Hindari Emas yang Terus Lemas

Minggu, 04 Januari 2015 - 14:30 WIB
Hindari Emas yang Terus Lemas
Hindari Emas yang Terus Lemas
A A A
Emas sudah lama populer sebagai sarana investasi yang aman. Investor percaya emas dapat memberikan keuntungan di atas inflasi. Namun, investor awam kurang memperhatikan harga emas sejatinya naikturun dan tidak menyadari kekurangan- kekurangan lainnya.

Emas pernah berharga USD850 per ons (31,1 gram) pada awal 1980 untuk kemudian turun ke rekor terendahnya di USD252 pada 1999. Selama 24 tahun (1981-2005) emas dihargai rendah di sekitar USD400 dan mulai bangkit pada periode 2005-2008.

Lalu terjadilah krisis subprime mortgage di Amerika Serikat (AS) yang membuat emas diburu orang hingga naik dua kali lipat hanya dalam 3 tahun (2008-2011) dan menembus USD1.909 pada akhir Agustus 2011 atau kenaikan rata-rata 26% (per annual/p.a). Setelah itu, harga emas terus meredup seiring dengan pulihnya perekonomian negara adidaya ini.

Investor meninggalkan emas dan mengalihkan dananya ke saham dan obligasi. Emas ditutup pada harga USD1.183,9 per ons akhir 2014 atau telah turun 2,8% dalam sebulan terakhir dan 1,5% sepanjang tahun lalu. Emas bahkan sempat anjlok hingga USD1.143 pada awal November lalu, merosot 40% dalam tiga tahun dari harga tertingginya pada 2011 atau 15,7% per tahunnya.

Emas vs Saham

Selama periode 1920-2013 harga emas di Amerika Serikat (AS) naik rata-rata 4,9% per tahun dan menjadi 6% untuk periode 40 tahun terakhir (1974-2013). Angka ini di bawah return rata-rata saham di sana (indeks S & P 500) yang 7,7% per tahun (1920- 2013) dan 8,9% untuk 40 tahun terakhir. Emas juga kalah melawan saham dalam lima tahun terakhir karena hanya naik 1,2% p.a. berbanding saham di AS yang melejit 13% setiap tahunnya.

Namun, emas mengungguli saham dalam 10 tahun terakhir dengan return tahunan 10,6% berbanding saham yang hanya mampu memberikan 5,4% p.a. Selain mempunyai kesamaan dalam volatilitas yang tinggi dan return yang mampu mengalahkan inflasi, emas dan saham mempunyai sejumlah perbedaan.

Pertama, emas tidak memberikan penghasilan periodik seperti saham dengan dividennya atau properti dengan uang sewanya. Kedua, untuk keamanan dan kenyamanan investasi dalam emas memerlukan biaya penyimpanan (storage) yang tidak ada untuk saham dan aset lain.

Ketiga, harga emas umumnya berhubungan terbalik dengan kondisi perekonomian atau bersifat countercyclical. Artinya, saat pasar dan perekonomian bullish, harga emas cenderung tertekan. Sebaliknya, emas akan dicari dan diburu ketika terjadi ketidakpastian besar seperti terjadinya perang atau krisis sehingga harganya akan naik.

Ini berkebalikan dengan harga saham yang persis bergerak sesuai kondisi perekonomian dan sentimen pasar yaitu naik ketika bullishdan turun ketika bearish. Implikasinya, emas adalah investasi yang baik untuk mereka yang sudah memiliki saham karena berkorelasi negatif.

Keempat, spreaduntuk jual-beli emas relatif besar dan jauh di atas biaya transaksi saham atau aset finansial lainnya. Selisih beli dan jual emas (spread) di PT Antam bisa mencapai 10%, yaitu beli di Rp525.000 dan jual di Rp475.000 per gramnya. Bandingkan dengan biaya transaksi saham yang hanya sekitar 0,5% yaitu untuk beli sekitar 0,2% dan jual 0,3%.

Kelima, investasi emas tidak menjanjikan kemakmuran dan pertumbuhan karena tidak menggerakkan sektor riil. Dana Anda akan lebih berguna jika diinvestasikan di pasar modal atau di pasar uang karena akan dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru melalui ekspansi usaha dan peningkatan produksi sektor riil.

Karena alasan terakhir inilah Warren Buffett sangat tidak menyukai emas. Saya sependapat dengan dia sehingga tidak pernah tertarik dengan emas. Plato bahkan sudah menuliskan kelemahan ini sejak ribuan tahun lalu, “Emas yang berada di bawah atau di atas bumi tidak cukup untuk ditukar dengan kebajikan.”

Kasus Indonesia

Bagaimana dengan return emas dibandingkan dengan saham di Indonesia? Sama seperti di AS, harga emas dalam rupiah juga turun, tetapi hanya sebesar 1,7% dan 6,7% dalam sebulan dan setahun terakhir, sedikit lebih baik daripada di AS. Untuk periode 5 dan 10 tahun, kenaikannya di sini juga lebih tinggi, yaitu rata-rata 6,9% dan 13,8% per tahun berbanding 1,2% dan 10,6% di AS.

Kinerja yang lebih baik daripada di AS ini semata-mata karena faktor terus menguatnya dolar AS terhadap rupiah dalam 5-10 tahun terakhir. Namun, berbeda dengan di AS, di Indonesia emas selalu kalah dengan saham. Dalam 10 tahun terakhir return emas yang rata-ratanya 13,8% per tahun di sini masih tetap kalah dibandingkan return saham di BEI yang mencapai 18% per tahun di luar dividen.

Demikian juga untuk periode lima tahun, yaitu 6,85% untuk emas berbanding dengan 15,6% untuk saham di BEI. Sejatinya, harga emas di Indonesia tergantung dua variabel utama, yaitu harga komoditas itu dalam dolar AS dan nilai tukar dolar AS dalam rupiah. Jika harga emas di dunia naik atau nilai tukar dolar AS menguat, harga emas dalam rupiah akan melonjak.

Sebaliknya, harga emas dalam rupiah akan turun jika harganya di pasar dunia merosot atau nilai tukar dolar AS melemah. Kesimpulannya, emas tidak selalu memberikan keuntungan dan kini memasuki masa suram seperti tahun 1980-an hingga awal 2000-an dengan membaiknya ekonomi AS.

Di mata investor cerdas, emas sejatinya kurang menarik karena tidak memberikan penghasilan periodik, biaya transaksi besar dan tidak menggerakkan sektor riil. Namun, untuk tujuan diversifikasi untuk menurunkan risiko jangka panjang, cukup bijak jika seorang investor saham mengalokasikan 5-10% dana portofolionya dalam emas. Selamat Tahun Baru 2015 untuk semua pembaca setia kolom ini.

BUDI FRENSIDY
Staf Pengajar FEUI dan Perencana Keuangan,
www.fund-and-fun.com
@BudiFrensidy
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6640 seconds (0.1#10.140)