Buruh di Kudus Hanya Nikmati 5% Dana Cukai Tembakau
A
A
A
JAKARTA - Efektivitas dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) untuk kepentingan buruh rokok dipertanyakan.
Hal itu dikarenakan, hanya 5 % dari dana cukai itu yang bisa dinikmati buruh. Minimnya serapan dana cukai untuk kalangan buruh ini berdasar hitungan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Pijakan yang dipakai, yakni jumlah buruh rokok yang terekrut dalam pelatihan kerja dan mendapatkan hibah dana cukai.
"Jadi mayoritas dana cukai justru malah banyak terserap untuk kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan hajat hidup buruh rokok," kata Koordinator KSBSI Kudus, Slamet Machmudi, Rabu (31/12/2014).
Sejak 2009 hingga sekarang, Pemkab Kudus sudah mendapat dana bagi hasil cukai yang dikucurkan pemerintah pusat. Tiap tahun jumlahnya terus bertambah.
Jika awalnya hanya puluhan miliar, pada 2014 jumlahnya sudah mencapai Rp144 miliar. Dana ini dibagikan untuk 13 instansi pemerintah di lingkup Pemkab Kudus.
Seperti Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK), Dinsosnakertrans, Satpol PP hingga Kantor Ketahanan Pangan.
Machmudi mengatakan, peruntukan dana cukai yang berjalan selama ini belum sepenuhnya tepat sasaran. Indikasinya, banyak proyek pemerintah yang dibiayai dana cukai namun kondisinya mangkrak.
Beberapa di antaranya seperti mega proyek Lingkungan Industri Kecil (LIK) Industri Hasil Tembakau yang menelan anggaran hingga Rp22 miliar, sejumlah sarana kesehatan di puskesmas dan lain sebagainya.
KSBSI menyayangkan sikap Pemkab Kudus yang hingga kini belum memiliki database terkait buruh IHT. Keberadaan buruh IHT belum mendapatkan perhatian maksimal.
"Pemanfaatan dana cukai untuk pelatihan keterampilan kerja dan pemberian hibah belum menyentuh pada subtansi persoalan. Buruh sebagai salah satu stakeholder IHT belum terberdayakan dana cukai," tutur dia.
Berpijak dari persoalan ini, pihaknya mendesak Pemkab Kudus lebih memprioritaskan alokasi dana cukai untuk penyiapan dan peningkatan kesejahteraan buruh rokok.
Sebab, dari tahun ke tahun potret industri sektor rokok, terlebih kelas gurem di Kudus kian memprihatinkan.
Hal ini imbas dari berbagai faktor, mulai dari tingginya tarif cukai rokok, naiknya harga bahan baku hingga regulasi pembatasan produksi rokok yang terus digencarkan pemerintah pusat.
Dan berbagai faktor tersebut, khususnya regulasi pemerintah "berhasil" menggencet IHT, terlebih kategori kelas gurem.
"Kondisi riil di lapangan seperti itu. Maka, mekanisme penyelamatan dampak regulasi IHT bagi buruh sifatnya mendesak. Jika upaya ini terlambat dilakukan, maka akan muncul pengangguran baru imbas dari penutupan usaha IHT," tandasnya.
Hal itu dikarenakan, hanya 5 % dari dana cukai itu yang bisa dinikmati buruh. Minimnya serapan dana cukai untuk kalangan buruh ini berdasar hitungan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Pijakan yang dipakai, yakni jumlah buruh rokok yang terekrut dalam pelatihan kerja dan mendapatkan hibah dana cukai.
"Jadi mayoritas dana cukai justru malah banyak terserap untuk kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan hajat hidup buruh rokok," kata Koordinator KSBSI Kudus, Slamet Machmudi, Rabu (31/12/2014).
Sejak 2009 hingga sekarang, Pemkab Kudus sudah mendapat dana bagi hasil cukai yang dikucurkan pemerintah pusat. Tiap tahun jumlahnya terus bertambah.
Jika awalnya hanya puluhan miliar, pada 2014 jumlahnya sudah mencapai Rp144 miliar. Dana ini dibagikan untuk 13 instansi pemerintah di lingkup Pemkab Kudus.
Seperti Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK), Dinsosnakertrans, Satpol PP hingga Kantor Ketahanan Pangan.
Machmudi mengatakan, peruntukan dana cukai yang berjalan selama ini belum sepenuhnya tepat sasaran. Indikasinya, banyak proyek pemerintah yang dibiayai dana cukai namun kondisinya mangkrak.
Beberapa di antaranya seperti mega proyek Lingkungan Industri Kecil (LIK) Industri Hasil Tembakau yang menelan anggaran hingga Rp22 miliar, sejumlah sarana kesehatan di puskesmas dan lain sebagainya.
KSBSI menyayangkan sikap Pemkab Kudus yang hingga kini belum memiliki database terkait buruh IHT. Keberadaan buruh IHT belum mendapatkan perhatian maksimal.
"Pemanfaatan dana cukai untuk pelatihan keterampilan kerja dan pemberian hibah belum menyentuh pada subtansi persoalan. Buruh sebagai salah satu stakeholder IHT belum terberdayakan dana cukai," tutur dia.
Berpijak dari persoalan ini, pihaknya mendesak Pemkab Kudus lebih memprioritaskan alokasi dana cukai untuk penyiapan dan peningkatan kesejahteraan buruh rokok.
Sebab, dari tahun ke tahun potret industri sektor rokok, terlebih kelas gurem di Kudus kian memprihatinkan.
Hal ini imbas dari berbagai faktor, mulai dari tingginya tarif cukai rokok, naiknya harga bahan baku hingga regulasi pembatasan produksi rokok yang terus digencarkan pemerintah pusat.
Dan berbagai faktor tersebut, khususnya regulasi pemerintah "berhasil" menggencet IHT, terlebih kategori kelas gurem.
"Kondisi riil di lapangan seperti itu. Maka, mekanisme penyelamatan dampak regulasi IHT bagi buruh sifatnya mendesak. Jika upaya ini terlambat dilakukan, maka akan muncul pengangguran baru imbas dari penutupan usaha IHT," tandasnya.
(izz)