan harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP). ”Jadi, kalau biaya pokok naik, tarif ikut naik. Kalau biaya penyedia jasa listrik turun, tarif ikut turun,” terangnya barubaru ini.

Sementara, pemerintah menyebutkan bahwa penggunaan tarif baru itu akan menghemat subsidi hingga Rp8,5 triliun. Namun, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritisi kebijakan itu karena dinilai belum sesuai dengan standar pelayanan yang diberikan kepada konsumen. Aturan baru itu juga dinilai hanya akal-akalan pemerintah dan PLN untuk mengalihkan beban investasi kelistrikan ke masyarakat.

Sebab, sistem itu meniadakan subsidi listrik bagi golongan tertentu yang sebetulnya masih rentan, seperti pelanggan rumah tangga 1.300 VA yang banyak di antaranya berasal dari kebijakan migrasi 450-900 VA yang dilakukan PLN. Terpisah, Bendahara Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpi Bayu Priawan Djokosoetono mengatakan, kalangan pengusaha berharap kenaikan tarif listrik betul-betul diikuti dengan kepastian perbaikan pelayanan.

”Jangan sampai setelah kenaikan tetapi black out masih ada. Buat kita, jika mau naik silakan, asal kepastian itu ada. Jadi, kita mempunyai penyesuaian terhadap industri kita,” tegasnya.

Ichsan amin/ Oktiani endarwati
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7264 seconds (0.1#10.140)