Pajak untuk Usaha Pelayaran Dinaikkan

Jum'at, 30 Januari 2015 - 11:23 WIB
Pajak untuk Usaha Pelayaran...
Pajak untuk Usaha Pelayaran Dinaikkan
A A A
JAKARTA - Kalangan usaha pelayaran akan dibebani pajak lebih besar jika aturan yang dikenakan berupa pajak penghasilan (PPh) nonfinal diberlakukan mulai Maret 2015.

Selama ini pelaku usaha pelayaran hanya dikenakan PPh final 1,2% dari laba. Dengan diberlakukannya PPh nonfinal, pelaku usaha dipastikan membayar pajak lebih tinggi karena perhitungan yang diterapkannya berbeda. Ketua Umum Indonesian Shipowners Associations (INSA) Carmelita Hartoto mengatakan, penerapan pajak tersebut dinilai sangat membebani usaha pelayaran.

Alasannya, selain akan membayar pajak lebih besar, penerapan PPh nonfinal juga akan lebih rumit. “Dengan sistem PPh nonfinal, kalangan usaha pelayaran diharuskan menyetor pembukuan. Bagi kami, ini sangat memberatkan,” ujar dia di Jakarta kemarin. Menurut dia, beban pajak di bisnis pelayaran yang ditanggung selama ini sudah cukup berat.

Padahal, kalangan usaha pelayaran telah mendukung kebijakan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak. “Semua kebijakan kita dukung terus di sektor pelayaran dan maritim. Tapi, tidak harus dengan menambah beban pajak bagi pelayaran,” ucapnya.

Dia menjelaskan, beban pajak bagi pelayaran yang diberlakukan di Indonesia saat ini mengakibatkan sektor angkutan laut tidak memiliki daya saing yang tinggi terhadap pengusaha dari luar negeri sehingga banyak potensi ekonomi dan pajak yang justru menguap ke luar negeri. Apalagi, di tengah lesunya perdagangan barang melalui kapal pelayaran.

“Kita mendukung meningkatkanpenerimaanpajak, tetapi lihatlah seperti apa seharusnya negara meningkatkan penerimaan pajak tanpa harus menambah beban pajak yang tinggi bagi pelayaran. Misalnya, dengan membantu meningkatkan pelayaran memperbesar angkutan ekspor-impor,” ujarnya.

Berdasarkan kajian INSA, terdapat potensi penerimaan pajak dari sektor angkutan laut yang selama ini menguap ke luar negeri sebesar Rp10 triliun. Sumber pajak tersebut berasal dari ekspor pertambangan yang diperoleh perusahaan pelayaran asing. Ketua bidang Pajak INSA Indra Yuli mengatakan, banyak kebijakan fiskal di Indonesia yang sangat memberatkan industri pelayaran sehingga sektor ini tidak dapat bersaing dengan perusahaan pelayaran di luar negeri, baik pada kegiatan di dalam negeri maupun di luar negeri.

“Kebijakan pajak di bidang pelayaran di Indonesia itu banyak yang tidak lazim di dunia internasional, termasuk pengenaan PPh final 1,2% dari penghasilan bruto yang sekarang akan direvisi. Kondisi tersebut menyebabkan sektor pelayaran tidak kompetitif dibandingkan di luar negeri,” ujarnya.

Kementerian Keuangan berencana mengubah Peraturan Menteri Keuangan No 416/1996 yang mengenakan PPh final sebesar 1,2% menjadi PPh nonfinal. Pemerintah beralasan akan menggenjot penerimaan pajak dari sektor angkutan laut menjadi sebesar Rp1 triliun dari realisasi 2014 sebesar Rp80,19 miliar.

Yuli menambahkan, Indonesia sudah mengalami pengalaman yang kurang baik dalam mendukung pengembangan sektor maritim saat sektor pelayaran dikenakan PPh non-final sebelum adanya PMK No 416/1996 tersebut. “Ya itu tadi, kira-kira prosesnya akan lebih panjang, di mana setiap usaha pelayaran akan diserahi pembukuan.

Dari situ, akan dihitung laba dengan hitungan 25% dari laba fiskal,” pungkas dia. Pemerintah sebagaimana diketahui akan menggenjot pendapatan dari sektor pajak. Namun, pengamat perpajakan dari Universitas Indonesia Darussalam mengatakan, sebelum menerapkan target yang besar, pemerintah sebaiknya mengontrol sumber daya manusia di bidang pajak. Dia beralasan, saban tahun target pajak pemerintah selalu meleset.

Ichsan amin
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0672 seconds (0.1#10.140)