Pekerja Gelisah Soal Gugatan Kontrak Freeport
A
A
A
JAKARTA - Para pekerja PT Freeport Indonesia merasa gelisah lantaran adanya gugatan terhadap Freeport. padahal, Kementerian ESDM akan menyerahkan rekomendasi final perpanjangan izin Freeport pada April 2015 bersamaan dengan rencana perubahan lisensi kontrak karya Freeport menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
"Kami tidak menginginkan bahwa kemudian PT Freeport ini berhenti atau ekspornya tidak diperpanjang, karena kalau itu terjadi dampaknya kepada kami sangat luar biasa," ujar juru bicara Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) PT Freeport Indonesia Juli Parorongan, dalam rilisnya, Minggu (22/3/2015).
Menurutnya, masa depan sekitar 30.004 orang pekerja dipertaruhkan. Juli menceritakan pengalaman serupa saat 2013, di mana saat itu menjelang penetapan pemberlakuan UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara. Dampaknya, tidak ada aktivitas ekspor selama empat bulan.
"Pada saat itu kita sudah merasakan betapa sulitnya kita di sana. Penjualan kita tidak menghasilkan apa-apa. Dampaknya, ada rumah sakit gratis itu dari mana dananya kalau tidak ekspor," ujar dia.
Pihaknya pun tahu diri, sehingga mereka tidak mau mengurus masalah gugatan, namun ingin agar publik berpikir secara adil dan berimbang. "Jadi kita tidak mau ini akan berdampak pada masyarakat Indonesia yang ada di sana. Kalau semua pihak menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin," katanya.
Ketua Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Energi dan Pertambangan (PC SPKEP SPSI) Kabupaten Mimika Virgo Salosa ikut mengapresiasi pemerintah yang memberikan ruang pada Freeport untuk melakukan ekspor.
"Kami juga apresiasi kepada mereka yang mengatasnamakan Indonesia Menggugat, tapi kenapa mereka tidak melihat kami. Kami juga rakyat Indonesia yang menerima dampak langsung," ucap dia.
Karena itu, pihaknya berharap para penggugat mempertimbangkan nasib sekitar 150.020 orang pekerja Freeport di Mimika yang terimbas langsung jika gugatan dikabulkan.
Presiden Joko Widodo, sebelumnya digugat class action terkait diperpanjangnya kontrak Freeport oleh empat aktivis melalui gugatan perbuatan melawan hukum dengan mekanisme citizen law suit (gugatan warganegara).
"Kami tidak menginginkan bahwa kemudian PT Freeport ini berhenti atau ekspornya tidak diperpanjang, karena kalau itu terjadi dampaknya kepada kami sangat luar biasa," ujar juru bicara Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) PT Freeport Indonesia Juli Parorongan, dalam rilisnya, Minggu (22/3/2015).
Menurutnya, masa depan sekitar 30.004 orang pekerja dipertaruhkan. Juli menceritakan pengalaman serupa saat 2013, di mana saat itu menjelang penetapan pemberlakuan UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara. Dampaknya, tidak ada aktivitas ekspor selama empat bulan.
"Pada saat itu kita sudah merasakan betapa sulitnya kita di sana. Penjualan kita tidak menghasilkan apa-apa. Dampaknya, ada rumah sakit gratis itu dari mana dananya kalau tidak ekspor," ujar dia.
Pihaknya pun tahu diri, sehingga mereka tidak mau mengurus masalah gugatan, namun ingin agar publik berpikir secara adil dan berimbang. "Jadi kita tidak mau ini akan berdampak pada masyarakat Indonesia yang ada di sana. Kalau semua pihak menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin," katanya.
Ketua Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Energi dan Pertambangan (PC SPKEP SPSI) Kabupaten Mimika Virgo Salosa ikut mengapresiasi pemerintah yang memberikan ruang pada Freeport untuk melakukan ekspor.
"Kami juga apresiasi kepada mereka yang mengatasnamakan Indonesia Menggugat, tapi kenapa mereka tidak melihat kami. Kami juga rakyat Indonesia yang menerima dampak langsung," ucap dia.
Karena itu, pihaknya berharap para penggugat mempertimbangkan nasib sekitar 150.020 orang pekerja Freeport di Mimika yang terimbas langsung jika gugatan dikabulkan.
Presiden Joko Widodo, sebelumnya digugat class action terkait diperpanjangnya kontrak Freeport oleh empat aktivis melalui gugatan perbuatan melawan hukum dengan mekanisme citizen law suit (gugatan warganegara).
(izz)