Neraca Transaksi Berjalan Kunci Perekonomian 2015

Rabu, 17 Desember 2014 - 09:48 WIB
Neraca Transaksi Berjalan...
Neraca Transaksi Berjalan Kunci Perekonomian 2015
A A A
Seberapa optimiskah perekonomian Indonesia 2015? Banyak proyeksi mengatakan, perekonomian kita akan jauh lebih baik dibanding kinerja tahun ini. Namun, ada pula yang pesimistis mampu meraih tonggak penting untuk tumbuh tinggi pada kisaran 7%, seperti obsesi pemerintah baru.

Faktor apa saja yang menghambat pencapaian kinerja perekonomian 2015? Dan bagaimana pula mitigasinya? Nampaknya dua pertanyaan ini akan menjadi penentu keberhasilan kita menapaki tahun 2015 dengan penuh harapan. Mampukah? Masih akan ditentukan oleh kemauan kita mengelola persoalan jangka pendek, menengah dan panjang.

Dalam jangka pendek, kita menghadapi gejolak nilai tukar yang terus mendera. Pada awal Desember ini, nilai tukar berada pada kisaran Rp 12.300-an, atau melemah lebih dari 26% dari angka sebelum bulan Mei tahun lalu. Dari sisi aliran modal asing di pasar modal, nampaknya bulan Desember ini tak terlalu banyak gairah yang muncul. Secara umum, sejak bulan Agustus investor asing terlihat enggan masuk.

Sepanjang bulan Agustus justru terjadi “pelarian modal” atau aksi net selling oleh investor asing di pasar modal kita sebesar Rp1,31 triliun. Pada bulan September kembali terjadi aliran masuk atau net-buying senilai Rp1,26 triliun. Namun pada bulan Oktober kembali terjadi netselling senilai Rp3,20 triliun.

Pada bulan November, pasar kembali bergairah dengan peningkatan aktivitas pembelian saham senilai Rp5,2 triliun. Apakah bulan Desember akan kembali naik? Dilihat dari transaksi harian selama minggu pertama Desember, agak pesimistis aliran masuk di pasar modal akan lebih tinggi dari bulan November. Pertanyaannya, mengapa rupiah cenderung melorot sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) stagnan pada level 5.200-an?

Fundamental Makro

Harus jujur diakui, rupiah melemah disebabkan oleh faktorfaktor struktural, sehingga perlemahan nilai tukar juga bersifat fundamental. Jika persoalannya sekadar teknikal, maka upaya mitigasi jangka pendek bisa dilakukan. Namun jika masalahnya adalah fundamental, diperlukan langkah-langkah struktural lebih lanjut untuk mereformasi perekonomian domestik.

Nilai tukar melemah menembus angka Rp10.000 untuk pertama kalinya pada 15 Juli 2013 lalu. Fluktuasi rupiah meningkat pasca pengumuman Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/The Fed) yang berencana mengurangi program stimulus ekonomi melalui pembelian surat utang berharga terbitan kementrian keuangan AS melalui pencetakan uang. Sejak saat itulah pasokan likuditas ke negara berkembang mulai seret.

Lebih jauh lagi, perekonomian Indonesia dikategorikan sebagai salah satu dari lima negara yang paling banyak ditinggalkan oleh investor asing. Bersama India, Brasil, Turki dan Afrika Selatan, kita tergabung dalam “The Fragile Five”. Hingga hari ini, predikat tersebut sebenarnya belum dicabut. Hanya intensitasnya berkurang setelah terjadi pergantian kepemimpinan.

Dulu, investor begitu optimistis dengan pemerintah baru yang dianggap akan mampu menyelesaikan persoalan struktural perekonomian. Namun, optimisme tersebut terganjal oleh berbagai macam hal yang membuat penguatan nilai tukar terhambat. Pelemahan nilai tukar di pengujung tahun ini disebabkan oleh indikasi tak membaiknya fundamental ekonomi.

Inflasi bulan November sebesar 1,5% sehingga mendorong inflasi tahunan menjadi 6,3% sebenarnya sudah diperhitungkan investor. Namun, data neraca perdagangan bulan Oktober yang hanya mencatatkan surplus sebesar USD23 juta tentu menjadi tanda bahkan persoalan defisit transaksi berjalan (current account deficit) belum akan membaik di tahun 2014 ini.

Pada kuartal III/2014, defisit neraca transaksi berjalan senilai USD6,8 miliar atau mengalami penurunan dibandingkan dengan kuartal II tahun yang sama, dengan nilai USD8,68 miliar. Dibandingkan dengan kuartal III/2013 juga mengalami penurunan, karena waktu itu defisit mencapai USD8,63 miliar. Namun, investor tetap pesimistis hingga akhir tahun defisit current account akan berada di bawah USD20 miliar. Sepanjang 2013 lalu, defisit current account mencapai USD29 miliar.

Artinya, kalaupun membaik, belum sesuai harapan investor. Secara umum, tahun 2014 akan ditutup dengan berita yang kurang menggembirakan jika defisit neraca transaksi berjalan masih berada pada kisaran 3% terhadap produk domestik bruto (PDB), sementara pertumbuhan PDB sendiri hanya sekitar 5,1%. Artinya, hanya untuk tumbuh sekitar 5%, perlu mobilisasi sumber daya asing (barang modal, bahan baku) senilai 3% terhadap PDB.

Ekspansi Perekonomian

Jika tahun 2014 dianggap tak terlalu menjanjikan, bagaimana dengan kondisi 2015 yang akan datang? Bukankah ada kesempatan untuk mendorong kredit, memperbesar investasi dan juga pengeluaran pemerintah untuk memacu pertumbuhan? Nampaknya, kuncinya akan terletak pada sejauh mana kita mampu menurunkan defisit neraca transaksi berjalan.

Sepanjang 2014 pemerintah dengan sengaja tak mau terlalu ekspansif, karena takut mendorong investasi yang ujungnya menyedot impor. Kredit juga ditahan supaya jangan sampai tumbuh di atas 15%, lagi-lagi khawatir akan memacu permintaan barang impor. Pasalnya, untuk tumbuh dengan angka sangat moderat pun, defisit transaksi berjalan sudah tinggi. Jika tidak dimitigasi, bisa dibayangkan defisit transaksi berjalan akan terus melebar.

Maka dari itu, fokus pemerintah pada enam bulan ke depan harus sangat jelas, yaitu memitigasi defisit transaksi berjalan. Kita tahu, tulang punggung neraca transaksi berjalan adalah neraca perdagangan. Begitu neraca perdagangan merosot, defisit transaksi berjalan langsung jeblok. Masalahnya, untuk memitigasi neraca perdagangan, caranya hanya ada dua yaitu menaikkan ekspor atau menurunkan impor.

Jika menurunkan impor akan membuat pertumbuhan terganggu, maka tinggal satu pilihan yaitu menaikkan ekspor. Menaikkan ekspor ternyata tak begitu saja mudah, karena selama ini andalan ekspor kita adalah komoditas primer. Begitu harga komoditas di pasar dunia turun, maka penerimaan ekspor kita juga langsung turun. Maka dari itu, harus dilakukan diversifikasi produk ekspor.

Artinya, meningkatkan peran produk ekspor non-migas. Masalahnya, membenahi sektor industri manufaktur, daya saing, logistik dan perizinan membutuhkan waktu yang lama, selain mensyaratkan koordinasi yang baik. Namun, tidak ada pilihan terlalu banyak yang tersedia. Tinggal pemerintah mampu mengidentifikasi persoalan dengan baik, sehingga dalam enam bulan ke depan ada dampak konkret pada neraca transaksi berjalan kita.

Jika tak ada dampak konkret, berarti memang ada yang salah dalam pola kebijakan dan kinerja pemerintah. Neraca transaksi berjalan benar-benar menjadi tolok ukur keberhasilan pemerintah dalam mengelola perekonomian. Semoga pemerintah baru tak menghabiskan waktu terlalu banyak untuk hal-hal yang tak perlu.
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0578 seconds (0.1#10.140)