Asosiasi Minta Pembangunan Smelter Diperlonggar

Senin, 23 Februari 2015 - 09:55 WIB
Asosiasi Minta Pembangunan Smelter Diperlonggar
Asosiasi Minta Pembangunan Smelter Diperlonggar
A A A
JAKARTA - Pemerintah sebaiknya memperlonggar pembangunan smelter mineral bagi perusahaan tambang. Asosiasi menuding kebijakan pembangunan smelter berpotensi hilangnya pendapatan negara mencapai Rp18 triliun.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) Erry Sofyan mengatakan, penerapan Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1 Tahun 2014 tentang peningkatan nilai tambah mineral melalui kewajiban pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) komoditas bauksit perlu kelonggaran dalam kurun waktu tertentu.

“Jika tidak, perusahaan tambang mineral terancam gulung tikar. Sudah banyak perusahaan tambang mineral yang terancam bangkrut dan ribuan karyawannya terpaksa diberhentikan. Permen tersebut menegaskan bahwa komoditas seperti bauksit olahan tidak bisa diekspor,” ungkapnya di Jakarta kemarin.

Dia mengatakan, saat ini sudah ada perusahaan bauksit yang mencapai tahap pembangunan smelter meski tidak mendapatkan dukungan sarana infrastruktur dan energi yang memadai. Menurut Erry, pemerintah perlu mencari solusi dan alternatif lain sehingga proses hilirisasi dapat berjalan baik.

Pemerintah harus segera mengukuhkan kebijakan di sektor mineral beserta roadmap hilirisasi yang menjadi panduan bagi pengelolaan mineral. “Mineral policy ini dapat ditentukan dengan jelas, mineral apa saja yang harus diolah dan dimurnikan di dalam negeri serta mineral apa saja yang mungkin secara bertahap dilakukan proses lanjutannya,” ungkapnya.

Sementara itu, Ketua Working Group Kebijakan Pertambangan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Budi Santoso mengatakan, pemerintah harus konsisten mewajibkan pembangunan smelter di dalam negeri. Ketegasan tersebut harus diperlihatkan pemerintah meski realisasi investasi tahun lalu di bawah target.

Budi mengatakan, perlu kajian yang seksama sebelum pemerintah memberikan kelonggaranpembangunan smelter dan kelonggaran larangan ekspor mineral mentah. “Sebelum memberikan kelonggaran memberikan dispensasi, perlu ada kajian yang seksama mengenai penambang yang benar-benar akan membangun smelter atau hanya berorientasi ekspor. Perlu estimasi cadangan standar KCMI (Komite Cadangan Mineral Indonesia) atau JORC (Joint Ore Reserves Committee) dan studi kelayakannya, jangan hanya sekadarnya,” ucapnya.

Menurut dia, pemerintah jangan gegabah memberikan kelonggaran bagi penambang yang tidak memiliki cadangan yang benar dan kajian kelayakan yang serius. “Pemerintah tidak perlu memberi dispensasi karena penambang yang oportunis diberi kesempatan akan cari celah yang lain,” kata dia.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Sukhyar mengakui hingga saat ini pembangunan smelter masih menemui banyak kendala. Pembangunan smelter yang paling maju berasal dari komoditas zirkon, nikel, dan pasir besi. “Sementara komoditas bauksit belum terealisasi karena investasi yang dibutuhkan besar. Seperti Harita Prima Abadi Mineral, total penyerapan investasinya baru 30%,” ungkapnya.

Data Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan hingga Oktober 2014 realisasi investasi smelter baru mencapai 28,5% dari total target investasi sepanjang 2014 yang mencapai USD17,5 miliar. Tercatat 25 perusahaan telah mencapai tahap commissioning atau uji coba produksi dari total 76 perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) mineral.

Dari total 36 pemegang IUP mineral nikel, sebanyak 30 di antaranya berkomitmen membangun smelter. Untuk mineral bauksit, dari total jumlah IUP 11 perusahaan, ada enam rencana pembangunan smelter .

Nanang wijayanto
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7917 seconds (0.1#10.140)