AS Tutup Ekspor Pipa Migas dari Batam
A
A
A
JAKARTA - Amerika Serikat (AS) dikabarkan mulai menerapkan instrumen hambatan dagang dengan mengenakan moratorium ekspor pipa minyak dan gas (migas) dari Batam, Kepulauan Riau (Kepri). Hal ini menyebabkan produksi pipa migas PT Citra Tubindo Tbk tidak bisa masuk ke negara tersebut.
Presiden Direktur PT Citra Tubindo Tbk Kris Wiluan mengatakan AS mulai menyetop ekspor produksi pipa migas dari Batam karena lebih memilih produksi lokal mereka. Langkah AS itu membuat produksi perseroan tidak bisa lagi masuk ke Negeri Paman Sam.
"70% produk kami diarahkan ke pasar ekspor AS, Timur Tengah dan Afrika. Tapi sekarang barang produksi kami tidak bisa masuk ke mereka (AS)," ujar Kris di Gedung BI Kepulauan Riau, Jumat (20/3/2015).
Saat ini, Citra Tubindo tengah berjuang menembus pasar Kanada yang masih terbuka peluang untuk menerima pasokan pipa dari Batam, bercermin dari banyaknya produksi gas di Kanada. "Saya lagi fight agar bisa ekspor ke Kanada," katanya.
Kendala ini semakin mempersulit produsen pipa lantaran serapan hasil produksi ke dalam negeri masih melempem sehingga Citra Tubindo hanya mengandalkan kinerja penjualan lewat permintaan ekspor. Di sisi lain, produksi Citra Tubindo tidak pernah ada masalah dan sudah kompetitif.
Dari total kapasitas produksi pipa sebesar 200.000 ton per tahun, saat ini mesin produksi hanya bekerja sebesar 40%. Padahal, lewat belanja infrastruktur migas nasional yang nilainya berkisar USD15 miliar sampai dengan USD20 miliar, harusnya bisa dinikmati oleh industri dalam negeri.
Citra Tubindo sendiri sejak dua tahun terakhir telah membuat dua rig yang digunakan di Blok Cepu dan satu rig diekspor ke Aljazair. Tiga rig itu menunjukkan rig buatan lokal sudah mampu bersaing dengan standar internasional dengan masa pengerjaan yang lebih cepat.
Belum lagi mulai munculnya perusahaan penunjang migas di Batam yang sudah mencapai 70 entitas sehingga diprediksi sudah mampu menyerap pengerjaan migas di Tanah Air.
"Pekerjaan migas untuk dalam negeri seharusnya bisa dialihkan untuk industri dalam negeri bukan diadakan di luar negeri. Daripada di luar negeri lebih baik kerjaan yang punya kita sendiri harusnya diadakan di dalam negeri," ujarnya.
Sebelumnya, awal Desember 2014 di Batam, Ketua Gabungan Produsen Penunjang Minyak dan Gas Willem Siahaya menuding banyaknya pebisnis asal China yang memalsukan sertifikat asal negara (Country of Origin) bagi barang penunjang industri minyak dan gas bumi, seperti pipa ataupun pemisah minyak dari air, ke Indonesia.
Padahal hal ini merugikan Indonesia. Willem mengatakan Amerika kerap dijadikan sebagai target ekspor. Jika pasokan ilegal ini terus dilanjutkan, Indonesia akan dikenai moratorium ekspor karena jumlah barang yang masuk melebihi permintaan. "Padahal pasokan itu dari China," kata Willem.
Willem melanjutkan, pasokan pipa baja ilegal dari China juga dimanfaatkan oleh pengusaha lokal bandel. Jika pemakaian ini berlanjut, pengusaha lokal akan mati karena permintaan pasar menurun. "Mereka jadi salah satu alasan kenapa utilitas barang kami dari pebisnis migas menurun," tandas Willem.
Presiden Direktur PT Citra Tubindo Tbk Kris Wiluan mengatakan AS mulai menyetop ekspor produksi pipa migas dari Batam karena lebih memilih produksi lokal mereka. Langkah AS itu membuat produksi perseroan tidak bisa lagi masuk ke Negeri Paman Sam.
"70% produk kami diarahkan ke pasar ekspor AS, Timur Tengah dan Afrika. Tapi sekarang barang produksi kami tidak bisa masuk ke mereka (AS)," ujar Kris di Gedung BI Kepulauan Riau, Jumat (20/3/2015).
Saat ini, Citra Tubindo tengah berjuang menembus pasar Kanada yang masih terbuka peluang untuk menerima pasokan pipa dari Batam, bercermin dari banyaknya produksi gas di Kanada. "Saya lagi fight agar bisa ekspor ke Kanada," katanya.
Kendala ini semakin mempersulit produsen pipa lantaran serapan hasil produksi ke dalam negeri masih melempem sehingga Citra Tubindo hanya mengandalkan kinerja penjualan lewat permintaan ekspor. Di sisi lain, produksi Citra Tubindo tidak pernah ada masalah dan sudah kompetitif.
Dari total kapasitas produksi pipa sebesar 200.000 ton per tahun, saat ini mesin produksi hanya bekerja sebesar 40%. Padahal, lewat belanja infrastruktur migas nasional yang nilainya berkisar USD15 miliar sampai dengan USD20 miliar, harusnya bisa dinikmati oleh industri dalam negeri.
Citra Tubindo sendiri sejak dua tahun terakhir telah membuat dua rig yang digunakan di Blok Cepu dan satu rig diekspor ke Aljazair. Tiga rig itu menunjukkan rig buatan lokal sudah mampu bersaing dengan standar internasional dengan masa pengerjaan yang lebih cepat.
Belum lagi mulai munculnya perusahaan penunjang migas di Batam yang sudah mencapai 70 entitas sehingga diprediksi sudah mampu menyerap pengerjaan migas di Tanah Air.
"Pekerjaan migas untuk dalam negeri seharusnya bisa dialihkan untuk industri dalam negeri bukan diadakan di luar negeri. Daripada di luar negeri lebih baik kerjaan yang punya kita sendiri harusnya diadakan di dalam negeri," ujarnya.
Sebelumnya, awal Desember 2014 di Batam, Ketua Gabungan Produsen Penunjang Minyak dan Gas Willem Siahaya menuding banyaknya pebisnis asal China yang memalsukan sertifikat asal negara (Country of Origin) bagi barang penunjang industri minyak dan gas bumi, seperti pipa ataupun pemisah minyak dari air, ke Indonesia.
Padahal hal ini merugikan Indonesia. Willem mengatakan Amerika kerap dijadikan sebagai target ekspor. Jika pasokan ilegal ini terus dilanjutkan, Indonesia akan dikenai moratorium ekspor karena jumlah barang yang masuk melebihi permintaan. "Padahal pasokan itu dari China," kata Willem.
Willem melanjutkan, pasokan pipa baja ilegal dari China juga dimanfaatkan oleh pengusaha lokal bandel. Jika pemakaian ini berlanjut, pengusaha lokal akan mati karena permintaan pasar menurun. "Mereka jadi salah satu alasan kenapa utilitas barang kami dari pebisnis migas menurun," tandas Willem.
(dmd)