RI Tak Masuk Daftar Pemasok Herbal Dunia
A
A
A
JAKARTA - Indonesia belum masuk dalam daftar pemasok utama dari rantai perdagangan dan industri herbal global. Selama ini pasokan utama datang dari negara seperti China, Brasil, dan India.
Kenyataan ini sungguh ironis bila mengingat Indonesia merupakan negara dengan kekayaan ragam hayati (biodiversity) terbesar kedua di dunia setelah Brasil.
“Kalau digabungkan dengan tanaman laut, kita malah nomor satu di dunia. Tapi sebagai suplier herbal, negara kita masih belum ada namanya,” ujar Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) bidang Industri Berbasis Budaya Putri K Wardhani di sela-sela peluncuran Gerakan Minum Jamu (GMJ) yang digelar di Kementerian Perdagangan (Kemendag) Jakarta, kemarin.
Menurut dia, Indonesia memiliki warisan budaya turun-temurun berupa minuman herbal yaitu jamu. Untuk bisa menjadi pemasok global, kata Putri, volume perdagangan dan ekspor jamu juga harus ditingkatkan berpuluh kali lipat. Putri mencatat tren pertumbuhan industri jamu saat ini masih cukup baik, yaitu pada kisaran dua digit. Kendati demikian, dia mengharapkan dukungan berbagai pihak untuk memajukan industri jamu Indonesia.
“Salah satu kendala adalah kurangnya keberpihakan dari pemilik pusat perbelanjaan atau mal. Mereka kerap lebih mengutamakan produk impor daripada produk industri budaya Indonesia sendiri,” cetusnya. Putri menambahkan, jamu sebagai warisan budaya asli Indonesia, juga harus mendapat pengakuan dunia internasional. Untuk itu, pemerintah didesak untuk segera mendaftarkan jamu ke UNESCO, agar tidak diklaim negara lain.
Contohnya Malaysia yang belakangan mulai menggunakan istilah jamu Malaysia untuk menyebut minuman herbal mereka yang dulunya disebut obat kampung. “Jamu itu kan asal katanya dari Jawa, yaitu Jampi Usada yang berarti ramuan kesehatan. Negara lain mungkin juga punya khas sendiri, ya silakan. Misalnya China dengan shinshe - nya atau India dengan ayurvedanya. Kalau jamu ya dari Indonesia,” tegasnya.
Maraknya jamu tidak berizin atau ilegal menjadi tantangan lain. Putri mengungkapkan, saat ini total nilai perdagangan jamu dan kosmetika mencapai Rp80 triliun, di mana 20%-nya atau sekitar Rp15 triliun merupakan produk ilegal yang berasal dari Indonesia maupun impor. Menurut Putri, pihaknya juga sudah melihat masuknya jamu impor dari Malaysia, di mana sebagian diperjualbelikan melalui e-commerce. “Itu sedang ditelusuri lebih jauh terkait legalitasnya. Pasalnya, kalau melalui e-commerce itu kan sulit, kadang BPOM pun tidak tahu bahwa produk itu beredar,” ungkapnya.
Menyikapi hal itu, Putri mengimbau masyarakat untuk cerdas dan teliti dalam membeli produk yang jelas track record perusahaan pembuatnya. Pada kesempatan yang sama, Menteri Perdagangan (Mendag) Rachmat Gobel juga mengingatkan kepada para penjual atau produsen jamu untuk tidak menambahkan unsur bahan kimia kepada produk jamu racikannya.
Ia juga menegaskan komitmen pemerintah mendorong pelestarian jamu. Salah satu caranya dengan membudayakan gerakan minum jamu di lingkungan Kemendag setiap Jumat. “Kita akan dorong pengembangan jamu baik yang masih tradisional seperti jamu gendong maupun yang sudah skala industri modern,” sebutnya.
Salah seorang inisiator Dewan Jamu, Bayu Krisnamurthi, mengatakan bahwa sama seperti batik, jamu merupakan produk yang punya arti sosial-budaya yang kental, tapi juga punya potensi bisnis yang besar. “Nilai penjualan jamu saat ini diperkirakan mencapai Rp14 triliun, baik di dalam maupun luar negeri,” sebut mantan wakil menteri perdagangan itu. Bayu menambahkan, peluang jamu juga bagus seiring dengan tren gaya hidup kembali ke alam dan mengonsumsi produk organik.
Selain itu, mengonsumsi jamu untuk menjaga kesehatan juga sejalan dengan prinsip bahwa mencegah (datangnya penyakit) lebih baik daripada mengobati (setelah sakit). Data GP Jamu menyebutkan industri ini, mampu menyerap 15 juta tenaga kerja, di-mana 3 juta diantaranya terserap di industri jamu yang berfungsi sebagai obat.
Sisanya sebanyak 12 juta tenaga kerja terserap di industri jamu yang berkembang ke arah makanan, minuman, kosmetik, spa, dan aromaterapi.
Inda susanti
Kenyataan ini sungguh ironis bila mengingat Indonesia merupakan negara dengan kekayaan ragam hayati (biodiversity) terbesar kedua di dunia setelah Brasil.
“Kalau digabungkan dengan tanaman laut, kita malah nomor satu di dunia. Tapi sebagai suplier herbal, negara kita masih belum ada namanya,” ujar Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) bidang Industri Berbasis Budaya Putri K Wardhani di sela-sela peluncuran Gerakan Minum Jamu (GMJ) yang digelar di Kementerian Perdagangan (Kemendag) Jakarta, kemarin.
Menurut dia, Indonesia memiliki warisan budaya turun-temurun berupa minuman herbal yaitu jamu. Untuk bisa menjadi pemasok global, kata Putri, volume perdagangan dan ekspor jamu juga harus ditingkatkan berpuluh kali lipat. Putri mencatat tren pertumbuhan industri jamu saat ini masih cukup baik, yaitu pada kisaran dua digit. Kendati demikian, dia mengharapkan dukungan berbagai pihak untuk memajukan industri jamu Indonesia.
“Salah satu kendala adalah kurangnya keberpihakan dari pemilik pusat perbelanjaan atau mal. Mereka kerap lebih mengutamakan produk impor daripada produk industri budaya Indonesia sendiri,” cetusnya. Putri menambahkan, jamu sebagai warisan budaya asli Indonesia, juga harus mendapat pengakuan dunia internasional. Untuk itu, pemerintah didesak untuk segera mendaftarkan jamu ke UNESCO, agar tidak diklaim negara lain.
Contohnya Malaysia yang belakangan mulai menggunakan istilah jamu Malaysia untuk menyebut minuman herbal mereka yang dulunya disebut obat kampung. “Jamu itu kan asal katanya dari Jawa, yaitu Jampi Usada yang berarti ramuan kesehatan. Negara lain mungkin juga punya khas sendiri, ya silakan. Misalnya China dengan shinshe - nya atau India dengan ayurvedanya. Kalau jamu ya dari Indonesia,” tegasnya.
Maraknya jamu tidak berizin atau ilegal menjadi tantangan lain. Putri mengungkapkan, saat ini total nilai perdagangan jamu dan kosmetika mencapai Rp80 triliun, di mana 20%-nya atau sekitar Rp15 triliun merupakan produk ilegal yang berasal dari Indonesia maupun impor. Menurut Putri, pihaknya juga sudah melihat masuknya jamu impor dari Malaysia, di mana sebagian diperjualbelikan melalui e-commerce. “Itu sedang ditelusuri lebih jauh terkait legalitasnya. Pasalnya, kalau melalui e-commerce itu kan sulit, kadang BPOM pun tidak tahu bahwa produk itu beredar,” ungkapnya.
Menyikapi hal itu, Putri mengimbau masyarakat untuk cerdas dan teliti dalam membeli produk yang jelas track record perusahaan pembuatnya. Pada kesempatan yang sama, Menteri Perdagangan (Mendag) Rachmat Gobel juga mengingatkan kepada para penjual atau produsen jamu untuk tidak menambahkan unsur bahan kimia kepada produk jamu racikannya.
Ia juga menegaskan komitmen pemerintah mendorong pelestarian jamu. Salah satu caranya dengan membudayakan gerakan minum jamu di lingkungan Kemendag setiap Jumat. “Kita akan dorong pengembangan jamu baik yang masih tradisional seperti jamu gendong maupun yang sudah skala industri modern,” sebutnya.
Salah seorang inisiator Dewan Jamu, Bayu Krisnamurthi, mengatakan bahwa sama seperti batik, jamu merupakan produk yang punya arti sosial-budaya yang kental, tapi juga punya potensi bisnis yang besar. “Nilai penjualan jamu saat ini diperkirakan mencapai Rp14 triliun, baik di dalam maupun luar negeri,” sebut mantan wakil menteri perdagangan itu. Bayu menambahkan, peluang jamu juga bagus seiring dengan tren gaya hidup kembali ke alam dan mengonsumsi produk organik.
Selain itu, mengonsumsi jamu untuk menjaga kesehatan juga sejalan dengan prinsip bahwa mencegah (datangnya penyakit) lebih baik daripada mengobati (setelah sakit). Data GP Jamu menyebutkan industri ini, mampu menyerap 15 juta tenaga kerja, di-mana 3 juta diantaranya terserap di industri jamu yang berfungsi sebagai obat.
Sisanya sebanyak 12 juta tenaga kerja terserap di industri jamu yang berkembang ke arah makanan, minuman, kosmetik, spa, dan aromaterapi.
Inda susanti
(ars)