Permintaan Minyak Global Melemah
A
A
A
PARIS - Permintaan global terhadap minyak mentah akan tumbuh di level paling lemah pada 2015 dibandingkan proyeksi sebelumnya meski harga turun.
Laporan itu diungkapkan Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) kemarin. IEA memperingatkan penurunan harga minyak mentah lebih lanjut berisiko bagi stabilitas sosial di negara-negara produsen minyak seperti Rusia dan Venezuela. “Permintaan minyak untuk 2015 saat ini diperkirakan tumbuh 0,9 juta barel per hari (bph) mencapai 93,3 juta bph, sekitar 230.000 bph lebih sedikit dibandingkan proyeksi sebelumnya,” papar laporan IEA dalam revisi penurunan keempat dalam lima bulan, dikutip kantor berita AFP .
Hanya minyak mentah turun hingga 50% sejak Juni dan sekarang diperdagangkan sekitar USD60, level terendah sejak lima tahun lalu. Kondisi ini terjadi seiring peningkatan produksi shale oil asal Amerika Serikat (AS) yang membuat suplai di pasar me-limpah. Kendati demikian, minyak murah itu tidak akan mendorong konsumsi. “Mungkin membutuhkan waktu bagi suplai dan permintaan untuk merespons penurunan harga,” ungkap IEA.
“Pangsa pasar yang hilang akibat sumber energi terbarukan tampaknya akan digantikan lagi oleh minyak mentah yang lebih murah.” Menurut IEA, di negara-negara kaya yang tergabung dalam OECD, pemulihan ekonomi yang lemah, pertumbuhan gaji yang rendah, dan tekanan deflasi akan terus membuat harga minyak terus tertekan. Keadaan ini akan merugikannegara- negarayangsangat tergantung pada ekspor minyak.
Terutama Rusia yang sangat bergantung pada ekspor energi untuk setengah dari total pendapatannya. Negara itu telah terpukul oleh penurunan harga minyak mentah dan berbagai sanksi Barat. IEA menyatakan, kondisi ini mengakibatkan penurunan besar pada permintaan minyak global ke Rusia yang sekarang diperkirakan mencapai penurunan 2,4 juta bah atau 195.000 bph di bawah proyeksi bulan lalu.
“Harga minyak yang lebih rendah merusak pendapatan ekspor di negara-negara pengekspor minyak memangkas pendapatan mereka dan menurunkan permintaan. Di negara-negara yang mengalami krisis keuangan seperti Venezuela dan Rusia dampaknya akan lebih besar saat berbagai risiko muncul,” ungkap IEA.
“Penurunan harga minyak akan meningkatkan risiko kekacauan sosial atau kesulitan keuangan jika para produsen itu mengalami kesulitan membayar kembali utangnya,” papar IEA. Rusia mengakui merugi hingga USD100 miliar per tahun karena penurunan harga minyak mentah.
Meski demikian, itu terjadi pada November saat minyak mentah masih diperdagangkan sekitar USD80 per barel. Jumat (12/12) lalu harga minyak mentah acuan AS, West Texas Intermediate (WTI), untuk pengiriman Januari diperdagangkan di bawah batas psikologis USD60 per barel yakni pada harga USD58,80. Harga minyak mentah brent turun mencapai USD62,75.
Penurunan harga minyak itu memicu perubahan mendasar di pasar energi. Negara-negara yang beralih ke sumber energi terbarukan atau energi yang lebih efisien dan teknologi baru memicu terjadi boom shale oil, khususnya di AS. Christian Stocker, strategis di Uni Creditdi Munich, berpendapat, rendahnya harga energi akan mendorongpermintaankonsumendan menguatnya dolar akan meningkatkan dampak positif pada ekspor Eropa.
“Proyeksi pendapatan dari sektor yang berorientasi konsumen akan membaik dalam lingkungan ini,” tuturnya. “Tapi, sektor komoditas seperti sumber daya dasar, minyak, dan gas tetap dalam tekanan sehingga berdampak pada suplai bahan baku industri penting yakni logam dan minyak.”
Syarifudin
Laporan itu diungkapkan Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) kemarin. IEA memperingatkan penurunan harga minyak mentah lebih lanjut berisiko bagi stabilitas sosial di negara-negara produsen minyak seperti Rusia dan Venezuela. “Permintaan minyak untuk 2015 saat ini diperkirakan tumbuh 0,9 juta barel per hari (bph) mencapai 93,3 juta bph, sekitar 230.000 bph lebih sedikit dibandingkan proyeksi sebelumnya,” papar laporan IEA dalam revisi penurunan keempat dalam lima bulan, dikutip kantor berita AFP .
Hanya minyak mentah turun hingga 50% sejak Juni dan sekarang diperdagangkan sekitar USD60, level terendah sejak lima tahun lalu. Kondisi ini terjadi seiring peningkatan produksi shale oil asal Amerika Serikat (AS) yang membuat suplai di pasar me-limpah. Kendati demikian, minyak murah itu tidak akan mendorong konsumsi. “Mungkin membutuhkan waktu bagi suplai dan permintaan untuk merespons penurunan harga,” ungkap IEA.
“Pangsa pasar yang hilang akibat sumber energi terbarukan tampaknya akan digantikan lagi oleh minyak mentah yang lebih murah.” Menurut IEA, di negara-negara kaya yang tergabung dalam OECD, pemulihan ekonomi yang lemah, pertumbuhan gaji yang rendah, dan tekanan deflasi akan terus membuat harga minyak terus tertekan. Keadaan ini akan merugikannegara- negarayangsangat tergantung pada ekspor minyak.
Terutama Rusia yang sangat bergantung pada ekspor energi untuk setengah dari total pendapatannya. Negara itu telah terpukul oleh penurunan harga minyak mentah dan berbagai sanksi Barat. IEA menyatakan, kondisi ini mengakibatkan penurunan besar pada permintaan minyak global ke Rusia yang sekarang diperkirakan mencapai penurunan 2,4 juta bah atau 195.000 bph di bawah proyeksi bulan lalu.
“Harga minyak yang lebih rendah merusak pendapatan ekspor di negara-negara pengekspor minyak memangkas pendapatan mereka dan menurunkan permintaan. Di negara-negara yang mengalami krisis keuangan seperti Venezuela dan Rusia dampaknya akan lebih besar saat berbagai risiko muncul,” ungkap IEA.
“Penurunan harga minyak akan meningkatkan risiko kekacauan sosial atau kesulitan keuangan jika para produsen itu mengalami kesulitan membayar kembali utangnya,” papar IEA. Rusia mengakui merugi hingga USD100 miliar per tahun karena penurunan harga minyak mentah.
Meski demikian, itu terjadi pada November saat minyak mentah masih diperdagangkan sekitar USD80 per barel. Jumat (12/12) lalu harga minyak mentah acuan AS, West Texas Intermediate (WTI), untuk pengiriman Januari diperdagangkan di bawah batas psikologis USD60 per barel yakni pada harga USD58,80. Harga minyak mentah brent turun mencapai USD62,75.
Penurunan harga minyak itu memicu perubahan mendasar di pasar energi. Negara-negara yang beralih ke sumber energi terbarukan atau energi yang lebih efisien dan teknologi baru memicu terjadi boom shale oil, khususnya di AS. Christian Stocker, strategis di Uni Creditdi Munich, berpendapat, rendahnya harga energi akan mendorongpermintaankonsumendan menguatnya dolar akan meningkatkan dampak positif pada ekspor Eropa.
“Proyeksi pendapatan dari sektor yang berorientasi konsumen akan membaik dalam lingkungan ini,” tuturnya. “Tapi, sektor komoditas seperti sumber daya dasar, minyak, dan gas tetap dalam tekanan sehingga berdampak pada suplai bahan baku industri penting yakni logam dan minyak.”
Syarifudin
(bbg)