Salah Investasi, BUMN Merugi
A
A
A
JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan laporan bahwa sebagian besar kerugian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diakibatkan adanya salah investasi (miss-invest).
“Pada pemeriksaan terakhir, dari 138 BUMN, sekitar 54% BUMN mengalami kerugian karena melakukan investasi yang salah,” kata anggota BPK Achsanul Kosasih di Jakarta kemarin. Pada kasus tersebut Achsanul berpendapat bahwa salah investasi yang dilakukan itu berdampak pada beban perusahaan yang tidak sebanding dengan pendapatannya.
Kemudian faktor kerugian kedua ialah terkait adanya kewajiban pelayanan publik (PSO) yang belum terselesaikan mencapai sekitar 24%. “Ada yang PSO-nya belum selesai atau belum dibayar oleh pemerintah, sehingga akhirnya merugi,” kata pria yang pernah menjabat Ketua DPP Partai Demokrat ini.
Sedangkan urutan ketiga adalah kesalahan manajemen atau terkena imbas kurs, dengan persentase 22%. Ia juga telah meminta kepada Presiden dan Menteri BUMN agar perusahaan negara tidak perlu menyetor dividen ke pemerintah. “Ada masyarakat yang menanyakan itu ke saya, bukankah seharusnya antar- BUMN harus saling bersinergi dan melengkapi kebutuhan,” katanya.
Achsanul menyayangkan adanya sejumlah BUMN yang menggunakan produk atau jasa di luar perusahaan sejenis. Padahal, ada BUMN yang sanggup memenuhi permintaan. Dia pun telah menyampaikan hal tersebut ke Menteri BUMN Rini Soemarno karena sinergi atau kerja sama yang baik penting bagi perekonomian.
Ketua Komisi VI DPR RI Achmad Hafisz Tohir meminta agar BUMN tidak melupakan fungsinya sebagai pemberdaya masyarakat. “BUMN sering lupa bahwa salah satu fungsi mereka ialah memberdayakan masyarakat dan sumber daya lokal,” kata Achmad di Jakarta.
Menurutnya, jika BUMN kurang bersinergi dalam menjalankan perekonomian, maka akan berimbas pada daya saing masyarakat yang rendah pada Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Sekretaris Menteri BUMN Imam A Putro enggan menjawab telepon dan pesan singkat yang dikirimkan KORAN SINDO, saat ditanyai temuan BPK terhadap kerugian BUMN yang disebabkan oleh salah investasi, kewajiban PSO yang belum diselesaikan, dan kesalahan manajemen.
Sementara, Kementerian BUMN menginstruksikan kepada sejumlah perusahaan pelat merah agar mengurangi pinjaman dalam bentuk dolar Amerika Serikat (USD). Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan, iimbauan tersebut untuk menekan kerugian keuangan perusahaan yang disebabkan melonjaknya nilai tukar rupiah terhadap USD seperti saat ini.
Di sisi lain, pinjaman dalam bentuk dolar lebih memiliki risiko yang besar apabila nilai dolar lebih menguat dibandingkan rupiah. “Masih banyak perusahaan BUMN yang memiliki utang dolar, padahal pendapatannya rupiah. Ini kan menambah beban perusahaan,” kata Rini belum lama ini. Menurut dia, alasan sejumlah perusahaan milik pemerintah lebih memilih pinjaman dalam bentuk USD karena suku bunga yang ditawarkan lebih rendah dibandingkan rupiah.
Meski demikian, pinjaman tersebut tidak diimbangi dengan pemasukan yang diperoleh perseroan dalam bentuk rupiah. “Jadi perusahaan BUMN harus mewaspadai pinjaman dolar. Mereka juga harus bisa hedging untuk menekan impor dan mendorong ekspor,” lanjutnya. Dia menyatakan, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) merupakan BUMN yang memiliki utang besar dan sebagian besarnya dalam bentuk dolar.
Selain itu juga PT Garuda Indonesia Tbk serta PT Pertamina. “PLN termasuk BUMN yang memiliki utang besar dalam bentuk dolar. Utangnya sebesar Rp350 triliun, di mana 70% berupa dolar,” terangnya. Untuk itu, Rini akan memperketat perizinan utang berbentuk valuta asing bagi perusahaan plat merah yang pendapatannya mayoritas dalam bentuk rupiah.
Meski demikian, tidak menutup kemungkinan perusahaan BUMN melakukan pinjaman berbentuk dolar asalkan pendapatannya dalam valuta asing misalnya pada perusahaan batu bara.
Heru febrianto/Ant
“Pada pemeriksaan terakhir, dari 138 BUMN, sekitar 54% BUMN mengalami kerugian karena melakukan investasi yang salah,” kata anggota BPK Achsanul Kosasih di Jakarta kemarin. Pada kasus tersebut Achsanul berpendapat bahwa salah investasi yang dilakukan itu berdampak pada beban perusahaan yang tidak sebanding dengan pendapatannya.
Kemudian faktor kerugian kedua ialah terkait adanya kewajiban pelayanan publik (PSO) yang belum terselesaikan mencapai sekitar 24%. “Ada yang PSO-nya belum selesai atau belum dibayar oleh pemerintah, sehingga akhirnya merugi,” kata pria yang pernah menjabat Ketua DPP Partai Demokrat ini.
Sedangkan urutan ketiga adalah kesalahan manajemen atau terkena imbas kurs, dengan persentase 22%. Ia juga telah meminta kepada Presiden dan Menteri BUMN agar perusahaan negara tidak perlu menyetor dividen ke pemerintah. “Ada masyarakat yang menanyakan itu ke saya, bukankah seharusnya antar- BUMN harus saling bersinergi dan melengkapi kebutuhan,” katanya.
Achsanul menyayangkan adanya sejumlah BUMN yang menggunakan produk atau jasa di luar perusahaan sejenis. Padahal, ada BUMN yang sanggup memenuhi permintaan. Dia pun telah menyampaikan hal tersebut ke Menteri BUMN Rini Soemarno karena sinergi atau kerja sama yang baik penting bagi perekonomian.
Ketua Komisi VI DPR RI Achmad Hafisz Tohir meminta agar BUMN tidak melupakan fungsinya sebagai pemberdaya masyarakat. “BUMN sering lupa bahwa salah satu fungsi mereka ialah memberdayakan masyarakat dan sumber daya lokal,” kata Achmad di Jakarta.
Menurutnya, jika BUMN kurang bersinergi dalam menjalankan perekonomian, maka akan berimbas pada daya saing masyarakat yang rendah pada Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Sekretaris Menteri BUMN Imam A Putro enggan menjawab telepon dan pesan singkat yang dikirimkan KORAN SINDO, saat ditanyai temuan BPK terhadap kerugian BUMN yang disebabkan oleh salah investasi, kewajiban PSO yang belum diselesaikan, dan kesalahan manajemen.
Sementara, Kementerian BUMN menginstruksikan kepada sejumlah perusahaan pelat merah agar mengurangi pinjaman dalam bentuk dolar Amerika Serikat (USD). Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan, iimbauan tersebut untuk menekan kerugian keuangan perusahaan yang disebabkan melonjaknya nilai tukar rupiah terhadap USD seperti saat ini.
Di sisi lain, pinjaman dalam bentuk dolar lebih memiliki risiko yang besar apabila nilai dolar lebih menguat dibandingkan rupiah. “Masih banyak perusahaan BUMN yang memiliki utang dolar, padahal pendapatannya rupiah. Ini kan menambah beban perusahaan,” kata Rini belum lama ini. Menurut dia, alasan sejumlah perusahaan milik pemerintah lebih memilih pinjaman dalam bentuk USD karena suku bunga yang ditawarkan lebih rendah dibandingkan rupiah.
Meski demikian, pinjaman tersebut tidak diimbangi dengan pemasukan yang diperoleh perseroan dalam bentuk rupiah. “Jadi perusahaan BUMN harus mewaspadai pinjaman dolar. Mereka juga harus bisa hedging untuk menekan impor dan mendorong ekspor,” lanjutnya. Dia menyatakan, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) merupakan BUMN yang memiliki utang besar dan sebagian besarnya dalam bentuk dolar.
Selain itu juga PT Garuda Indonesia Tbk serta PT Pertamina. “PLN termasuk BUMN yang memiliki utang besar dalam bentuk dolar. Utangnya sebesar Rp350 triliun, di mana 70% berupa dolar,” terangnya. Untuk itu, Rini akan memperketat perizinan utang berbentuk valuta asing bagi perusahaan plat merah yang pendapatannya mayoritas dalam bentuk rupiah.
Meski demikian, tidak menutup kemungkinan perusahaan BUMN melakukan pinjaman berbentuk dolar asalkan pendapatannya dalam valuta asing misalnya pada perusahaan batu bara.
Heru febrianto/Ant
(bbg)