Kemampuan Papua Dipertanyakan

Rabu, 11 Februari 2015 - 12:22 WIB
Kemampuan Papua Dipertanyakan
Kemampuan Papua Dipertanyakan
A A A
JAKARTA - Permintaan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua untuk menguasai 10% saham dari total 30% saham yang akan didivestasi PT Freeport Indonesia dipertanyakan. Butuh dana tak sedikit untuk mengakuisisi saham tersebut.

“Apa betul Pemprov Papua memiliki dana untuk membeli saham Freeport? Jangan sampai pemda hanya menjadi kendaraan pihak swasta,” kata Ketua Working Group Kebijakan Pertambangan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Budi Santoso di Jakarta kemarin.

Gubernur Papua Lukas Anembe mengatakan, Pemprov Papua ingin mendapatkan saham Freeport untuk membangun daerah. Proses untuk itu akan diserahkan pihaknya kepemerintah pusat. “Namun, harapannya ini bisa diwujudkan untuk pembangunan Papua,” ujarnya.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan, pemerintah akan mendengar semua aspirasi dari pemda setempat. Divestasi saham Freeport harus memberikan keuntungan maksimal bagi negara. Pemerintah saat ini tengah mengkaji apakah nanti saham yang akan didivestasi Freeport akan diambil pemerintah pusat atau diserahkan ke pemerintah daerah.

Namun, saat ini pemerintah masih fokus pada rencana pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter ) yang wajib dilaksanakan perusahaan tambang asal AS tersebut. Terkait divestasi tersebut, Senior Advisor Freeport Indonesia Simon Norin meng-ungkapkan, pihaknya belum menentukan nilai saham yang akan didivestasi. “Itu yang sedang kami bicarakan. Tapi, tentunya kalau untuk investasi harus padat modal,” kata dia.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 yang ditandatangani mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 14 Oktober 2014, divestasi saham pertambangan asing dilakukan paling lambat satu tahun sejak peraturan itu diundangkan.

Freeport diwajibkan melepas 10,64% saham pada Oktober 2015 dari total kewajiban mendivestasi 30% sahamnya sesuai nota kesepahaman (memorandum of understanding /MoU) amendemen kontrak pertambangan yang ditandatangani Freeport dengan pemerintah pada 25 Juli 2014.

Saham Freeport Indonesia saat ini 90,64% masih dikuasai Freeport McMoRan dan hanya sebesar 9,36% saham dikuasai Pemerintah Indonesia. Sesuai PP 77/2014 tentang Perubahan Ketiga atas PP No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Freeport juga sudah harus mendivestasikan hingga 30% dalam lima tahun atau sebelum 14 Oktober 2019.

Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Sukhyar mengatakan, divestasi saham Freeport merupakan suatu aspirasi sehingga selanjutnya akan dikaji soal berapa mekanisme pembayaran dan besarnya saham. Namun, pemerintah saat ini belum sampai pada tahap itu.

“Nanti opsinya untuk 30% itu bisa ke siapa saja, apakah ke pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Bagi saya, makin cepat makin baik karena harga sahamnya juga lagi turun-turunnya nih ,” ucapnya.

Amendemen Kontrak

Selain divestasi, Pemerintah Provinsi Papua juga mengajukan aspirasi terkait Freeport yang tertuang dalam 17 item untuk renegosiasi amendemen kontrak pertambangan. Poin-poin dalam 17 item tersebut antara lain, pengalihan Bandara Timika kepada pemda, masalah tenaga kerja, pembukaan rekening Freeport menggunakan bank daerah, pembangunan infrastruktur energi listrik dan pabrik semen hingga royalti.

Menurut Lukas, pengalihan Bandara Timika sudah mendapat kesepakatan dengan Freeport. Bandara Timika sudah diserahkan ke Pemda Timika yang semula dikelola langsung Freeport. Kelistrikan sudah ada kesepakatan Freeport akan mengelola Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) 300 MW atau sebagian dari total 600 MW listrik yang dihasilkan untuk kegiatan di lokasi tambang.

Kesungguhan ini ditunjukkan Freeport yang akan menyerahkan dana dan menjadi offtaker dari proyek PLTA tersebut. Pemda juga mengeluhkan soal ketidaksetaraan yang dialami rakyat Papua dari royalti yang diperoleh selama ini. Ini dapat dilihat dari keluhan masyarakat di daerah dekat wilayah lokasi tambang yang mendapatkan jatah royalti sama dengan masyarakat yang jauh dari lokasi tambang atau bukan di daerah tambang itu beroperasi.

“Untuk royalti, kami minta pemerintah pusat dan daerah meninjau kembali, terutama dengan ketidakmerataan yang dialami masyarakat,” kata Lukas.

Nanang Wijayanto
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4715 seconds (0.1#10.140)