Kenaikan Bea Impor Film Rugikan RI
A
A
A
JAKARTA - Usulan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia agar bea impor film dinaikkan dinilai perlu disikapi secara hati-hati. Tidak hanya berdampak pada perfilman Tanah Air, itu juga melanggar kesepakatan Indonesia dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
“Jika itu dilakukan, Indonesia melanggar WTO valuation agreement , khususnya Pasal 8 ayat (1) huruf c dan interpretative note-nya,” ungkap pengamat perpajakan Universitas Indonesia Darussalam dalam keterangan tertulis kemarin. Darussalam meminta pemerintah menolak usulan tersebut karena bisa saja negara-negara pengekspor film melaporkan Indonesia ke WTO.
Indonesia bisa dituding tidak menjalankan WTO valuation agreement dengan benar. Terkait dasar pemikiran Kadin yang membandingkan antara bea impor film dan pajak produksi film nasional, Darussalam menilai itu tidak tepat. Jika ingin perbandingan yang sesuai, yang dibandingkan adalah antara pungutan impor film di Indonesia dan pungutan impor film di negara lain.
Selain itu juga antara sistem pengenaan pajak produksi film di Indonesia dan sistem pengenaan pajak produksi film di negara lain. Dalam hal ini, kata dia, Indonesia bisa saja membandingkan pajak produksi film Indonesia dan Amerika Serikat. Di beberapa negara bagian di Amerika terdapat beberapa fasilitas perpajakan untuk industri produksi film.
“Jadi menurut saya, lebih produktif jika diskusinya menjadi pemberian fasilitas perpajakan untuk perusahaan produksi film nasional,” tuturnya. Terkait komponen bea impor film, lanjut dia, pemerintah seharusnya memahami bahwa yang menjadi dasar nilai pabean atas impor film asing adalah nilai fisik film ditambah dengan ongkos angkut.
Sementara nilai hak distribusi film tidak dimasukkan ke dalam nilai pabean. Itu bukan persyaratan penjualan agar film tersebut dapat diimpor ke Indonesia. Darussalam menambahkan, suatu film dapat diimpor ke Indonesia tanpa ada pembayaran hak distribusi. Misalnya, untuk screener atau film yang hak awalnya adalah tidak untuk dipertontonkan di bioskop atau televisi. Setelah diimpor, dapat saja importir membeli hak distribusinya untuk dapat ditayangkan di bioskop atau di televisi.
M faizal
“Jika itu dilakukan, Indonesia melanggar WTO valuation agreement , khususnya Pasal 8 ayat (1) huruf c dan interpretative note-nya,” ungkap pengamat perpajakan Universitas Indonesia Darussalam dalam keterangan tertulis kemarin. Darussalam meminta pemerintah menolak usulan tersebut karena bisa saja negara-negara pengekspor film melaporkan Indonesia ke WTO.
Indonesia bisa dituding tidak menjalankan WTO valuation agreement dengan benar. Terkait dasar pemikiran Kadin yang membandingkan antara bea impor film dan pajak produksi film nasional, Darussalam menilai itu tidak tepat. Jika ingin perbandingan yang sesuai, yang dibandingkan adalah antara pungutan impor film di Indonesia dan pungutan impor film di negara lain.
Selain itu juga antara sistem pengenaan pajak produksi film di Indonesia dan sistem pengenaan pajak produksi film di negara lain. Dalam hal ini, kata dia, Indonesia bisa saja membandingkan pajak produksi film Indonesia dan Amerika Serikat. Di beberapa negara bagian di Amerika terdapat beberapa fasilitas perpajakan untuk industri produksi film.
“Jadi menurut saya, lebih produktif jika diskusinya menjadi pemberian fasilitas perpajakan untuk perusahaan produksi film nasional,” tuturnya. Terkait komponen bea impor film, lanjut dia, pemerintah seharusnya memahami bahwa yang menjadi dasar nilai pabean atas impor film asing adalah nilai fisik film ditambah dengan ongkos angkut.
Sementara nilai hak distribusi film tidak dimasukkan ke dalam nilai pabean. Itu bukan persyaratan penjualan agar film tersebut dapat diimpor ke Indonesia. Darussalam menambahkan, suatu film dapat diimpor ke Indonesia tanpa ada pembayaran hak distribusi. Misalnya, untuk screener atau film yang hak awalnya adalah tidak untuk dipertontonkan di bioskop atau televisi. Setelah diimpor, dapat saja importir membeli hak distribusinya untuk dapat ditayangkan di bioskop atau di televisi.
M faizal
(bbg)