Industri Baja Nasional Minta Proteksi
A
A
A
JAKARTA - Industri baja nasional minta proteksi kepada pemerintah menyusul adanya berbagai tekanan bisnis, mulai dari tingginya biaya produksi (production cost) hingga tergerusnya pasar di dalam negeri yang berakibat lemahnya daya saing industri.
Tekanan paling berat mulai dirasakan sejak awal 2014 lalu, seiring anjloknya harga komoditas dunia, seperti harga minyak dunia yang mengalami penurunan yang sangat signifikan.
“Industri baja hari ini masih tertekan, bisa dilihat dari harga minyak dunia yang turun. Minyak adalah salah satu komoditas, sama dengan baja. Jadi, harganya juga turun,” ujar Ketua Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia atau Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) Irvan Kamal Hakim seusai menemui Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin di Kantor Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Jakarta, akhir pekan lalu.
Dia mengungkapkan, harga baja pada 2008 sekitar USD1.130 per ton. Sekarang harganya turun lebih dari 50%. “Laju penurunannya terjadi awal 2014 sampai 2015 ini. Kita tahu bahwa harga minyak sekarang sudah ada di kisaran USD40–50 per barel. Kalau harga minyak turun, baja yang masuk dalam komoditas termasuk harga logam, tembaga, nikel turun juga,” ujarnya.
Dia menambahkan, industri baja sekarang sedang tidak punya perlindungan pasar yang cukup. “Tarif (bea masuk) di Indonesia untuk sektor baja paling rendah di kawasan ASEAN,” katanya. Untuk itu, pihaknya, menemui Menperin untuk meminta beberapa kebijakan agar bisa mendongkrak industri baja nasional dalam menghadapi tantangan tersebut.
Irvan mengatakan, IISIA minta agar pemerintah terus menggalakkan program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) dalam rangka optimalisasi pelaksanaan Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 Tahun 2009 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri dalam Pengadaan Barang dan Jasa.
Hal tersebut penting untuk mengamankan pasar dalam negeri dari serbuan produkproduk asing, terutama dalam hal penggunaan baja nasional. Menurutnya, permintaan baja di dalam negeri masih tumbuh, baik impor atau produsen lokal. Kebutuhan baja dalam negeri rata-rata setiap tahunnya sebesar 13 juta ton, sementara produksi baja dari dalam negeri hanya 6 juta ton.
“Berarti, ada sekitar 7 juta ton itu yang diimpor,” ujarnya. Selain itu, industri baja menghadapi tantangan dari biaya produksi yang sangat tinggi. Irvan menjelaskan, komponen biaya produksi yang paling tinggi yakni harga gas alam dan tarif dasar listrik bagi industri yang naik hingga 68% dalam enam bulan.
“Harga gas alam di Bloomberg itu USD2,8 per mmbtu. Di Malaysia, gas yang dijual ke industri itu maksimum USD4 per mmbtu. Namun di Indonesia, industri harus membayar USD7–9,3 per mmbtu,” ujar Irvan. Menurut Irvan, pertumbuhan industri baja nasional ratarata mencapai 11–13% per tahun dalam 15 tahun terakhir. Namun, yang menjadi masalah apakah yang mendapatkan produksi baja di dalam negeri diisi oleh pabrik nasional atau pihak asing.
“Tidak ada gunanya kita menghemat subsidi dalam negeri kalau diambil produksinya oleh orang asing. Seharusnya itu dimakan oleh produsen dalam negeri, supaya kapasitas produksi pabrik-pabrik maksimal dan pada saat yang sama tenaga kerjanya akan tumbuh,” imbuhnya.
Dirjen Basis Industri Manufaktur Kemenperin Harjanto mengakui, industribaja nasional memang sedang mengalami pelemahan. Halitudisebabkanpermasalahan seperti harga, bunga bank tinggi, harga energi tinggi, infrastruktur tinggi, hingga logistic cost yang tinggi. “Apalagi di tengah harga minyak dunia yang turun, harga komoditas logam ini di pasar juga turun. Tentu ini menekan,” ujarnya.
Kemenperin pun akan mengusulkan kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk menaikkan tarif bea masuk (BM) baja impor.
“Negara-negara lain melakukan proteksi dengan menaikkan tarif bea masuk. Kita memang sedang melakukan itu, sekaligus berpikir agar hulu dilindungi, tapi hilir jangan jadi korban. Intinya bagaimana kita melakukan pengamanan industri secara nasional,” ujar Harjanto.
Oktiani endarwati
Tekanan paling berat mulai dirasakan sejak awal 2014 lalu, seiring anjloknya harga komoditas dunia, seperti harga minyak dunia yang mengalami penurunan yang sangat signifikan.
“Industri baja hari ini masih tertekan, bisa dilihat dari harga minyak dunia yang turun. Minyak adalah salah satu komoditas, sama dengan baja. Jadi, harganya juga turun,” ujar Ketua Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia atau Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) Irvan Kamal Hakim seusai menemui Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin di Kantor Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Jakarta, akhir pekan lalu.
Dia mengungkapkan, harga baja pada 2008 sekitar USD1.130 per ton. Sekarang harganya turun lebih dari 50%. “Laju penurunannya terjadi awal 2014 sampai 2015 ini. Kita tahu bahwa harga minyak sekarang sudah ada di kisaran USD40–50 per barel. Kalau harga minyak turun, baja yang masuk dalam komoditas termasuk harga logam, tembaga, nikel turun juga,” ujarnya.
Dia menambahkan, industri baja sekarang sedang tidak punya perlindungan pasar yang cukup. “Tarif (bea masuk) di Indonesia untuk sektor baja paling rendah di kawasan ASEAN,” katanya. Untuk itu, pihaknya, menemui Menperin untuk meminta beberapa kebijakan agar bisa mendongkrak industri baja nasional dalam menghadapi tantangan tersebut.
Irvan mengatakan, IISIA minta agar pemerintah terus menggalakkan program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) dalam rangka optimalisasi pelaksanaan Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 Tahun 2009 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri dalam Pengadaan Barang dan Jasa.
Hal tersebut penting untuk mengamankan pasar dalam negeri dari serbuan produkproduk asing, terutama dalam hal penggunaan baja nasional. Menurutnya, permintaan baja di dalam negeri masih tumbuh, baik impor atau produsen lokal. Kebutuhan baja dalam negeri rata-rata setiap tahunnya sebesar 13 juta ton, sementara produksi baja dari dalam negeri hanya 6 juta ton.
“Berarti, ada sekitar 7 juta ton itu yang diimpor,” ujarnya. Selain itu, industri baja menghadapi tantangan dari biaya produksi yang sangat tinggi. Irvan menjelaskan, komponen biaya produksi yang paling tinggi yakni harga gas alam dan tarif dasar listrik bagi industri yang naik hingga 68% dalam enam bulan.
“Harga gas alam di Bloomberg itu USD2,8 per mmbtu. Di Malaysia, gas yang dijual ke industri itu maksimum USD4 per mmbtu. Namun di Indonesia, industri harus membayar USD7–9,3 per mmbtu,” ujar Irvan. Menurut Irvan, pertumbuhan industri baja nasional ratarata mencapai 11–13% per tahun dalam 15 tahun terakhir. Namun, yang menjadi masalah apakah yang mendapatkan produksi baja di dalam negeri diisi oleh pabrik nasional atau pihak asing.
“Tidak ada gunanya kita menghemat subsidi dalam negeri kalau diambil produksinya oleh orang asing. Seharusnya itu dimakan oleh produsen dalam negeri, supaya kapasitas produksi pabrik-pabrik maksimal dan pada saat yang sama tenaga kerjanya akan tumbuh,” imbuhnya.
Dirjen Basis Industri Manufaktur Kemenperin Harjanto mengakui, industribaja nasional memang sedang mengalami pelemahan. Halitudisebabkanpermasalahan seperti harga, bunga bank tinggi, harga energi tinggi, infrastruktur tinggi, hingga logistic cost yang tinggi. “Apalagi di tengah harga minyak dunia yang turun, harga komoditas logam ini di pasar juga turun. Tentu ini menekan,” ujarnya.
Kemenperin pun akan mengusulkan kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk menaikkan tarif bea masuk (BM) baja impor.
“Negara-negara lain melakukan proteksi dengan menaikkan tarif bea masuk. Kita memang sedang melakukan itu, sekaligus berpikir agar hulu dilindungi, tapi hilir jangan jadi korban. Intinya bagaimana kita melakukan pengamanan industri secara nasional,” ujar Harjanto.
Oktiani endarwati
(ars)