Imbas Kenaikan Cukai, Penjualan Rokok Amblas 33 Miliar Batang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Tanaman Semusim dan Rempah, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan), Hendratmojo Bagus Hudoro, menyambut baik rencana penyusunan roadmap Industri Hasil Tembakau yang diinisiasi oleh Kemenko Perekonomian RI.
Menurutnya, roadmap yang ada di masing-masing Kementerian/Lembaga akan dirakit menjadi satu kesatuan roadmap yang terintegrasi hulu hilir. Dengan demikian, konsepsinya roadmap ini diharapkan akan mempertemukan hulu-hilir secara sinergis dan berkelanjutan. "Sehingga supply demand bisa diwujudkan keseimbangan," kata Bagus Hudoro dihubungi di Jakarta, Jumat (16/4/2021).
Bagus Hudoro berharap dengan tercapainya keseimbangan supply-demand, tentu akan memberikan manfaat bagi produsen (petani tembakau) baik dalam jaminan pemasaran dan apresiasi harga sesuai kualitas produk yang dihasilkan. "Sehingga, diharapkan industri hasil tembakau akan mengutamakan serapan tembakau petani untuk memenuhi bahan baku," katanya.
Ketua DPD Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Nusa Tenggara Barat, Sahminudin mengeluhkan kebijakan pemerintah yang menaikan cukai hasil tembakau sebesar 12,5% sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 198/PMK.010/2020. Pasalnya, kenaikan cukai 12,5% akan berdampak pada menurunnya penjualan rokok sebesar 33 miliar batang, dan berkurangnya penyerapan tembakau 33 ribu ton.
"Di tengah pandemi Covid-19 yang berimplikasi pada goncangnya perekonomian nasional juga berdampak pada kemampuan daya beli masyarakat. Sehingga juga memberikan dampak bagi petani tembakau," kata Sahminudin.
Ia mengatakan, kenaikan cukai juga akan meningkatkan rokok ilegal. Ketika suatu barang naik termasuk rokok yang tidak diimbangi dengan naiknya pendapatan, maka daya beli akan pincang (turun).
PMK No 152/2019 yang menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 23% dan Harga Jual Eceran (HJE) 35%, tujuannya untuk mengurangi perokok, meningkatkan penerimaan negara, dan menata industri hasil tembakau.
Menurut Sahminudin, jika pembuat kebijakan mau jujur, maka fakta yang terjadi sebaliknya dari ketiga tujuan tersebut. Pertama, semakin tinggi CHT, maka peredaran rokok ilegal semakin bertambah sedangkan produksi rokok legal menurun, sehingga timbul asumsi penurunan angka orang merokok.
"Angka penuruan tersebut bukan karena berhenti merokok, tetapi karena banyak orang berpindah dari rokok legal ke rokok illegal atau rokok alternatif yang tentunya pengendalian konsumsi menjadi lebih sulit terlaksana," katanya.
Menurutnya, roadmap yang ada di masing-masing Kementerian/Lembaga akan dirakit menjadi satu kesatuan roadmap yang terintegrasi hulu hilir. Dengan demikian, konsepsinya roadmap ini diharapkan akan mempertemukan hulu-hilir secara sinergis dan berkelanjutan. "Sehingga supply demand bisa diwujudkan keseimbangan," kata Bagus Hudoro dihubungi di Jakarta, Jumat (16/4/2021).
Bagus Hudoro berharap dengan tercapainya keseimbangan supply-demand, tentu akan memberikan manfaat bagi produsen (petani tembakau) baik dalam jaminan pemasaran dan apresiasi harga sesuai kualitas produk yang dihasilkan. "Sehingga, diharapkan industri hasil tembakau akan mengutamakan serapan tembakau petani untuk memenuhi bahan baku," katanya.
Ketua DPD Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Nusa Tenggara Barat, Sahminudin mengeluhkan kebijakan pemerintah yang menaikan cukai hasil tembakau sebesar 12,5% sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 198/PMK.010/2020. Pasalnya, kenaikan cukai 12,5% akan berdampak pada menurunnya penjualan rokok sebesar 33 miliar batang, dan berkurangnya penyerapan tembakau 33 ribu ton.
"Di tengah pandemi Covid-19 yang berimplikasi pada goncangnya perekonomian nasional juga berdampak pada kemampuan daya beli masyarakat. Sehingga juga memberikan dampak bagi petani tembakau," kata Sahminudin.
Ia mengatakan, kenaikan cukai juga akan meningkatkan rokok ilegal. Ketika suatu barang naik termasuk rokok yang tidak diimbangi dengan naiknya pendapatan, maka daya beli akan pincang (turun).
PMK No 152/2019 yang menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 23% dan Harga Jual Eceran (HJE) 35%, tujuannya untuk mengurangi perokok, meningkatkan penerimaan negara, dan menata industri hasil tembakau.
Menurut Sahminudin, jika pembuat kebijakan mau jujur, maka fakta yang terjadi sebaliknya dari ketiga tujuan tersebut. Pertama, semakin tinggi CHT, maka peredaran rokok ilegal semakin bertambah sedangkan produksi rokok legal menurun, sehingga timbul asumsi penurunan angka orang merokok.
"Angka penuruan tersebut bukan karena berhenti merokok, tetapi karena banyak orang berpindah dari rokok legal ke rokok illegal atau rokok alternatif yang tentunya pengendalian konsumsi menjadi lebih sulit terlaksana," katanya.