Pemilihan Kapolri dan Peranan Para Aktor
A
A
A
“Baru kali ini aku ragu terhadap?@ jokowi_do2 “ Ini adalah posting yang ditulis di Twitter salah satu komposer terkenal Indonesia yang menyatakan keraguan terhadap Jokowi yang dulu menjadi idolanya. Ia melanjutkan posting-nya seperti ini: “Baca twit Jkw haters, keraguanku jadi makin sirna. Makasih ya bikin aku yakin kembali.”
Brand Jokowi pastilah punya karisma. Yang ragu saja masih bisa yakin kembali. Mudah-mudahan keputusan final tentang kepala Polri tidak membuat sang komposer mengubah pikirannya lagi. Saya pun mengalami hal yang sama ketika pada suatu siang tiba-tiba iPhone5S mati total. Ini shocking experience.
Sebuah brand gadget cemerlang berhenti berfungsi, padahal baru beberapa bulan dimiliki. Sakitnya tuh di sini..... Sepertinya saya harus menyanyikan lagu Cita Citata waktu petugas di counter service di dealer dengan entengnya mengatakan data saya sudah hilang semua.
Menurutnya, itu hal biasa, sudah banyak yang mengalaminya. Kekecewaan tumpah pada brand yang konon adalah The BEST BRAND (Ranking No 1 ) di tingkat global dengan nilai jual USD118,863 juta, menggeser dominasi brand kuat seperti Coca-Cola dan IBM. Seharusnya brand sekaliber ini bisa menjaga relationship - nya dengan konsumen sebaikbaiknya.
Gadget yang tiba-tiba rusak adalah pengalaman UNTHINKABLE, sangat di luar ekspektasi. Sepertinya saya harus menyanyikan lagu itu di hadapan anak saya sebagai brand ambassador iPhone yang sudah sangat antusias memengaruhi saya untuk pindah dari Samsung Note ke iPhone5S.
Bagaimana tidak sakit hati? Anak saya ternyata sudah mengganti iPhone-nya dengan Samsung. Ternyata, dia sadari belakangan bahwa brand yang menjadi ex-soulmate saya itu memang punya nilai tambah. Saya kecewa kepada the influencer sekaligus the decider. Beginilah kisah menjadi user gaptek yang tidak bisa menentukan nasibnya sendiri.
Kapolri dan Decider
ETNOMARK Consulting yang belakangan mulai mengerjakan studi ethnography untuk brand business-to-business (B2B) melihat bahwa dalam pengambilan keputusan di sebuah buying center di perusahaan, selalu terjadi tarik-menarik kepentingan. Ada banyak aktor yang berperan saat penentuan pembelian produk di sebuah buying center perusahaan.
Tantangannya adalah bagaimana mendapatkan insights untuk mengerti peranan tiap aktor? Menguak cerita-cerita di balik sebuah keputusan pembelian produk atau jasa, tidak bisa dikerjakan dalam satu kali interviu atau beberapa focus group discussion saja. Ethnography sebagai sebuah pendekatan riset menjadi alat penggalian insights yang bisa menjelaskan dinamika interaksi antaraktor tersebut.
Dalam Framework ‘Six Buying Role’ dikenal enam aktor dengan peranannya masingmasing yaitu (1) the initiator, (2) the influencer, (3) the purchaser (procurement), (4)the gate keeper, (5)the decider, (6)the user. Coba kita hubungkan dengan situasi pemilihan kepala Polri yang kemudian menjadi benang kusut. Mulai simpang siur berita tentang kemunculan para aktor dengan berbagai kepentingan.
Apakah sudah terjadi pergeseran peran? Yang seharusnya decider (yaitu Presiden) tampaknya mulai diragukan dominasinya. Masyarakat mulai bertanyatanya dan curiga: Siapa berperan sebagai apa? Siapa initiator pemilihan BG sebagai calon kepala Polri? Siapa saja influencer-nya? Lembaga mana saja gate keepernya? Adakah ‘thesilentmagichand’ dalam keputusan akhir nanti? Masyarakat butuh transparansi informasi.
Bukankah transparansi adalah bagian dari janji Jokowi? Dengan studi ethnography sebenarnya hal ini bisa ditelusuri secara lebih mendalam agar rakyat mendapat penjelasan yang lebih konkret. Mengungkap yang tak terungkap. Jangan sampai peranan Presiden di babak ini menjadi terbalik.
Bukan decider lagi, tetapi user dari keputusan tersebut. Untuk soulmate brand Jokowi, rasanya benar-benar “Sakitnya tuh di Sini” kalau memang sang aktor utama hanya menjadi peran figuran yang tidak penting dalam sinetron berbabak- babak ini.
AMALIA E. MAULANA. PH.D.
Brand Consultant & Ethnographer ETNOMARK Consulting
www.amaliamaulana.com
@etnoamalia
Brand Jokowi pastilah punya karisma. Yang ragu saja masih bisa yakin kembali. Mudah-mudahan keputusan final tentang kepala Polri tidak membuat sang komposer mengubah pikirannya lagi. Saya pun mengalami hal yang sama ketika pada suatu siang tiba-tiba iPhone5S mati total. Ini shocking experience.
Sebuah brand gadget cemerlang berhenti berfungsi, padahal baru beberapa bulan dimiliki. Sakitnya tuh di sini..... Sepertinya saya harus menyanyikan lagu Cita Citata waktu petugas di counter service di dealer dengan entengnya mengatakan data saya sudah hilang semua.
Menurutnya, itu hal biasa, sudah banyak yang mengalaminya. Kekecewaan tumpah pada brand yang konon adalah The BEST BRAND (Ranking No 1 ) di tingkat global dengan nilai jual USD118,863 juta, menggeser dominasi brand kuat seperti Coca-Cola dan IBM. Seharusnya brand sekaliber ini bisa menjaga relationship - nya dengan konsumen sebaikbaiknya.
Gadget yang tiba-tiba rusak adalah pengalaman UNTHINKABLE, sangat di luar ekspektasi. Sepertinya saya harus menyanyikan lagu itu di hadapan anak saya sebagai brand ambassador iPhone yang sudah sangat antusias memengaruhi saya untuk pindah dari Samsung Note ke iPhone5S.
Bagaimana tidak sakit hati? Anak saya ternyata sudah mengganti iPhone-nya dengan Samsung. Ternyata, dia sadari belakangan bahwa brand yang menjadi ex-soulmate saya itu memang punya nilai tambah. Saya kecewa kepada the influencer sekaligus the decider. Beginilah kisah menjadi user gaptek yang tidak bisa menentukan nasibnya sendiri.
Kapolri dan Decider
ETNOMARK Consulting yang belakangan mulai mengerjakan studi ethnography untuk brand business-to-business (B2B) melihat bahwa dalam pengambilan keputusan di sebuah buying center di perusahaan, selalu terjadi tarik-menarik kepentingan. Ada banyak aktor yang berperan saat penentuan pembelian produk di sebuah buying center perusahaan.
Tantangannya adalah bagaimana mendapatkan insights untuk mengerti peranan tiap aktor? Menguak cerita-cerita di balik sebuah keputusan pembelian produk atau jasa, tidak bisa dikerjakan dalam satu kali interviu atau beberapa focus group discussion saja. Ethnography sebagai sebuah pendekatan riset menjadi alat penggalian insights yang bisa menjelaskan dinamika interaksi antaraktor tersebut.
Dalam Framework ‘Six Buying Role’ dikenal enam aktor dengan peranannya masingmasing yaitu (1) the initiator, (2) the influencer, (3) the purchaser (procurement), (4)the gate keeper, (5)the decider, (6)the user. Coba kita hubungkan dengan situasi pemilihan kepala Polri yang kemudian menjadi benang kusut. Mulai simpang siur berita tentang kemunculan para aktor dengan berbagai kepentingan.
Apakah sudah terjadi pergeseran peran? Yang seharusnya decider (yaitu Presiden) tampaknya mulai diragukan dominasinya. Masyarakat mulai bertanyatanya dan curiga: Siapa berperan sebagai apa? Siapa initiator pemilihan BG sebagai calon kepala Polri? Siapa saja influencer-nya? Lembaga mana saja gate keepernya? Adakah ‘thesilentmagichand’ dalam keputusan akhir nanti? Masyarakat butuh transparansi informasi.
Bukankah transparansi adalah bagian dari janji Jokowi? Dengan studi ethnography sebenarnya hal ini bisa ditelusuri secara lebih mendalam agar rakyat mendapat penjelasan yang lebih konkret. Mengungkap yang tak terungkap. Jangan sampai peranan Presiden di babak ini menjadi terbalik.
Bukan decider lagi, tetapi user dari keputusan tersebut. Untuk soulmate brand Jokowi, rasanya benar-benar “Sakitnya tuh di Sini” kalau memang sang aktor utama hanya menjadi peran figuran yang tidak penting dalam sinetron berbabak- babak ini.
AMALIA E. MAULANA. PH.D.
Brand Consultant & Ethnographer ETNOMARK Consulting
www.amaliamaulana.com
@etnoamalia
(bbg)