Tahun Ini Inflasi Diprediksi 5-6%
A
A
A
JAKARTA - Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memprediksi inflasi tahun ini pada kisaran 5-6%. Sebelumnya CORE memperkirakan inflasi tahun ini lebih tinggi atau kisaran 8-9%.
Karena pemerintah telah mengeluarkan kebijakan baru yakni menurunkan kembali harga bahan bakar minyak (BBM), otomatis akan berdampak pada penurunan laju inflasi.
“Angka inflasi tahun ini sekitar 5-6%. Itu sudah ada hitung-hitungan penurunan harga BBM. Memang awalnya kami prediksi 8- 9% atau lebih tinggi, tapi ternyata pemerintah mengumumkan BBM lebih maju yakni November tahun lalu. Otomatis inflasi efeknya tahun lalu lebih tinggi dan efek tahun ini lebih rendah,” kata analis CORE Indonesia Mohammad Faisal saat diskusi bersama media di Jakarta kemarin.
Dia mengungkapkan, dengan kondisi seperti sekarang— harga BBM yang sudah di-floating mengikuti harga pasar ditambah lagi dengan kondisi nilai tukar rupiah yang masih fluktuatif, inflasi tahun ini akan semakin susah untuk diprediksi. Faisal melanjutkan, kemampuan pemerintah untuk mengontrol inflasi akan semakin susah lantaran harga BBM yang sudah di-floating. Apalagi sekarang harga minyak dunia dalam posisi rendah.
“Nah, harga minyak dunia dalam posisi rendah itu kita masih bisa bernapas. Tapi, nanti kalau kita tahu pada akhirnya harga dunia tidak stagnan dan akan naik-turun, itu akan menjadi warning bagi pemerintah,” ungkap dia. Jika peningkatan harga minyak dunia hanya berkisar 60- 70 dolar AS per barel, itu tidak masalah. Namun, bila harga minyak dunia bisa mencapai 150 dolar AS per barel, harga BBM juga akan terkerek naik kembali.
Kalau sudah begitu, lanjutnya, dampaknya akan berpengaruh pada laju inflasi yang tinggi serta kenaikan bahan pangan dan tarif transportasi. Semestinya pemerintah mempunyai batas atas untuk harga BBM agar dapat mengantisipasi ketika harga minyak dunia naik. Faisal menjelaskan, ada beberapa cara agar inflasi bisa terkendali. Pertama, pemerintah harus mempunyai batas atas harga BBM.
Kedua, pemerintah harus bisa mengendalikan inflasi pangan. Ketiga, dari sisi transportasi, seharusnya pemerintah telah berkoordinasi dengan Organda terkait kenaikan tarif angkutan umum. “Jadi kalau misalkan harga BBM naik, pemerintah sudah punya kesepakatan apa yang akan dilakukan jika harga naik dan jika harga turun. Makanya salah satunya yang saya selalu tekankan adalah seharusnya pemerintah sudah memiliki batas atas untuk BBM. Jadi tidak bisa terus-terusan dilepas semua nanti,” imbuhnya.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonesia (BI) dengan tetap mempertahankan suku bunga merupakan langkah yang baik. “BI Rate masih bertahan di 7,75% sekalipun ekspektasinya inflasi pada Januari di bawah 1% mengingat pemerintah sudah mencabut subsidi premium dan menetapkan subsidi tetap untuk solar,” papar Josua kepada KORAN SINDO .
Dia menilai, potensi BI untuk memangkas BI Rate saat ini sangat kecil karena nilai tukar rupiah juga masih manageable Rp11.500 sampai Rp12.500. Ke depan kebijakan moneter ketat ini masih bertahan mengingat defisit transaksi berjalan juga defisit masih cukup besar.
“Harapannya, defisit transaksi berjalan tahun ini bisa mencapai di bawah 3% terhadap GDP. Jadi memang arahannya ke depannya pilihan BI Rate adalah tetap atau naik untuk potensi di pangkas seperti ini juga peluangnya cukup kecil,” tutup dia.
Kunthi fahmar sandy
Karena pemerintah telah mengeluarkan kebijakan baru yakni menurunkan kembali harga bahan bakar minyak (BBM), otomatis akan berdampak pada penurunan laju inflasi.
“Angka inflasi tahun ini sekitar 5-6%. Itu sudah ada hitung-hitungan penurunan harga BBM. Memang awalnya kami prediksi 8- 9% atau lebih tinggi, tapi ternyata pemerintah mengumumkan BBM lebih maju yakni November tahun lalu. Otomatis inflasi efeknya tahun lalu lebih tinggi dan efek tahun ini lebih rendah,” kata analis CORE Indonesia Mohammad Faisal saat diskusi bersama media di Jakarta kemarin.
Dia mengungkapkan, dengan kondisi seperti sekarang— harga BBM yang sudah di-floating mengikuti harga pasar ditambah lagi dengan kondisi nilai tukar rupiah yang masih fluktuatif, inflasi tahun ini akan semakin susah untuk diprediksi. Faisal melanjutkan, kemampuan pemerintah untuk mengontrol inflasi akan semakin susah lantaran harga BBM yang sudah di-floating. Apalagi sekarang harga minyak dunia dalam posisi rendah.
“Nah, harga minyak dunia dalam posisi rendah itu kita masih bisa bernapas. Tapi, nanti kalau kita tahu pada akhirnya harga dunia tidak stagnan dan akan naik-turun, itu akan menjadi warning bagi pemerintah,” ungkap dia. Jika peningkatan harga minyak dunia hanya berkisar 60- 70 dolar AS per barel, itu tidak masalah. Namun, bila harga minyak dunia bisa mencapai 150 dolar AS per barel, harga BBM juga akan terkerek naik kembali.
Kalau sudah begitu, lanjutnya, dampaknya akan berpengaruh pada laju inflasi yang tinggi serta kenaikan bahan pangan dan tarif transportasi. Semestinya pemerintah mempunyai batas atas untuk harga BBM agar dapat mengantisipasi ketika harga minyak dunia naik. Faisal menjelaskan, ada beberapa cara agar inflasi bisa terkendali. Pertama, pemerintah harus mempunyai batas atas harga BBM.
Kedua, pemerintah harus bisa mengendalikan inflasi pangan. Ketiga, dari sisi transportasi, seharusnya pemerintah telah berkoordinasi dengan Organda terkait kenaikan tarif angkutan umum. “Jadi kalau misalkan harga BBM naik, pemerintah sudah punya kesepakatan apa yang akan dilakukan jika harga naik dan jika harga turun. Makanya salah satunya yang saya selalu tekankan adalah seharusnya pemerintah sudah memiliki batas atas untuk BBM. Jadi tidak bisa terus-terusan dilepas semua nanti,” imbuhnya.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonesia (BI) dengan tetap mempertahankan suku bunga merupakan langkah yang baik. “BI Rate masih bertahan di 7,75% sekalipun ekspektasinya inflasi pada Januari di bawah 1% mengingat pemerintah sudah mencabut subsidi premium dan menetapkan subsidi tetap untuk solar,” papar Josua kepada KORAN SINDO .
Dia menilai, potensi BI untuk memangkas BI Rate saat ini sangat kecil karena nilai tukar rupiah juga masih manageable Rp11.500 sampai Rp12.500. Ke depan kebijakan moneter ketat ini masih bertahan mengingat defisit transaksi berjalan juga defisit masih cukup besar.
“Harapannya, defisit transaksi berjalan tahun ini bisa mencapai di bawah 3% terhadap GDP. Jadi memang arahannya ke depannya pilihan BI Rate adalah tetap atau naik untuk potensi di pangkas seperti ini juga peluangnya cukup kecil,” tutup dia.
Kunthi fahmar sandy
(ars)