Sukuk Ritel Terserap Rp22 Triliun
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah kemarin mengumumkan keberhasilan menyerap utang Rp21,965 triliun melalui sukuk ritel seri SR-007. Jumlah tersebut naik dari target indikatif yang hanya Rp20 triliun.
Penyerapan utang melalui instrumen obligasi syariah tersebut juga lebih tinggi dibanding sukuk ritel seri 006 tahun sebelumnya yang hanya Rp19,03 triliun. “Karena animo masyarakat tinggi, para agen penjual mengajukan usulan kenaikan (upsize) kuota,” kata Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan di Jakarta kemarin.
Dia menambahkan, meskipun dari sisi nilainya lebih besar, namun dilihat dari jumlah investor, tahun ini berkurang yakni hanya 29.706 investor. Bandingkan dengan tahun lalu yang mencapai 34.692 investor. Kendati demikian, pada periode penawaran yang dilakukan sejak 23 Februari - 6 Maret 2015 itu, rata-rata penjatahan cukup tinggi, yakni Rp739,41 juta.
Dia menambahkan, penyerapan utang dari sukuk ritel tahun ini merupakan yang terbesar sejak pertama kali dilakukan lelang obligasi syariah seri SR- 001 pada 2009 silam. Saat itu lelang Sukri-001 hanya Rp5,5 triliun. Robert yakin, dengan lelang sukuk ritel terbaru seri 007, pembiayaan untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan strategi pengelolaan utang tahun ini akan terpenuhi dengan baik.
Adapun imbal hasil sukuk ritel yang mulai diterbitkan pada 11 Maret 2015 dan jatuh tempo 11 Maret 2015 tersebut mencapai 8,25%. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, volume pemesanan terbesar mencapai 50,8% dengan jumlah investor terbanyak 57,9% di wilayah Indonesia bagian Barat, selain DKI Jakarta.
Khusus untuk wilayah DKI Jakarta, pemesanannya senilai 38,8% dengan jumlah investor sebesar 32,92%. Direktur Pembiayaan Syariah Kementerian Keuangan Suminto menyatakan, penawaran sukuk ritel ini tidak hanya fokus pada segi pembiayaan, namun juga merupakan underlying asset untuk proyekproyek pemerintah.
Sejumlah proyek yang mendapat alokasi dari suku ritel seri 007 di antaranya Kementerian Perhubungan untuk pembangunan pelabuhan, stasiun, jalan dan jembatan. Alokasi lainnya untuk Kementerian Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Agama dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Sementara itu, Koordinator Koalisi Anti-Utang Dani Setiawan berpendapat, penerbitan surat utang membuktikan bahwa APBN masih memiliki masalah dalam hal pembiayaan. Dia juga menyoroti besarnya penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), termasuk sukuk dan pinjaman luar negeri. “Sebenarnya dengan penjualan sukuk tertinggi ini sama sekali bukan pencapaian pemerintah, justru semakin membebani APBN 2016,” tuturnya.
Menurut Dani, terdapat masalah serius terkait tidak stabilnya fiskal negara di balik besarnya penyerapan sukuk seri SR-007 yang mencapai hampir Rp22 triliun. Dia bahkan menyebut, pembiayaan untuk APBN tidak ubahnya seperti kebijakan tambal sulam.
“Dengan terus-menerusnya diterbitkan, jelas ini hanya bentuk tambal sulam dalam pengelolaan utang,” paparnya. Dani juga mempertanyakan adanya alokasi penyerapan utang yang akan digunakan untuk pengadaan barang dan jasa.
Rabia edra
Penyerapan utang melalui instrumen obligasi syariah tersebut juga lebih tinggi dibanding sukuk ritel seri 006 tahun sebelumnya yang hanya Rp19,03 triliun. “Karena animo masyarakat tinggi, para agen penjual mengajukan usulan kenaikan (upsize) kuota,” kata Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan di Jakarta kemarin.
Dia menambahkan, meskipun dari sisi nilainya lebih besar, namun dilihat dari jumlah investor, tahun ini berkurang yakni hanya 29.706 investor. Bandingkan dengan tahun lalu yang mencapai 34.692 investor. Kendati demikian, pada periode penawaran yang dilakukan sejak 23 Februari - 6 Maret 2015 itu, rata-rata penjatahan cukup tinggi, yakni Rp739,41 juta.
Dia menambahkan, penyerapan utang dari sukuk ritel tahun ini merupakan yang terbesar sejak pertama kali dilakukan lelang obligasi syariah seri SR- 001 pada 2009 silam. Saat itu lelang Sukri-001 hanya Rp5,5 triliun. Robert yakin, dengan lelang sukuk ritel terbaru seri 007, pembiayaan untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan strategi pengelolaan utang tahun ini akan terpenuhi dengan baik.
Adapun imbal hasil sukuk ritel yang mulai diterbitkan pada 11 Maret 2015 dan jatuh tempo 11 Maret 2015 tersebut mencapai 8,25%. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, volume pemesanan terbesar mencapai 50,8% dengan jumlah investor terbanyak 57,9% di wilayah Indonesia bagian Barat, selain DKI Jakarta.
Khusus untuk wilayah DKI Jakarta, pemesanannya senilai 38,8% dengan jumlah investor sebesar 32,92%. Direktur Pembiayaan Syariah Kementerian Keuangan Suminto menyatakan, penawaran sukuk ritel ini tidak hanya fokus pada segi pembiayaan, namun juga merupakan underlying asset untuk proyekproyek pemerintah.
Sejumlah proyek yang mendapat alokasi dari suku ritel seri 007 di antaranya Kementerian Perhubungan untuk pembangunan pelabuhan, stasiun, jalan dan jembatan. Alokasi lainnya untuk Kementerian Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Agama dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Sementara itu, Koordinator Koalisi Anti-Utang Dani Setiawan berpendapat, penerbitan surat utang membuktikan bahwa APBN masih memiliki masalah dalam hal pembiayaan. Dia juga menyoroti besarnya penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), termasuk sukuk dan pinjaman luar negeri. “Sebenarnya dengan penjualan sukuk tertinggi ini sama sekali bukan pencapaian pemerintah, justru semakin membebani APBN 2016,” tuturnya.
Menurut Dani, terdapat masalah serius terkait tidak stabilnya fiskal negara di balik besarnya penyerapan sukuk seri SR-007 yang mencapai hampir Rp22 triliun. Dia bahkan menyebut, pembiayaan untuk APBN tidak ubahnya seperti kebijakan tambal sulam.
“Dengan terus-menerusnya diterbitkan, jelas ini hanya bentuk tambal sulam dalam pengelolaan utang,” paparnya. Dani juga mempertanyakan adanya alokasi penyerapan utang yang akan digunakan untuk pengadaan barang dan jasa.
Rabia edra
(ftr)