Rupiah Sentuh Level Rp13.000
A
A
A
JAKARTA - Nilai tukar rupiah kemarin kembali melemah hingga sempat menyentuh level Rp13.000 per dolar Amerika Serikat (AS) sebelum akhirnya ditutup di angka Rp12.990 per dolar.
Pelemahan nila itu kar mata uang rupiah diyakini sebagai akibat faktor eksternal, terutama karena lemahnya nilai tukar mata uang euro dan yen Jepang. “Dari 12 mata uang asing di Asia, sembilan mata uang melemah termasuk Indonesia,” ujar pengamat ekonomi Lana Soelistyaningsih kepada KORAN SINDO di Jakarta kemarin. Menurut Lana, mata uang euro dan yen sengaja dibuat lemah sehingga otomatis mendorong pelemahan rupiah.
Selain itu, kata dia, ada faktor lain yakni dari dalam negeri di mana biasanya pada Maret merupakan masa-masa pembayaran utang dalam negeri. Dia mengungkapkan, euro masih terus dilemahkan oleh Bank Sentral Eropa (European Central Bank) sejalan dengan kebijakan pelonggaran kuantitatif seperti yang pernah dijalankan Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/The Fed).
“Per bulan ini saja, Uni Eropa mulai mengguyur sekitar 60 miliar euro. Ini sebagai kebijakan kuantitatif easing mereka. Jadi ya setiap bulan sampai nanti Desember 2016 ini masih ada potensi penguatan dolar menguat kecuali AS menaikkan suku bunga acuannya,” ucap dia. Dia mengatakan, pada April diperkirakan rupiah akan membaik karena ada perbaikan pembelian dolar untuk perbaikan utang.
Namun, dia memperkirakan sulit bagi rupiah kembali ke kisaran Rp12.500. Head of Research MNC Securitas Edwin Sebayang mengatakan, terpuruknya mata uang Garuda terhadap dolar AS disebabkan oleh berbagai faktor, baik itu dari internal maupun eksternal perekonomian nasional.
“Ini lebih cepat dari perkiraan analis sebelumnya, pada hal kami memperkirakan kenaikan dolar AS baru terjadi pada Juni 2015 pada saat pengumuman The Fed (bank sentral AS),” kata Edwin kepada KORAN SINDO di Jakarta kemarin. Menurutnya, penyebab internal diakibatkan oleh meningkatnya kebutuhan impor di Tanah Air.
Selain itu, langkah Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan (BI Rate ) sebesar 25 basis poin menjadi 7,5% menyebabkan investor tidak tertarik berinvestasi dalam mata uang rupiah. Di sisi lain, kata dia, sejumlah rencana kerja pemerintah dalam pembangunan infrastruktur masih belum terealisasi. Ini terlihat dari sejumlah emiten konstruksi yang membukukan nilai kontrak lebih kecil dibandingkan awal tahun sebelumnya.
“Proyek infrastruktur pemerintah yang terlalu bombastis menyebabkan ekspektasi pasar terlalu besar, kenyataannya belum juga terealisasi hingga saat ini,” ungkapnya. Edwin menambahkan, penyebab melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dari eksternal yaitu ada ekspektasi yang besar oleh investor untuk menanamkan modal di Negeri Paman Sam. Pasalnya, ada potensi perekonomian di AS yang kian menguat seiring kenaikan The Fed.
Faktor eksternal lain masih ada perang mata uang. “Jika sampai saat ini dolar AS hampir Rp13.000, tidak menutup kemungkinan pada Juni bisa mencapai lebih dari Rp13.500 karena pada saat itu The Fed akan merilis kebijakan barunya,” ungkapnya. Untuk mengantisipasi itu, kata Edwin, pemerintah harus memperhatikan cadangan devisa negara.
Di sisi lain, pemerintah juga harus memperkuat ekspor seiring dengan penurunan ekonomi di Tiongkok. Analis Indosurya Securities William Surya Wijaya memperkirakan, pelemahan rupiah tidak akan berlangsung lama. Dia menilai saat ini laju dolar (AS) mulai menguat, tetapi secara terbatas. “Dia (AS) masih cukup kuat. Sebenarnya penguatan USD lebih ke arah terbatas, pekan ini lebih sudah di arah distribusi. Tinggal tunggu waktu bisa terkoreksi,” ujarnya.
Di bagian lain, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa tekanan pada mata uang rupiah juga dialami mata uang negaranegara lain sehingga ia menilai ini hanya bersifat sementara. “Jadi perkembangan tadi kita dapat laporan dari gubernur Bank Indonesia dan kita semua harap agar itu bersifat sementara karena ini dipicu penguatan dolar AS terhadap semua mata uang dunia.
Kita juga ingin agar rupiah ini bergerak pada level yang aman,” kata Presiden. Presiden juga mengatakan, dengan kondisi saat ini, pemerintah juga melakukan sejumlah hal untuk memastikan ini tidak terlalu memengaruhi kondisi perekonomian nasional. “Tadi kita sampaikan itu pada gubernur Bank Indonesia.
Karena kalau kita lihat informasi dari ekonom juga dunia usaha, investor juga melihat bahwa kita memang sudah melakukan perbaikan-perbaikan dalam perekonomian kita, jelas sekarang lebih longgar dan kelihatan,” ungkapnya.
Kunthi fahmar sandy/Heru febrianto/Ant
Pelemahan nila itu kar mata uang rupiah diyakini sebagai akibat faktor eksternal, terutama karena lemahnya nilai tukar mata uang euro dan yen Jepang. “Dari 12 mata uang asing di Asia, sembilan mata uang melemah termasuk Indonesia,” ujar pengamat ekonomi Lana Soelistyaningsih kepada KORAN SINDO di Jakarta kemarin. Menurut Lana, mata uang euro dan yen sengaja dibuat lemah sehingga otomatis mendorong pelemahan rupiah.
Selain itu, kata dia, ada faktor lain yakni dari dalam negeri di mana biasanya pada Maret merupakan masa-masa pembayaran utang dalam negeri. Dia mengungkapkan, euro masih terus dilemahkan oleh Bank Sentral Eropa (European Central Bank) sejalan dengan kebijakan pelonggaran kuantitatif seperti yang pernah dijalankan Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/The Fed).
“Per bulan ini saja, Uni Eropa mulai mengguyur sekitar 60 miliar euro. Ini sebagai kebijakan kuantitatif easing mereka. Jadi ya setiap bulan sampai nanti Desember 2016 ini masih ada potensi penguatan dolar menguat kecuali AS menaikkan suku bunga acuannya,” ucap dia. Dia mengatakan, pada April diperkirakan rupiah akan membaik karena ada perbaikan pembelian dolar untuk perbaikan utang.
Namun, dia memperkirakan sulit bagi rupiah kembali ke kisaran Rp12.500. Head of Research MNC Securitas Edwin Sebayang mengatakan, terpuruknya mata uang Garuda terhadap dolar AS disebabkan oleh berbagai faktor, baik itu dari internal maupun eksternal perekonomian nasional.
“Ini lebih cepat dari perkiraan analis sebelumnya, pada hal kami memperkirakan kenaikan dolar AS baru terjadi pada Juni 2015 pada saat pengumuman The Fed (bank sentral AS),” kata Edwin kepada KORAN SINDO di Jakarta kemarin. Menurutnya, penyebab internal diakibatkan oleh meningkatnya kebutuhan impor di Tanah Air.
Selain itu, langkah Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan (BI Rate ) sebesar 25 basis poin menjadi 7,5% menyebabkan investor tidak tertarik berinvestasi dalam mata uang rupiah. Di sisi lain, kata dia, sejumlah rencana kerja pemerintah dalam pembangunan infrastruktur masih belum terealisasi. Ini terlihat dari sejumlah emiten konstruksi yang membukukan nilai kontrak lebih kecil dibandingkan awal tahun sebelumnya.
“Proyek infrastruktur pemerintah yang terlalu bombastis menyebabkan ekspektasi pasar terlalu besar, kenyataannya belum juga terealisasi hingga saat ini,” ungkapnya. Edwin menambahkan, penyebab melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dari eksternal yaitu ada ekspektasi yang besar oleh investor untuk menanamkan modal di Negeri Paman Sam. Pasalnya, ada potensi perekonomian di AS yang kian menguat seiring kenaikan The Fed.
Faktor eksternal lain masih ada perang mata uang. “Jika sampai saat ini dolar AS hampir Rp13.000, tidak menutup kemungkinan pada Juni bisa mencapai lebih dari Rp13.500 karena pada saat itu The Fed akan merilis kebijakan barunya,” ungkapnya. Untuk mengantisipasi itu, kata Edwin, pemerintah harus memperhatikan cadangan devisa negara.
Di sisi lain, pemerintah juga harus memperkuat ekspor seiring dengan penurunan ekonomi di Tiongkok. Analis Indosurya Securities William Surya Wijaya memperkirakan, pelemahan rupiah tidak akan berlangsung lama. Dia menilai saat ini laju dolar (AS) mulai menguat, tetapi secara terbatas. “Dia (AS) masih cukup kuat. Sebenarnya penguatan USD lebih ke arah terbatas, pekan ini lebih sudah di arah distribusi. Tinggal tunggu waktu bisa terkoreksi,” ujarnya.
Di bagian lain, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa tekanan pada mata uang rupiah juga dialami mata uang negaranegara lain sehingga ia menilai ini hanya bersifat sementara. “Jadi perkembangan tadi kita dapat laporan dari gubernur Bank Indonesia dan kita semua harap agar itu bersifat sementara karena ini dipicu penguatan dolar AS terhadap semua mata uang dunia.
Kita juga ingin agar rupiah ini bergerak pada level yang aman,” kata Presiden. Presiden juga mengatakan, dengan kondisi saat ini, pemerintah juga melakukan sejumlah hal untuk memastikan ini tidak terlalu memengaruhi kondisi perekonomian nasional. “Tadi kita sampaikan itu pada gubernur Bank Indonesia.
Karena kalau kita lihat informasi dari ekonom juga dunia usaha, investor juga melihat bahwa kita memang sudah melakukan perbaikan-perbaikan dalam perekonomian kita, jelas sekarang lebih longgar dan kelihatan,” ungkapnya.
Kunthi fahmar sandy/Heru febrianto/Ant
(bbg)