Pertumbuhan Ekonomi Kepri di Atas Ekspektasi
A
A
A
BATAM - Pertumbuhan ekonomi Kepulauan Riau (Kepri) pada 2014 melaju di angka 7,32% di atas ekspektasi dan prediksi otoritas moneter (sebesar 6,2%-6,4%). Angka ini mengalami perbaikan dari tahun sebelumnya meski masih didorong konsumsi.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kepri dalam keterangannya mengungkapkan, realisasi pertumbuhan ekonomi 2014 mengalami kenaikan dari posisi 2013 (sebesar 7,11%). Hal itu diakibatkan meningkatnya komponen atau sumber pertumbuhan tertinggi konsumsi rumah tangga lembaga non profit, kecuali ekspor-impor yang justru menurun.
Konsumsi rumah tangga meningkat jadi 6,90% dari posisi tahun lalu 6,84%, konsumsi lembaga non profit rumah tangga meroket 11,99% dari semula 5,90%, belanja pemerintah melambat 6,45% dari semula 6,85%, pembentukan modal tetap bruto hanya 5,93% dari awalnya 6,85%. Sementara ekspor ambruk jadi negatif 0,56% dari 11,69%. Sejalan dengan ekspor, impor juga terkerek semakin terjerembab jadi negatif 2,37% dari posisi 2013 negatif 1,68%.
Untuk periode kuartal IV/2014, pertumbuhan ekonomi Kepri secara tahunan melaju 7,77%, melompat dari posisi tahun sebelumnya 6,12%. Sama seperti tren sebelum-sebelumnya, pertumbuhan ekonomi secara kuartalan ini tereskpansi 2,06% dari kuartal sebelumnya.
Adapun struktur perekonomian Kepri pada kuartal IV/2014 didominasi oleh Industri Pengolahan 38,69%, Konstruksi 18,03% dan Pertambangan dan Penggalian 15,71%. Masing-masing komponen tumbuh 3,28%, 1,0%, dan 0,95 %.
Secara spasial, pertumbuhan ekonomi terjadi di seluruh provinsi se sumatera. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada Provinsi Jambi sebesar 7,93%, diikuti oleh Provinsi Kepulauan Riau sebesar 7,32% dan Sumatera Barat sebesar 5,85%.
Selain melajunya pertumbuhan, PDRB per kapita di Kepri justru mengalami penurunan selama dua tahun berturut-turut dengan hitungan memakai tahun dasar 2010. Pada 2012, PDRB per kapita per tahun dilaporkan mencapai USD8.550,34, USD8.400,75 pada 2013 dan merosot ke USD8.392,30 tahun 2014. Sementara Total produk domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku Kepri mencapai Rp182,92 triliun.
Bank Indonesia (BI) Kepri memprediksi pertumbuhan ekonomi kawasan ini hingga akhir 2014 mencapai dalam kisaran 6,2%-6,4%.
Hal itu didorong faktor eksternal penguatan ekonomi global, belanja pemerintah hingga dunia usaha yang mulai tancap gas di triwulan IV.
Kepala BI Kepri Gusti Raizal Eka Putra mengungkapkan faktor positif dari sisi eksternal pertumbuhan Kepri pada tahun ini didukung pemulihan ekonomi global terutama permintaan ekspor dari AS dan peningkatan ekonomi di Eropa.
"Di triwulan IV/2014 juga ada penguatan, sehingga secara tahunan kami prediksi pertumbuhan Kepri berkisar 6,2%6,4%. Ekonomi global juga memengaruhi karena Kepri juga sudah sangat terbuka, kalau ekonomi global turun kita juga turun," ujarnya, Jumat (28/11/2014).
Gusti menjelaskan kondisi ekonomi global yang mulai pulih membawa dampak positif terhadap kinerja ekspor Kepri seiring perkiraan peningkatan permintaan ekspor ke AS yang telah mencabut stimulusnya.
Pemulihan kondisi ekonomi juga terjadi di Eropa. Namun Jepang dan China justru masih terjadi stagnansi.
Adapun faktor lain pendorong ekonomi Kepri yakni penguatan konsumsi pemerintah yang akan terjadi di tiga bulan terakhir 2014. Sementara konsumsi rumah tangga justru diperkirakan melambat akibat penurunan daya beli pasca kenaikan harga BBM setelah mempengaruhi inflasi. Kenaikan realisasi belanja pemerintah pada tiga bulan terakhir ini melihat realisasi belanja yang masih rendah pada periode triwulan III yakni sebesar 44,06%.
"Di triwulan IV/2014 pertumbuhannya akan positif, sekarang relatif rendah. Di ujung tahun akan terus dipush," ujarnya.
Gusti juga menilai pemerintah daerah harus meningkatkan belanja diujung tahun untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Kepri hingga akhir 2014 di tengah dampak kenaikan harga BBm bersubsidi sejak 18 November lalu.
Peningkatan harga BBM, lanjut Gusti, bisa memengaruhi penahahan kinerja pertumbuhan ekonomi setelah sebelumnya kenaikan itu juga mengerek laju inflasi lalu berujung menurunkan daya beli masyarakat.
Dari sisi investasi otoritas moneter juga memperkirakan akan tumbuh positif menjadi salah satu penguat pertumbuhan ekonomi. Namun, kondisi unjuk rasa yang terjadi belakangan juga perlu diwaspadai karena bisa menganggu kinerja investasi.
"Kondisi ini harus dijaga benar-benar, karena adanya aksi demo terus menerus juga bisa menimbulkan persepsi kurang baik," ujarnya.
Namun tantangan meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi melalui subtitusi impor menjadi salah satu dorongan Gusti Raizal Eka Putra sepanjang tahun lalu.
"Perekonomian Kepri masih sangat rentan apalagi masih sangat ketergantungan impor yang bisa berdampak ekonomi yang kurang berkualitas. Kesenjangan ekonomi juga semakin melebar di Kepri meski tumbuh di atas nasional," ujar Gusti.
Dosen Bisnis Internasional Universitas Putera Batam (UPB) Suyono Saputra memandang pemerintah seharusnya tidak hanya bicara tentang bagaimana mempercepat laju pertumbuhan ekonomi, memperbesar kue perekonomian, tetapi juga menciptakan upaya untuk memperluas aktor yang akan berperan dan memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas dan berkeadilan. Belanja modal pemerintah dioptimalkan.
Pemerintah dan pelaku usaha juga harus bisa memastikan memberikan kesempatan bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah untuk ambil bagian lebih besar dalam menciptakan pertumbuhan Kepri.
"Tapi saya tidak yakin otoritas FTZ dan pemda punya visi yang kuat mewujudkan ini semua karena pertumbuhan yang terjadi saat ini lebih banyak ditopang swasta dan konsumsi masyarakat," ujarnya.
Pengamat ekonomi M Gita Indrawan Pertumbuhan ekonomi Kepri di kisaran 6,6%-6,8% dinilai belum luar biasa jika dibandingkan dengan daerah lain yang tidak memiliki FTZ.
Kinerja pemerintah daerah di Batam juga dinilai belum maksimal untuk bisa mendorong pertumbuhan ekonomi di kisaran 9%-10%, bahkan dengan status FTZ.
Dia menilai dengan pertumbuhan ekonomi Batam sebesar 7% pun harus dilakukan dengan upaya keras. "Pertumbuhan 6,8% belum maksimal. Pertumbuhan itu pun harus dicapai dengan ngos-ngosan," ucapnya.
Menurut Gita, jika dibandingkan dengan kota lain semisal Makassar yang bisa menembus 9% tanpa FTZ justru jauh lebih luar biasa. Bahkan kota lain di kawasan Sumatra juga mencatatkan pertumbuhan ekonomi lebih baik dari Kota Batam.
Target pertumbuhan realistis di kisaran 6,8% pun dinilai terlalu rendah. Gita mengatakan seharusnya pertumbuhan ekonomi bisa digenjot dengan menarik investasi sebanyak-banyaknya sekaligus memberikan kebijakan yang pro bisnis.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kepri dalam keterangannya mengungkapkan, realisasi pertumbuhan ekonomi 2014 mengalami kenaikan dari posisi 2013 (sebesar 7,11%). Hal itu diakibatkan meningkatnya komponen atau sumber pertumbuhan tertinggi konsumsi rumah tangga lembaga non profit, kecuali ekspor-impor yang justru menurun.
Konsumsi rumah tangga meningkat jadi 6,90% dari posisi tahun lalu 6,84%, konsumsi lembaga non profit rumah tangga meroket 11,99% dari semula 5,90%, belanja pemerintah melambat 6,45% dari semula 6,85%, pembentukan modal tetap bruto hanya 5,93% dari awalnya 6,85%. Sementara ekspor ambruk jadi negatif 0,56% dari 11,69%. Sejalan dengan ekspor, impor juga terkerek semakin terjerembab jadi negatif 2,37% dari posisi 2013 negatif 1,68%.
Untuk periode kuartal IV/2014, pertumbuhan ekonomi Kepri secara tahunan melaju 7,77%, melompat dari posisi tahun sebelumnya 6,12%. Sama seperti tren sebelum-sebelumnya, pertumbuhan ekonomi secara kuartalan ini tereskpansi 2,06% dari kuartal sebelumnya.
Adapun struktur perekonomian Kepri pada kuartal IV/2014 didominasi oleh Industri Pengolahan 38,69%, Konstruksi 18,03% dan Pertambangan dan Penggalian 15,71%. Masing-masing komponen tumbuh 3,28%, 1,0%, dan 0,95 %.
Secara spasial, pertumbuhan ekonomi terjadi di seluruh provinsi se sumatera. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada Provinsi Jambi sebesar 7,93%, diikuti oleh Provinsi Kepulauan Riau sebesar 7,32% dan Sumatera Barat sebesar 5,85%.
Selain melajunya pertumbuhan, PDRB per kapita di Kepri justru mengalami penurunan selama dua tahun berturut-turut dengan hitungan memakai tahun dasar 2010. Pada 2012, PDRB per kapita per tahun dilaporkan mencapai USD8.550,34, USD8.400,75 pada 2013 dan merosot ke USD8.392,30 tahun 2014. Sementara Total produk domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku Kepri mencapai Rp182,92 triliun.
Bank Indonesia (BI) Kepri memprediksi pertumbuhan ekonomi kawasan ini hingga akhir 2014 mencapai dalam kisaran 6,2%-6,4%.
Hal itu didorong faktor eksternal penguatan ekonomi global, belanja pemerintah hingga dunia usaha yang mulai tancap gas di triwulan IV.
Kepala BI Kepri Gusti Raizal Eka Putra mengungkapkan faktor positif dari sisi eksternal pertumbuhan Kepri pada tahun ini didukung pemulihan ekonomi global terutama permintaan ekspor dari AS dan peningkatan ekonomi di Eropa.
"Di triwulan IV/2014 juga ada penguatan, sehingga secara tahunan kami prediksi pertumbuhan Kepri berkisar 6,2%6,4%. Ekonomi global juga memengaruhi karena Kepri juga sudah sangat terbuka, kalau ekonomi global turun kita juga turun," ujarnya, Jumat (28/11/2014).
Gusti menjelaskan kondisi ekonomi global yang mulai pulih membawa dampak positif terhadap kinerja ekspor Kepri seiring perkiraan peningkatan permintaan ekspor ke AS yang telah mencabut stimulusnya.
Pemulihan kondisi ekonomi juga terjadi di Eropa. Namun Jepang dan China justru masih terjadi stagnansi.
Adapun faktor lain pendorong ekonomi Kepri yakni penguatan konsumsi pemerintah yang akan terjadi di tiga bulan terakhir 2014. Sementara konsumsi rumah tangga justru diperkirakan melambat akibat penurunan daya beli pasca kenaikan harga BBM setelah mempengaruhi inflasi. Kenaikan realisasi belanja pemerintah pada tiga bulan terakhir ini melihat realisasi belanja yang masih rendah pada periode triwulan III yakni sebesar 44,06%.
"Di triwulan IV/2014 pertumbuhannya akan positif, sekarang relatif rendah. Di ujung tahun akan terus dipush," ujarnya.
Gusti juga menilai pemerintah daerah harus meningkatkan belanja diujung tahun untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Kepri hingga akhir 2014 di tengah dampak kenaikan harga BBm bersubsidi sejak 18 November lalu.
Peningkatan harga BBM, lanjut Gusti, bisa memengaruhi penahahan kinerja pertumbuhan ekonomi setelah sebelumnya kenaikan itu juga mengerek laju inflasi lalu berujung menurunkan daya beli masyarakat.
Dari sisi investasi otoritas moneter juga memperkirakan akan tumbuh positif menjadi salah satu penguat pertumbuhan ekonomi. Namun, kondisi unjuk rasa yang terjadi belakangan juga perlu diwaspadai karena bisa menganggu kinerja investasi.
"Kondisi ini harus dijaga benar-benar, karena adanya aksi demo terus menerus juga bisa menimbulkan persepsi kurang baik," ujarnya.
Namun tantangan meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi melalui subtitusi impor menjadi salah satu dorongan Gusti Raizal Eka Putra sepanjang tahun lalu.
"Perekonomian Kepri masih sangat rentan apalagi masih sangat ketergantungan impor yang bisa berdampak ekonomi yang kurang berkualitas. Kesenjangan ekonomi juga semakin melebar di Kepri meski tumbuh di atas nasional," ujar Gusti.
Dosen Bisnis Internasional Universitas Putera Batam (UPB) Suyono Saputra memandang pemerintah seharusnya tidak hanya bicara tentang bagaimana mempercepat laju pertumbuhan ekonomi, memperbesar kue perekonomian, tetapi juga menciptakan upaya untuk memperluas aktor yang akan berperan dan memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas dan berkeadilan. Belanja modal pemerintah dioptimalkan.
Pemerintah dan pelaku usaha juga harus bisa memastikan memberikan kesempatan bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah untuk ambil bagian lebih besar dalam menciptakan pertumbuhan Kepri.
"Tapi saya tidak yakin otoritas FTZ dan pemda punya visi yang kuat mewujudkan ini semua karena pertumbuhan yang terjadi saat ini lebih banyak ditopang swasta dan konsumsi masyarakat," ujarnya.
Pengamat ekonomi M Gita Indrawan Pertumbuhan ekonomi Kepri di kisaran 6,6%-6,8% dinilai belum luar biasa jika dibandingkan dengan daerah lain yang tidak memiliki FTZ.
Kinerja pemerintah daerah di Batam juga dinilai belum maksimal untuk bisa mendorong pertumbuhan ekonomi di kisaran 9%-10%, bahkan dengan status FTZ.
Dia menilai dengan pertumbuhan ekonomi Batam sebesar 7% pun harus dilakukan dengan upaya keras. "Pertumbuhan 6,8% belum maksimal. Pertumbuhan itu pun harus dicapai dengan ngos-ngosan," ucapnya.
Menurut Gita, jika dibandingkan dengan kota lain semisal Makassar yang bisa menembus 9% tanpa FTZ justru jauh lebih luar biasa. Bahkan kota lain di kawasan Sumatra juga mencatatkan pertumbuhan ekonomi lebih baik dari Kota Batam.
Target pertumbuhan realistis di kisaran 6,8% pun dinilai terlalu rendah. Gita mengatakan seharusnya pertumbuhan ekonomi bisa digenjot dengan menarik investasi sebanyak-banyaknya sekaligus memberikan kebijakan yang pro bisnis.
(dmd)