Pemerintah Diminta Fokus Kesejahteraan Nelayan

Minggu, 22 Maret 2015 - 23:13 WIB
Pemerintah Diminta Fokus Kesejahteraan Nelayan
Pemerintah Diminta Fokus Kesejahteraan Nelayan
A A A
JAKARTA - Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) meminta penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) Perlindungan Nelayan diharapkan dapat fokus meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya skala kecil lantaran fluktuasi nilai tukar nelayan (NTN) yang masih tinggi.

Wakil Sekjen KNTI Niko Amrullah mengatakan, dua regulasi pemberantasan illegal fishing, yaitu moratorium izin kapal eksasing dan larangan transshipment belum menunjukkan benang merahnya terhadap kesejahteraan nelayan.

"Meski nilai NTN di Februari 2015 sebesar 106.72, meningkat dibanding tiga bulan pertama pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), namun angka ini terbilang rentan dibanding tren NTN lima tahun terakhir,” ungkap dia di Jakarta dalam rilisnya, Minggu (22/3/2015).

Niko menambahkan bahwa jika dilihat di setiap provinsi maka Maluku mempunyai NTN tertinggi dibandingkan lainnya, sedangkan Bali yang paling rendah. Dari 34 provinsi di Indonesia, Bali adalah provinsi yang mempunyai angka NTN kritis di bawah standar statistik.

Saat ini, DPR dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) harus segera mengesahkan RUU Perlindungan Nelayan, dengan fokus perlindungan dan pemulihan terhadap hak-hak nelayan tradisional.

Sebanyak 92% dari total pelaku perikanan di Indonesia tergolong skala kecil dan 25% total angka kemiskinan berasal dari kampung pesisir dan nelayan.

"Sekurang-kurangnya ada tujuh komponen utama yang harus masuk dalam RUU Perlindungan Nelayan," tegas Niko.

Pertama, reforma agraria di perairan bahwa negara harus mengakui peran nelayan skala kecil dan masyarakat adat untuk memulihkan, melestarikan, melindungi dan bersama-sama mengelola lingkungan perairan lokal dan ekosistem pesisir.

"Kedua, terkait prinsip pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan. Negara harus memfasilitasi, melatih dan mendukung masyarakat nelayan tradisional untuk berpartisipasi dan bertanggung jawab atas pengelolaan sumber daya pesisir dan laut," tutur Niko.

Ketiga, meliputi pembangunan sosial, ketenagakerjaan dan pekerjaan yang layak. Pada aspek ini, negara harus memperhatikan tentang kesehatan, pendidikan, pemberantasan buta huruf, inklusi digital, perlindungan jaminan sosial, akses ke layanan perbankan dan skema asuransi.

"Selain itu, menghapuskan kerja paksa, mencegah perbudakan perempuan, pria dan anak-anak serta perbaikan aspek keselamatan melaut yang mencakup kesehatan dan keselamatan kerja," katanya.

Keempat, terkait mata rantai perdagangan. Negara harus menyediakan akses ke pasar-pasar lokal, regional, nasional, dan internasional serta mendorong perdagangan yang adil dan non-diskriminatif bagi produk perikanan skala kecil.

Kelima, risiko bencana dan perubahan iklim. Negara harus membantu dan mendukung masyarakat nelayan skala kecil yang terkena dampak oleh perubahan iklim atau bencana alam dan bencana yang disebabkan manusia.

Keenam, pengembangan kapasitas. Negara dan pihak-pihak lainnya harus meningkatkan kemampuan masyarakat nelayan skala kecil untuk memungkinkan mereka berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.

Ketujuh, kesetaraan gender. Kebijakan yang dibuat harus tidak mendiskriminasikan perempuan nelayan karena mereka yang menggarap pengolahan hasil perikanan bernilai tambah ekonomi.

"Ketujuh komponen utama tersebut menjadi katalis perlindungan dan pemulih hak-hak nelayan tradisional," tutur dia.
(rna)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3812 seconds (0.1#10.140)