Harga Bahan Pokok Rentan Gejolak
A
A
A
JAKARTA - Pasca kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan elpiji nonsubsidi baru-baru ini pemerintah diminta bersiap mengantisipasi gejolak harga bahan-bahan pokok.
Wakil Direktur Reforminers Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai pengambil kebijakan kenaikan harga BBM harus berkoordinasi dengan instansi lain untuk mengantisipasi lonjakan harga kebutuhan pokok.
Dengan begitu, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, dan instansi terkait lain segera bergerak mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar harga bahan pokok dapat dikendalikan. “Apa yang terjadi di ESDM harus diantisipasi oleh kementerian lain. Saling koordinasi menemukan formula sehingga efek naiknya harga BBM bisa dikendalikan,” kata Komaidi saat dihubungi KORAN SINDO di Jakarta kemarin.
Menurut dia, kebijakan menaikkan harga bahan bakar sudah pasti akan mengerek inflasi. Itu perlu diantisipasi mengingat naik-turun harga BBM masih akan terus berlangsung ke depan sebagai konsekuensi kebijakan pemerintah yang tidak lagi memberikan subsidi bagi BBM jenis premium. Sementara itu, harga minyak dunia yang hingga Januari lalu telah merosot ke titik terendah selama enam tahun terakhir pelan-pelan mulai beranjak naik.
Saat ini harga minyak diyakini dalam tren menguat. Menteri Perminyakan Irak Adel Abdel Mahdi sebelumnya mengatakan, harga minyak kemungkinan akan kembali menuju level USD64-65/barel dalam waktu dekat. Ancaman peningkatan inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar sebelumnya juga diungkapkan Deputi bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadi Wibowo.
Menurut dia, pada Maret ini diperkirakan mulai terjadi inflasi karena pemerintah telah menaikkan harga premium yang diikuti kenaikan harga elpiji kemasan 12 kg. Namun, inflasi diperkirakan tetap rendah karena Maret telah memasuki masa panen. “Tapi, kita lihat bagaimana yang terjadi, mudah-mudahan sesuai harapan kita. Kalaupun terjadi inflasi, tidak terlalu tinggi,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta mengatakan, terkait dengan kenaikan harga BBM dan elpiji, saat ini memang belum terjadi gejolak apa-apa di pasar ritel. “Kenaikan harga BBM dan elpiji memang tidak bisa serta-merta kita melihat korelasi langsung dengan penjualan di ritel. Karena, kami ini kan penjual produk-produk pemasok, baik industri maupun importir.
Sekarang sih mereka belum menaikkan (harga),” ucapnyakepada KORANSINDO. Namun, kalaupun terjadi kenaikan harga, Tutum berharap nilainya tidak signifikan. “Produk-produk ini kan bedabeda. Sementara ini kenaikan BBM kita melihat hanya Rp200. Jadi saya harap kenaikannya tidak signifikan,” katanya. Menurut dia, umumnya setiap industri menetapkan batas atas dan bawah untuk harga produknya.
Dengan kenaikan harga BBM yang hanya Rp200/liter, kata dia, diharapkan dampaknya tidak melebihi batas toleransi harga yang telah ditetapkan produsen. Kekhawatiran bakal meningkatnya harga barangbarang sebelumnya juga diutarakan oleh Ketua Harian Yayasan Layanan Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi. Khususnya Tulus menyoroti kebijakan baru pemerintah yang mengenakan PPN 10% pada tarif tol.
Menurut dia, itu dapat memicu kenaikan ongkos distribusi barang yang kemudian berpotensi menaikkan harga bahan kebutuhan pokok. Karena itu, YLKI meminta rencana penerapan PPN 10% terhadap tarif tol itu di batalkan. “Hal tersebut dapat memberatkan pihak konsumen dan akan berdampak pada kenaikan kebutuhan pokok,” ucapnya.
Sementara itu, ekonom UI Lana Soelistyaningsih menilai kenaikan harga pada sejumlah barang masih bisa dikompensasi oleh daya beli masyarakat yang masih cukup kuat. “Berdasarkan hitungan data dari 2004-2014, pertumbuhan per kapita naik 13% per tahun, sementara inflasi naik 7% per tahun, dan daya beli masyarakat untuk semua kelas naik 6,5% per tahun,” tuturnya.
Ini, menurutnya, menandakan bahwa dampak kenaikan harga bagi konsumen seharusnya tidak terlalu berpengaruh. Terlebih harga barang yang berbasis komoditas di pasar internasional pun kini banyak yang turun harga. Karena itu, sekalipun rupiah sedang lemah, kenaikan daya beli akan mampu mengatasi itu. Namun, Indonesia juga tetap harus waspada dengan barang impor yang mampu memengaruhi nilai pertumbuhan ekonomi.
Terkait lonjakan harga beras baru-baru ini, Lana memperkirakan harganya akan kembali turun pada Maret atau April mendatang. “Khusus hal ini, kesalahan terletak pada manajemen produksi yang kurang baik, kenapa bisa beras tidak masuk ke pasar, padahal pasokannya tersedia di gudang Bulog,” ucapnya.
Nanang wijayanto/Oktiani endarwati/Rabia edra
Wakil Direktur Reforminers Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai pengambil kebijakan kenaikan harga BBM harus berkoordinasi dengan instansi lain untuk mengantisipasi lonjakan harga kebutuhan pokok.
Dengan begitu, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, dan instansi terkait lain segera bergerak mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar harga bahan pokok dapat dikendalikan. “Apa yang terjadi di ESDM harus diantisipasi oleh kementerian lain. Saling koordinasi menemukan formula sehingga efek naiknya harga BBM bisa dikendalikan,” kata Komaidi saat dihubungi KORAN SINDO di Jakarta kemarin.
Menurut dia, kebijakan menaikkan harga bahan bakar sudah pasti akan mengerek inflasi. Itu perlu diantisipasi mengingat naik-turun harga BBM masih akan terus berlangsung ke depan sebagai konsekuensi kebijakan pemerintah yang tidak lagi memberikan subsidi bagi BBM jenis premium. Sementara itu, harga minyak dunia yang hingga Januari lalu telah merosot ke titik terendah selama enam tahun terakhir pelan-pelan mulai beranjak naik.
Saat ini harga minyak diyakini dalam tren menguat. Menteri Perminyakan Irak Adel Abdel Mahdi sebelumnya mengatakan, harga minyak kemungkinan akan kembali menuju level USD64-65/barel dalam waktu dekat. Ancaman peningkatan inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar sebelumnya juga diungkapkan Deputi bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadi Wibowo.
Menurut dia, pada Maret ini diperkirakan mulai terjadi inflasi karena pemerintah telah menaikkan harga premium yang diikuti kenaikan harga elpiji kemasan 12 kg. Namun, inflasi diperkirakan tetap rendah karena Maret telah memasuki masa panen. “Tapi, kita lihat bagaimana yang terjadi, mudah-mudahan sesuai harapan kita. Kalaupun terjadi inflasi, tidak terlalu tinggi,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta mengatakan, terkait dengan kenaikan harga BBM dan elpiji, saat ini memang belum terjadi gejolak apa-apa di pasar ritel. “Kenaikan harga BBM dan elpiji memang tidak bisa serta-merta kita melihat korelasi langsung dengan penjualan di ritel. Karena, kami ini kan penjual produk-produk pemasok, baik industri maupun importir.
Sekarang sih mereka belum menaikkan (harga),” ucapnyakepada KORANSINDO. Namun, kalaupun terjadi kenaikan harga, Tutum berharap nilainya tidak signifikan. “Produk-produk ini kan bedabeda. Sementara ini kenaikan BBM kita melihat hanya Rp200. Jadi saya harap kenaikannya tidak signifikan,” katanya. Menurut dia, umumnya setiap industri menetapkan batas atas dan bawah untuk harga produknya.
Dengan kenaikan harga BBM yang hanya Rp200/liter, kata dia, diharapkan dampaknya tidak melebihi batas toleransi harga yang telah ditetapkan produsen. Kekhawatiran bakal meningkatnya harga barangbarang sebelumnya juga diutarakan oleh Ketua Harian Yayasan Layanan Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi. Khususnya Tulus menyoroti kebijakan baru pemerintah yang mengenakan PPN 10% pada tarif tol.
Menurut dia, itu dapat memicu kenaikan ongkos distribusi barang yang kemudian berpotensi menaikkan harga bahan kebutuhan pokok. Karena itu, YLKI meminta rencana penerapan PPN 10% terhadap tarif tol itu di batalkan. “Hal tersebut dapat memberatkan pihak konsumen dan akan berdampak pada kenaikan kebutuhan pokok,” ucapnya.
Sementara itu, ekonom UI Lana Soelistyaningsih menilai kenaikan harga pada sejumlah barang masih bisa dikompensasi oleh daya beli masyarakat yang masih cukup kuat. “Berdasarkan hitungan data dari 2004-2014, pertumbuhan per kapita naik 13% per tahun, sementara inflasi naik 7% per tahun, dan daya beli masyarakat untuk semua kelas naik 6,5% per tahun,” tuturnya.
Ini, menurutnya, menandakan bahwa dampak kenaikan harga bagi konsumen seharusnya tidak terlalu berpengaruh. Terlebih harga barang yang berbasis komoditas di pasar internasional pun kini banyak yang turun harga. Karena itu, sekalipun rupiah sedang lemah, kenaikan daya beli akan mampu mengatasi itu. Namun, Indonesia juga tetap harus waspada dengan barang impor yang mampu memengaruhi nilai pertumbuhan ekonomi.
Terkait lonjakan harga beras baru-baru ini, Lana memperkirakan harganya akan kembali turun pada Maret atau April mendatang. “Khusus hal ini, kesalahan terletak pada manajemen produksi yang kurang baik, kenapa bisa beras tidak masuk ke pasar, padahal pasokannya tersedia di gudang Bulog,” ucapnya.
Nanang wijayanto/Oktiani endarwati/Rabia edra
(bbg)