5,2 Miliar Lembar Uang Tak Layak Edar
A
A
A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) memusnahkan uang tidak layak edar sebanyak 5,195 miliar bilyet uang kertas sepanjang 2014. Angka tersebut naik 4% dari tahun 2013 sebesar 5,017 miliar bilyet uang kertas.
Direktur Departemen Pengelolaan Uang BI Eko Yulianto mengatakan, pemusnahan ini sesuai dengan amanat Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Kebijakan Bank Indonesia dimaksud juga mengacu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/7/PBI/2012 tentang Pengelolaan Uang Rupiah.
“Pemusnahan ini sesuai dengan amanat UU. Uang yang dimusnahkan tidak layak edar, lusuh, kotor, tidak utuh,” kata Eko saat diskusi bersama media di Jakarta kemarin. BI juga menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No. 17/ 1/PBI/2015 tanggal 30 Januari 2015 tentang Jumlah dan Nilai Nominal Uang Rupiah yang Dimusnahkan pada Tahun 2014.
Dia melanjutkan, dilihat dari jumlah yang dimusnahkan pada tahun 2014, sebesar Rp2.000 adalah pecahan rupiah yang paling banyak dimusnahkan, mencapai 1,339 miliar bilyet atau naik dari 1,272 miliar bilyet pada tahun 2013. Sedangkan, pecahan Rp5.000 mengikuti dengan jumlah pemusnahan mencapai 1,051 miliar bilyet atau naik dari 895 juta bilyet pada tahun 2013.
Dilihat dari kenaikan persentase jumlah yang dimusnahkan tahun 2014 dibandingkan tahun 2013, pecahan Rp5.000 merupakan pecahan dengan kenaikan persentase tertinggi, mencapai 17%. “Mayoritas jumlah uang tidak layak edar yang dimusnahkan pada tahun 2014 merupakan pecahan Rp5.000 dan Rp2.000, yakni mencapai 46% dari total uang rupiah yang dimusnahkan,” ujarnya.
Sedangkan, komposisi jumlah uang yang tidak layak edar di atas dipengaruhi oleh preferensi masyarakat dalam menggunakan pecahan nominal tersebut dalam melakukan transaksi. Eko mengungkapkan, pihaknya telah menggelontorkan sekitar Rp3,5 triliun untuk mencetak uang dan mendistribusikan setiap tahunnya. Menurut dia, biaya tersebut akan menghasilkan sekitar 7,9–8,3 miliar lembar uang untuk semua nominal.
“Biaya cetak per masing-masing nominal berbeda- beda. Yang paling mahal itu nominal Rp100.000. Kalau biaya cetak uang logam relatif lebih murah sekitar Rp1.000 per koin,” ungkap dia. Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara menambahkan, pemusnahan uang tak layak edar dilakukan dengan dua cara, yakni dengan mesin sortir kertas dengan memilih lagi uang yang asli dan mana yang diragukan.
Kemudian, dengan cara manual, uang tidak layak disortir dengan mesin kemudian dimusnahkan dengan mesin racik. Menurut Tirta, kegiatan pemusnahan dan peredaran uang adalah kegiatan seharihari. Jadi, tidak dikumpulkan selama setahun. Lebih lanjut dia mengungkap, jumlah uang yang beredar juga akan disesuaikan dengan kebutuhan ekonomi di masyarakat. “Misal, kalau Lebaran dan hari-hari besar, akan ditambah pasokan uang kartalnya sesuai kebutuhan masyarakat,” ungkapnya.
BI juga telah survei kepada masyarakat tentang uang pecahan yang dibutuhkan. Tirta mengatakan, uang pecahan yang dibutuhkan antara daerah berbeda-beda karakteristiknya. Menurut dia, di luar Jawa rata-rata pecahan besar sementara di Pulau Jawa pecahan kecil masih banyak digunakan. “Setelah itu, pendistribusian uang akan disesuaikan,” imbuhnya.
Untuk menjaga agar uang rupiah yang beredar di masyarakat senantiasa berada dalam kondisi yang bersih dan layak edar (clean money policy), Bank Indonesia mengganti uang tidak layak edar tersebut dengan jumlah yang sama sehingga dapat memenuhi kebutuhan transaksi masyarakat.
Selain menjadi salah satu bentuk penghargaan kepada mata uang rupiah, lanjut Tirta, uang yang berkualitas baik juga lebih mudah dikenali ciriciri keasliannya. “Dalam rangka menjaga kualitas uang yang layak edar, BI senantiasa melakukan sosialisasi dan edukasi untuk mendorong masyarakat memperlakukan rupiah dengan baik melalui cara tidak melipat, tidak mencoret, dan tidak merusak dengan melubangi uang,” paparnya.
Kunthi fahmar sandy
Direktur Departemen Pengelolaan Uang BI Eko Yulianto mengatakan, pemusnahan ini sesuai dengan amanat Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Kebijakan Bank Indonesia dimaksud juga mengacu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/7/PBI/2012 tentang Pengelolaan Uang Rupiah.
“Pemusnahan ini sesuai dengan amanat UU. Uang yang dimusnahkan tidak layak edar, lusuh, kotor, tidak utuh,” kata Eko saat diskusi bersama media di Jakarta kemarin. BI juga menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No. 17/ 1/PBI/2015 tanggal 30 Januari 2015 tentang Jumlah dan Nilai Nominal Uang Rupiah yang Dimusnahkan pada Tahun 2014.
Dia melanjutkan, dilihat dari jumlah yang dimusnahkan pada tahun 2014, sebesar Rp2.000 adalah pecahan rupiah yang paling banyak dimusnahkan, mencapai 1,339 miliar bilyet atau naik dari 1,272 miliar bilyet pada tahun 2013. Sedangkan, pecahan Rp5.000 mengikuti dengan jumlah pemusnahan mencapai 1,051 miliar bilyet atau naik dari 895 juta bilyet pada tahun 2013.
Dilihat dari kenaikan persentase jumlah yang dimusnahkan tahun 2014 dibandingkan tahun 2013, pecahan Rp5.000 merupakan pecahan dengan kenaikan persentase tertinggi, mencapai 17%. “Mayoritas jumlah uang tidak layak edar yang dimusnahkan pada tahun 2014 merupakan pecahan Rp5.000 dan Rp2.000, yakni mencapai 46% dari total uang rupiah yang dimusnahkan,” ujarnya.
Sedangkan, komposisi jumlah uang yang tidak layak edar di atas dipengaruhi oleh preferensi masyarakat dalam menggunakan pecahan nominal tersebut dalam melakukan transaksi. Eko mengungkapkan, pihaknya telah menggelontorkan sekitar Rp3,5 triliun untuk mencetak uang dan mendistribusikan setiap tahunnya. Menurut dia, biaya tersebut akan menghasilkan sekitar 7,9–8,3 miliar lembar uang untuk semua nominal.
“Biaya cetak per masing-masing nominal berbeda- beda. Yang paling mahal itu nominal Rp100.000. Kalau biaya cetak uang logam relatif lebih murah sekitar Rp1.000 per koin,” ungkap dia. Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara menambahkan, pemusnahan uang tak layak edar dilakukan dengan dua cara, yakni dengan mesin sortir kertas dengan memilih lagi uang yang asli dan mana yang diragukan.
Kemudian, dengan cara manual, uang tidak layak disortir dengan mesin kemudian dimusnahkan dengan mesin racik. Menurut Tirta, kegiatan pemusnahan dan peredaran uang adalah kegiatan seharihari. Jadi, tidak dikumpulkan selama setahun. Lebih lanjut dia mengungkap, jumlah uang yang beredar juga akan disesuaikan dengan kebutuhan ekonomi di masyarakat. “Misal, kalau Lebaran dan hari-hari besar, akan ditambah pasokan uang kartalnya sesuai kebutuhan masyarakat,” ungkapnya.
BI juga telah survei kepada masyarakat tentang uang pecahan yang dibutuhkan. Tirta mengatakan, uang pecahan yang dibutuhkan antara daerah berbeda-beda karakteristiknya. Menurut dia, di luar Jawa rata-rata pecahan besar sementara di Pulau Jawa pecahan kecil masih banyak digunakan. “Setelah itu, pendistribusian uang akan disesuaikan,” imbuhnya.
Untuk menjaga agar uang rupiah yang beredar di masyarakat senantiasa berada dalam kondisi yang bersih dan layak edar (clean money policy), Bank Indonesia mengganti uang tidak layak edar tersebut dengan jumlah yang sama sehingga dapat memenuhi kebutuhan transaksi masyarakat.
Selain menjadi salah satu bentuk penghargaan kepada mata uang rupiah, lanjut Tirta, uang yang berkualitas baik juga lebih mudah dikenali ciriciri keasliannya. “Dalam rangka menjaga kualitas uang yang layak edar, BI senantiasa melakukan sosialisasi dan edukasi untuk mendorong masyarakat memperlakukan rupiah dengan baik melalui cara tidak melipat, tidak mencoret, dan tidak merusak dengan melubangi uang,” paparnya.
Kunthi fahmar sandy
(ars)