4 Risiko Hadang Perekonomian
A
A
A
JAKARTA - Sistem keuangan nasional diklaim memiliki daya tahan yang kuat dalam menghadapi risiko kredit dan risiko pasar. Kendati demikian, ada faktor lain yang harus diwaspadai karena bisa memengaruhi perekonomian ke depan.
Faktor-faktor yang dimaksud adalah risiko normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat (AS). Kemudian, potensi risiko likuiditas yang masih tinggi, tren penurunan harga komoditas dan risiko meningkatnya kerawanan eksternal akibat kembali naiknya rasio utang luar negeri.
“Melihat tantangan tersebut, BI menyusun skenario uji ketahanan secara (stress test ) komprehensif baik dari sisi suku bunga, nilai tukar dan variabel makro lainnya,” kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah di Jakarta kemarin. Dia menambahkan, BI juga melakukan pengukuran stress scenario likuiditas dan interbank secara seksama.
Menurut Halim, uji ketahanan secara reguler dimaksudkan untuk mengetahui daya tahan sistem keuangan Indonesia dalam menghadapi berbagai risiko yang mengancam dari waktu ke waktu. “Hasil uji ketahanan BI menunjukkan bahwa sistem keuangan Indonesia memiliki daya tahan yang kuat dalam menghadapi risiko kredit dan risiko pasar (suku bunga, nilai tukar dan harga SBN),” ujar Halim.
Menurutnya, stabilitas sistem keuangan Indonesia tetap terjaga, dilihat dari sisi perbankan, korporasi maupun rumah tangga. Dari sisi perbankan, hasil stress test dengan menggunakan data neraca dan kinerja bank posisi Oktober 2014 menunjukkan bahwa dari sisi permodalan, perbankan Indonesia masih cukup kuat meskipun terjadi penguatan dolar Amerika Serikat (AS) atau USD.
Sementara koreksi harga surat berharga negara (SBN) dengan skenario terburuk, yaitu penurunan harga SBN sebesar 20%, menunjukkan penurunan Capital Adequacy Ratio (CAR) hanya sebesar 142 basis poin sehingga permodalan masih cukup memadai untuk mengantisipasi risiko kerugian terkait penurunan harga SBN.
“Uji ketahanan secara terintegrasi dengan kombinasi risiko pasar dan risiko kredit, juga menunjukkan CAR (capital adequacy ratio ) atau rasio kecukupan modal industri perbankan maupun per kelompok BUKU masih cukup kuat di atas 8%,” tukasnya.
Dari sisi korporasi, penguatan dolar AS akan berdampak pada peningkatan kewajiban valas korporasi terutama bagi korporasi yang memiliki utang luar negeri (ULN) relatif tinggi. Sehingga, peningkatan kewajiban valas korporasi yang tidak diikuti dengan peningkatan aset valas berpotensi menggerus permodalan korporasi.
Halim mengungkapkan, hasil uji ketahanan korporasi swasta nonbank yang memiliki ULN menunjukkan, dari 91 korporasi yangmemilikiULNdanposisi net foreign liabilities (NFL) diperkirakan terdapat 7 korporasi atau 8,77% dari total korporasi yang diobservasi berpotensi insolvent (equity negatif) apabila nilai tukar rupiah melemah sampai dengan kurs Rp15.500/USD.
Tes tersebut menggunakan data per kuartal II/2014. “Pengujian dengan skenario Rp15.500/USD tolong jangan diartikan bahwa angka tersebut adalah level toleransi BI. Kami juga menguji dengan berbagai variasi angka. Intinya, kami tidak menetapkan level tertentu dalam stabilisasi nilai tukar rupiah”, jelas Halim.
Selain sisi perbankan dan korporasi yang menunjukkan hasil yang positif, kelompok rumah tangga (RT) juga menunjukkan tingkat bahwa leveragenya masih berada pada level aman. Dalam hal ini, kata dia, utang rumah tangga masih dapat ditutup oleh pendapatan dan asetnya.
Ekonom INDEF Enny Sri Hartati sepakat dengan sejumlah risiko-risiko yang diperingatkan BI. Namun, dia memberikan penekanan pada potensi risiko likuiditas yang masih tinggi.
Menurutnya, loan to deposit ratio (LDR) perbankan Indonesia sudah hampir 96-98%, di mana banyak mengalir ke sektor konsumtif bukan ke sektor produktif. LDR adalah rasio untu mengukur kemampuan bank dalam menyediakan dana kepada debiturnya dengan modal yang dimiliki bank.
“Jadi kan, kalau sektor yang lebih banyak dibiayai itu sektor konsumtif ini menjadi tidak berkelanjutan. Kalau produktif kan bisa menghasilkan lapangan kerja sehingga bisa menciptakan pendapatan,” kata Enny kepada KORAN SINDO kemarin.
Kunthi Fahmar Sandy
Faktor-faktor yang dimaksud adalah risiko normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat (AS). Kemudian, potensi risiko likuiditas yang masih tinggi, tren penurunan harga komoditas dan risiko meningkatnya kerawanan eksternal akibat kembali naiknya rasio utang luar negeri.
“Melihat tantangan tersebut, BI menyusun skenario uji ketahanan secara (stress test ) komprehensif baik dari sisi suku bunga, nilai tukar dan variabel makro lainnya,” kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah di Jakarta kemarin. Dia menambahkan, BI juga melakukan pengukuran stress scenario likuiditas dan interbank secara seksama.
Menurut Halim, uji ketahanan secara reguler dimaksudkan untuk mengetahui daya tahan sistem keuangan Indonesia dalam menghadapi berbagai risiko yang mengancam dari waktu ke waktu. “Hasil uji ketahanan BI menunjukkan bahwa sistem keuangan Indonesia memiliki daya tahan yang kuat dalam menghadapi risiko kredit dan risiko pasar (suku bunga, nilai tukar dan harga SBN),” ujar Halim.
Menurutnya, stabilitas sistem keuangan Indonesia tetap terjaga, dilihat dari sisi perbankan, korporasi maupun rumah tangga. Dari sisi perbankan, hasil stress test dengan menggunakan data neraca dan kinerja bank posisi Oktober 2014 menunjukkan bahwa dari sisi permodalan, perbankan Indonesia masih cukup kuat meskipun terjadi penguatan dolar Amerika Serikat (AS) atau USD.
Sementara koreksi harga surat berharga negara (SBN) dengan skenario terburuk, yaitu penurunan harga SBN sebesar 20%, menunjukkan penurunan Capital Adequacy Ratio (CAR) hanya sebesar 142 basis poin sehingga permodalan masih cukup memadai untuk mengantisipasi risiko kerugian terkait penurunan harga SBN.
“Uji ketahanan secara terintegrasi dengan kombinasi risiko pasar dan risiko kredit, juga menunjukkan CAR (capital adequacy ratio ) atau rasio kecukupan modal industri perbankan maupun per kelompok BUKU masih cukup kuat di atas 8%,” tukasnya.
Dari sisi korporasi, penguatan dolar AS akan berdampak pada peningkatan kewajiban valas korporasi terutama bagi korporasi yang memiliki utang luar negeri (ULN) relatif tinggi. Sehingga, peningkatan kewajiban valas korporasi yang tidak diikuti dengan peningkatan aset valas berpotensi menggerus permodalan korporasi.
Halim mengungkapkan, hasil uji ketahanan korporasi swasta nonbank yang memiliki ULN menunjukkan, dari 91 korporasi yangmemilikiULNdanposisi net foreign liabilities (NFL) diperkirakan terdapat 7 korporasi atau 8,77% dari total korporasi yang diobservasi berpotensi insolvent (equity negatif) apabila nilai tukar rupiah melemah sampai dengan kurs Rp15.500/USD.
Tes tersebut menggunakan data per kuartal II/2014. “Pengujian dengan skenario Rp15.500/USD tolong jangan diartikan bahwa angka tersebut adalah level toleransi BI. Kami juga menguji dengan berbagai variasi angka. Intinya, kami tidak menetapkan level tertentu dalam stabilisasi nilai tukar rupiah”, jelas Halim.
Selain sisi perbankan dan korporasi yang menunjukkan hasil yang positif, kelompok rumah tangga (RT) juga menunjukkan tingkat bahwa leveragenya masih berada pada level aman. Dalam hal ini, kata dia, utang rumah tangga masih dapat ditutup oleh pendapatan dan asetnya.
Ekonom INDEF Enny Sri Hartati sepakat dengan sejumlah risiko-risiko yang diperingatkan BI. Namun, dia memberikan penekanan pada potensi risiko likuiditas yang masih tinggi.
Menurutnya, loan to deposit ratio (LDR) perbankan Indonesia sudah hampir 96-98%, di mana banyak mengalir ke sektor konsumtif bukan ke sektor produktif. LDR adalah rasio untu mengukur kemampuan bank dalam menyediakan dana kepada debiturnya dengan modal yang dimiliki bank.
“Jadi kan, kalau sektor yang lebih banyak dibiayai itu sektor konsumtif ini menjadi tidak berkelanjutan. Kalau produktif kan bisa menghasilkan lapangan kerja sehingga bisa menciptakan pendapatan,” kata Enny kepada KORAN SINDO kemarin.
Kunthi Fahmar Sandy
(ftr)