PP Gambut Akan Direvisi
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) berencana merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2014 tentang kebijakan perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut.
Menteri LHK Siti Nurbaya mengatakan, revisi ini penting untuk mendukung iklim investasi yang kondusif. Langkah revisi diawali dengan pengumpulan rekomendasi dari sejumlah pakar. “Kami ingin revisi PP gambut sehingga dapat diterima semua kalangan, yakni tidak menyulitkan pengusaha, tanpa mengesampingkan keseimbangan ekosistem lingkungan,” katanya di Jakarta pekan lalu.
Dia mengatakan harus diakui bahwa sawit maupun hutan tanaman industri berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Siti memaparkan, kepastian apakah PP gambut akan direvisi atau tidak menunggu masukan dari seluruh pemangku kepentingan. Namun demikian, dia menegaskan dalam pengelolaan sumber daya alam harus menyeimbangkan antara faktor konservasi dan ekonomi.
“Perspektif konservasi harus tinggi (dalam pengelolaan lahan) tapi perspektif ekonomi juga harus dikedepankan. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tidak harus dihambat konservasi,” papar dia. Sekjen Kementerian LHK Hadi Daryanto menilai, praktik terbaik yang sudah dilakukan di lahan gambut akan dijadikan rujukan untuk evaluasi PP gambut. Hadi menyatakan pemerintah juga memperdalam kajian ilmiah untuk memastikan sumber daya gambut bisa dikelola secara berkelanjutan.
“Di lapangan ada bukti lahan gambut bisa dikelola dengan baik,” tegas Hadi. Menurut dia, kajian ilmiah akan terus dilakukan sehingga bisa menjadi dasar kebijakan pengelolaan gambut, dengan melibatkan Badan Litbang Kementerian LHK serta menggandeng pakar gambut. Ketua Himpunan Gambut Indonesia Supiandi Sabiham menyatakan, ketentuan dalam PP gambut yang membatasi muka air tidak boleh lebih rendah dari 0,4 meter dari permukaan sulit diterapkan.
Menurut dia, jika mengacu ketentuan tersebut maka seluruh lahan gambut yang dibudidayakan akan dikategorikan rusak. “Hasil kajian juga menunjukkan produksi buah sawit akan turun drastis,” katanya yang juga guru besar IPB Bogor ini. Sabiham juga menyatakan pembatasan muka air gambut 0,4 meter tidak berkorelasi dengan upaya penurunan emisi karbon.
“Emisi karbon pada lahan gambut dengan muka air pada rentang 0,4-0,7 meter ternyata tidak memiliki perbedaan secara nyata,” katanya. Klausul memberatkan pada PP Gambut, terutama soal penetapan batas paling rendah muka air gambut 0,4 meter dari permukaan.
Sudarsono
Menteri LHK Siti Nurbaya mengatakan, revisi ini penting untuk mendukung iklim investasi yang kondusif. Langkah revisi diawali dengan pengumpulan rekomendasi dari sejumlah pakar. “Kami ingin revisi PP gambut sehingga dapat diterima semua kalangan, yakni tidak menyulitkan pengusaha, tanpa mengesampingkan keseimbangan ekosistem lingkungan,” katanya di Jakarta pekan lalu.
Dia mengatakan harus diakui bahwa sawit maupun hutan tanaman industri berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Siti memaparkan, kepastian apakah PP gambut akan direvisi atau tidak menunggu masukan dari seluruh pemangku kepentingan. Namun demikian, dia menegaskan dalam pengelolaan sumber daya alam harus menyeimbangkan antara faktor konservasi dan ekonomi.
“Perspektif konservasi harus tinggi (dalam pengelolaan lahan) tapi perspektif ekonomi juga harus dikedepankan. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tidak harus dihambat konservasi,” papar dia. Sekjen Kementerian LHK Hadi Daryanto menilai, praktik terbaik yang sudah dilakukan di lahan gambut akan dijadikan rujukan untuk evaluasi PP gambut. Hadi menyatakan pemerintah juga memperdalam kajian ilmiah untuk memastikan sumber daya gambut bisa dikelola secara berkelanjutan.
“Di lapangan ada bukti lahan gambut bisa dikelola dengan baik,” tegas Hadi. Menurut dia, kajian ilmiah akan terus dilakukan sehingga bisa menjadi dasar kebijakan pengelolaan gambut, dengan melibatkan Badan Litbang Kementerian LHK serta menggandeng pakar gambut. Ketua Himpunan Gambut Indonesia Supiandi Sabiham menyatakan, ketentuan dalam PP gambut yang membatasi muka air tidak boleh lebih rendah dari 0,4 meter dari permukaan sulit diterapkan.
Menurut dia, jika mengacu ketentuan tersebut maka seluruh lahan gambut yang dibudidayakan akan dikategorikan rusak. “Hasil kajian juga menunjukkan produksi buah sawit akan turun drastis,” katanya yang juga guru besar IPB Bogor ini. Sabiham juga menyatakan pembatasan muka air gambut 0,4 meter tidak berkorelasi dengan upaya penurunan emisi karbon.
“Emisi karbon pada lahan gambut dengan muka air pada rentang 0,4-0,7 meter ternyata tidak memiliki perbedaan secara nyata,” katanya. Klausul memberatkan pada PP Gambut, terutama soal penetapan batas paling rendah muka air gambut 0,4 meter dari permukaan.
Sudarsono
(ars)