Pilot Keluhan Teknologi ATC Bandara di Indonesia Tertinggal

Jum'at, 16 Januari 2015 - 18:16 WIB
Pilot Keluhan Teknologi...
Pilot Keluhan Teknologi ATC Bandara di Indonesia Tertinggal
A A A
JAKARTA - Para pilot mengeluhkan teknologi pemanduan lalu lintas udara atau air traffic control (ATC) di Indonesia tertinggal dari standar industri penerbangan global. Kondisi ini menjadi sorotan menyusul kecelakaan AirAsia QZ8501, pada 28 Desember 2014.

Meski pemerintah sudah mendirikan AirNav, perusahaan yang mengendalikan lalu lintas udara milik negara, pada 2013, namun Indonesia belum memiliki sistem komputer yang mengintegrasikan pelacakan pesawat dengan pola cuaca, serta teknologi yang menawarkan rute penerbangan aman.

Dilansir dari Wall Street Journal, Jumat (16/1/2015), para pemandu penerbangan kerap membiarkan para pilot mengidentifikasi sendiri masalah cuaca yang dihadapi serta mengubah sendiri rute penerbangannya. Teknologi baru dapat membantu para pemandu mengambil peran tersebut.

"Sistem radar cuaca dan perlengkapan lain yang dipakai sebagian besar maskapai penerbangan komersial di pesawat, bahkan memberikan informasi lebih lengkap dibanding ATC," ujar pilot kawakan Rendy Sasmita Adji.

Rendy, yang memiliki pengalaman terbang bersama Garuda Indonesia selama 25 tahun, mengatakan kondisi pada dekade 1970-an dan 1980-an jauh lebih buruk.

Dia ingat pernah terbang rendah di dekat menara pemandu lalu lintas udara hanya untuk membangunkan para pemandu. Kadang, suara radio dari stasiun lokal pun bocor ke saluran komunikasi.

Dibandingkan dengan Singapura atau Hong Kong, perlengkapan pemandu lalu lintas udara tergolong antik. Mereka memiliki sistem yang menampilkan rute pesawat serta kondisi cuaca.

Para pemandu lalu lintas udara Indonesia dapat mengakses data cuaca dari citra satelit via internet maupun mengambilnya langsung di BMKG.

"Namun, yang terlihat di layar radar para pemandu hanyalah rute [penerbangan] dan kerlip (penanda) pesawat,” ujar Adhy Gunawan, pilot sekaligus anggota dewan penasihat Federasi Pilot Indonesia.

"Adopsi sistem yang meningkatkan kesadaran para pemandu terhadap cuaca akan sangat membantu dan bermanfaat bagi para pilot,” tambahnya.

Indonesia pun tidak memiliki sistem manajemen arus lalu lintas udara terkomputerisasi yang baik. Padahal, sistem tersebut mampu membantu pemandu mengatur pesawat untuk berada pada jarak aman antara satu dengan lainnya.

Selain itu, sistem membantu pemandu untuk menyarankan apakah penerbangan harus ditunda atau berganti rute untuk menghindari antrean di bandar udara.

"Saat cuaca buruk atau rute penerbangan sedang ramai, sistem tersebut dapat mencegah pesawat untuk menuju ke daerah yang lalu lintasnya silang-sengkarut," kata Andrew Herdsman, direktur asosiasi maskapai penerbangan Asia Pasifik.

Sementara Gerry Soejatman, pakar aviasi Indonesia menyebutkan, sistem manajemen arus lalu lintas udara pada dasarnya adalah teka-teki jigsaw semiotomatis.

"Sistem tersebut menggabungkan kelebihan komputer dan penilaian pemandu lalu lintas udara dalam menyusun rute terbaik bagi beberapa pesawat sekaligus," katanya.

Dia mengungkapkan, komputer para pemandu tidak dapat menelusuri badai secara real-time, sebagian karena sulitnya memasang sistem radar permukaan. Sebagian besar rute penerbangan di Indonesia berada di atas perairan.

"Pemasangan radar akan menelan biaya besar. Selain itu, masih terdapat wilayah tanah air yang belum memiliki infrastruktur listrik memadai," kata Gerry.

Menanggapi ini, Bambang Cahyono, dari AirNav mengatakan, pihaknya tengah mendiskusikan pembelian sistem terkomputerisasi. Pihak berwenang juga mempertimbangkan gagasan untuk memasang sistem lebih baik pada dua pusat pemandu udara di Jakarta dan Makasssar.

Dalam berita sebelumnya, General Manager Air Traffic Service (ATS) Bandara Soekarno-Hatta (Soetta), Budi Hendro mengakui salah satu radar bandara yang digunakan sudah berusia 30 tahun.

Dia menyebutkan dari dua radar yang ada di Bandara Soetta tersebut masing-masing keluaran 1985 dan 2009.

"Tapi itu tidak masalah, karena keduanya masih layak pakai dan setiap saat di-update. Kalaupun tidak layak, pasti kita ganti. Begitupun sebaliknya, kalau baru namun tak layak, pasti kita ganti," ujarnya, Jumat (2/1/2015).

Budi mengatakan, masalah menggunakan radar canggih belum menjadi mandatory bagi wilayah penerbangan komersial di Indonesia.

"Karena memang masih layak dan radar kita masih masuk kategori standar bagi dunia penerbangan internasional," jelasnya.

Menanggapi insiden kecelakaan AirAsia, pengamat penerbangan yang juga bekas Kepala Staf Angkatan Udara, Chappy Hakim telah mengingatkan, banyak hal yang perlu dibenahi dalam dunia penerbangan nasional. Salah satunya kualitas peralatan ATC di bandar udara.

Dia menyebutkan selain kualitas peralatan ATC, sumber daya manusia (SDM) yang menjalankan juga harus di-upgrade setiap saat berdasarkan perkembangan terkini dunia penerbangan.

"Saya kira kalau petugas ATC ini belum lama menjadi single provider atau baru sejak tahun 2013 berdiri sendiri. Dia perlu adaptasi. Ini belum lagi kondisi traffic yang padat. Di mana SDM harus siap ketika merespon pilot," ujarnya.

Chappy mengatakan, secara umum banyak yang perlu dibenahi. Apalagi berdasarkan informasi terbaru, AirAsia ternyata terbang tidak berdasarkan jadwal.

"Ini sangat berbahaya. Di mana membiarkan pesawat terbang tidak sesuai jadwal. Artinya, semua pihak berwenang dalam hal ini termasuk otoritas bandara, ATC dan dalam hal ini, Kementerian Perhubungan selaku regulator," tandasnya.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1283 seconds (0.1#10.140)