Mengerek Tingkat Efisiensi Bank Nasional
A
A
A
Tiada henti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengimbau bank nasional supaya lebih efisien. Bagaimana mengerek tingkat efisiensi bank nasional?
Meskipun otoritas menekan pertumbuhan kredit pada 2014, ternyata sebagian besar bank nasional papan atas mampu meraup laba tinggi. Tengok saja kinerja tiga bank pemerintah, Bank Mandiri, BRI, dan BNI. Secara kualitatif, BNI menjadi juara dalam meraih laba bersih yang terbang tinggi 19,12% dari Rp9,05 triliun per Desember 2013 menjadi Rp10,78 triliun per Desember 2014.
Kinerja kinclong itu disusul BCA dengan laba bersih yang melejit 15,70% dari Rp14,30 triliun menjadi Rp16,50 triliun dan BRI dengan laba bersih yang melesat 14,35% dari Rp21,34 triliun menjadi Rp24,24 triliun. Bank Mandiri meraih laba bersih yang naik 9,34% dari Rp18,20 triliun menjadi Rp19,90 triliun.
Secara kuantitatif, laba bersih BRI yang dikenal sebagai bank ”wong ndeso” itu ternyata mampu mengungguli seluruh bank nasional. Bagaimana kinerja bank umum pada 2014? Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang terbit pada 20 Februari 2015 mencatat kredit tumbuh sangat subur 11,66% dari Rp3.158,10 triliun per Desember 2013 menjadi Rp3.526,36 triliun per Desember 2014.
Ternyata dana pihak ketiga (DPK) mampu tumbuh lebih subur 12,02% dari Rp3.520,62 triliun menjadi Rp3.943,70 triliun pada periode yang sama. Pertumbuhan yang tidak seimbang itu mendorong loan to deposit ratio (LDR) justru menurun sedikit dari 89,70% menjadi 89,42%, tetapi tetap termasuk rasio ideal 78-90%.
Dengan bahasa lebih bening, imbauan OJK agar bank nasional segera menipiskan LDR di bawah 90% telah menghasilkan buah nan manis di tengah pelambatan ekonomi. Selama ini rasio LDR dipercaya sebagai cermin tingkat penyaluran kredit bank nasional. Kalau di bawah batas bawah 78%, pengucuran kredit dianggap terlalu hati-hati.
Bank nasional dengan LDR di bawah 78% wajib menambah giro wajib minimum (GWM) 0,1% dari DPK rupiah untuk setiap 1% kekurangan LDR. Untunglah BPD kini mengantongi LDR 89,73% per Desember 2014 naik drastis dari 76,58% per November 2014 sehingga lolos dari disinsentif itu.
Sebaliknya, kalau di atas batas atas 90%, pengucuran kredit dianggap terlalu agresif. Karena itu, OJK memberi pelonggaran bagi bank nasional yang memiliki LDR di atas 90% wajib memiliki modal minimum (capital adequacy ratio /CAR) di atas 14%. Namun, kalau LDR di atas 90%, likuiditas bank nasional dianggap kian menipis.
Salah satu kunci keberhasilan bisnis perbankan adalah langkah efektif dan efisien. Hal ini merupakan tantangan berat bagi bank yang gemar melakukan promosi gede-gedean. Lantas, langkah strategis apa yang perlu diambil?
Pertama , mengerek tingkat efisiensi. Sejauh mana tingkat efisiensi bank nasional yang tersirat pada rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO)? SPI menunjukkan rasio BOPO ratarata industri naik (memburuk) dari 74,08% per Desember 2013 menjadi 76,29% per Desember 2014. BOPO hampir semua kelompok bank meningkat (memburuk).
Perhatikan, BOPO bank persero memburuk menjadi 69,57%, BPD 78,08%, bank campuran 78,49%, serta bank umum swasta nasional (BUSN) devisa 80,79% dan BUSN nondevisa 86,31%. Hanya BOPO bank asing yang menurun (membaik) menjadi 79,30%. Hal ini dapat dimaklumi mengingat kelompok bank ini sudah terbiasa efisien dalam menjalankan bisnis.
Dengan kalimat lugas, bank nasional masih kalah efisien dibandingkan dengan BOPO bankbank di negara ASEAN yang berkisar 40-60%. Padahal, efisiensi merupakan salah satu senjata ampuh untuk mampu bersaing dalam menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Untuk itu, OJK sudah sepatutnya mulai menetapkan penurunan rasio ideal BOPO 70-80% secara bertahap. Katakanlah, rasio BOPO menjadi 50- 70% dan 40-60% masing-masing pada semester I/2015 dan semester II/2015. Hal itu bakal mendorong bank nasional untuk lebih efisien.
Kedua, belajar dari bank asing. Sekali lagi, ternyata hanya bank asing yang dapat menaikkan tingkat efisiensi dari 83,06% per Desember 2013 menjadi 79,30% per Desember 2014. Namun, data mencatat bank persero sebagai kelompok bank paling efisien pada 2014 dengan BOPO 69,57% jauh di bawah rata-rata industri 76,29%.
Pertanyaannya, mengapa bank asing tetap sanggup menaikkan tingkat efisiensi di tengah likuiditas ketat seperti saat ini? Salah satu sebabnya karena bank asing sudah lebih lama memanfaatkan teknologi informasi (TI) dalam menjalankan bisnis. Tegasnya, bank asing lebih banyak mengandalkan kecanggihan TI sehingga tidak terlalu banyak menggunakan kertas (paperless).
Sebaliknya, kelompok bank lain, termasuk bank pemerintah, masih banyak menggunakan kertas. Pengalaman penulis ketika mengikuti pelatihan di Citibank, Penang, Malaysia, menunjukkan bank asing itu sudah begitu canggih dalam memproses letter of credit (L/C) yang sangat minim menggunakan kertas.
Meskipun kantor Citibank tidak bisa dibilang besar, kantor itu merupakan pusat pemrosesan semua L/C dari seluruh bank di bumi ini. Semua proses L/C memanfaatkan data di komputer sehingga tidak perlu dicetak lagi.
Sebagai informasi, proses satu L/C itu bisa membutuhkan sekitar 20 lembar kertas ukuran A-4 kalau dicetak. Betapa tinggi efisiensi dapat dilakukan ketika terdapat 1.000 L/C per hari. Inilah salah satu contoh konkret langkah efisiensi.
Ketiga , manajemen risiko. Menerapkan manajemen risiko dengan benar dan baik sesungguhnya juga sebagai kiat dalam menggenjot tingkat efisiensi. Bagaimana kisahnya? Penerapan manajemen risiko itu bertujuan untuk menekan potensi risiko sedemikian rendah.
Nah , tatkala tidak terjadi risiko, maka tidak perlu menambah cadangan risiko terlalu tinggi. Rumusnya, kian tinggi efisiensi, kian tinggi pula daya saing. Sungguh!
Paul Sutaryono
Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI
Meskipun otoritas menekan pertumbuhan kredit pada 2014, ternyata sebagian besar bank nasional papan atas mampu meraup laba tinggi. Tengok saja kinerja tiga bank pemerintah, Bank Mandiri, BRI, dan BNI. Secara kualitatif, BNI menjadi juara dalam meraih laba bersih yang terbang tinggi 19,12% dari Rp9,05 triliun per Desember 2013 menjadi Rp10,78 triliun per Desember 2014.
Kinerja kinclong itu disusul BCA dengan laba bersih yang melejit 15,70% dari Rp14,30 triliun menjadi Rp16,50 triliun dan BRI dengan laba bersih yang melesat 14,35% dari Rp21,34 triliun menjadi Rp24,24 triliun. Bank Mandiri meraih laba bersih yang naik 9,34% dari Rp18,20 triliun menjadi Rp19,90 triliun.
Secara kuantitatif, laba bersih BRI yang dikenal sebagai bank ”wong ndeso” itu ternyata mampu mengungguli seluruh bank nasional. Bagaimana kinerja bank umum pada 2014? Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang terbit pada 20 Februari 2015 mencatat kredit tumbuh sangat subur 11,66% dari Rp3.158,10 triliun per Desember 2013 menjadi Rp3.526,36 triliun per Desember 2014.
Ternyata dana pihak ketiga (DPK) mampu tumbuh lebih subur 12,02% dari Rp3.520,62 triliun menjadi Rp3.943,70 triliun pada periode yang sama. Pertumbuhan yang tidak seimbang itu mendorong loan to deposit ratio (LDR) justru menurun sedikit dari 89,70% menjadi 89,42%, tetapi tetap termasuk rasio ideal 78-90%.
Dengan bahasa lebih bening, imbauan OJK agar bank nasional segera menipiskan LDR di bawah 90% telah menghasilkan buah nan manis di tengah pelambatan ekonomi. Selama ini rasio LDR dipercaya sebagai cermin tingkat penyaluran kredit bank nasional. Kalau di bawah batas bawah 78%, pengucuran kredit dianggap terlalu hati-hati.
Bank nasional dengan LDR di bawah 78% wajib menambah giro wajib minimum (GWM) 0,1% dari DPK rupiah untuk setiap 1% kekurangan LDR. Untunglah BPD kini mengantongi LDR 89,73% per Desember 2014 naik drastis dari 76,58% per November 2014 sehingga lolos dari disinsentif itu.
Sebaliknya, kalau di atas batas atas 90%, pengucuran kredit dianggap terlalu agresif. Karena itu, OJK memberi pelonggaran bagi bank nasional yang memiliki LDR di atas 90% wajib memiliki modal minimum (capital adequacy ratio /CAR) di atas 14%. Namun, kalau LDR di atas 90%, likuiditas bank nasional dianggap kian menipis.
Salah satu kunci keberhasilan bisnis perbankan adalah langkah efektif dan efisien. Hal ini merupakan tantangan berat bagi bank yang gemar melakukan promosi gede-gedean. Lantas, langkah strategis apa yang perlu diambil?
Pertama , mengerek tingkat efisiensi. Sejauh mana tingkat efisiensi bank nasional yang tersirat pada rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO)? SPI menunjukkan rasio BOPO ratarata industri naik (memburuk) dari 74,08% per Desember 2013 menjadi 76,29% per Desember 2014. BOPO hampir semua kelompok bank meningkat (memburuk).
Perhatikan, BOPO bank persero memburuk menjadi 69,57%, BPD 78,08%, bank campuran 78,49%, serta bank umum swasta nasional (BUSN) devisa 80,79% dan BUSN nondevisa 86,31%. Hanya BOPO bank asing yang menurun (membaik) menjadi 79,30%. Hal ini dapat dimaklumi mengingat kelompok bank ini sudah terbiasa efisien dalam menjalankan bisnis.
Dengan kalimat lugas, bank nasional masih kalah efisien dibandingkan dengan BOPO bankbank di negara ASEAN yang berkisar 40-60%. Padahal, efisiensi merupakan salah satu senjata ampuh untuk mampu bersaing dalam menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Untuk itu, OJK sudah sepatutnya mulai menetapkan penurunan rasio ideal BOPO 70-80% secara bertahap. Katakanlah, rasio BOPO menjadi 50- 70% dan 40-60% masing-masing pada semester I/2015 dan semester II/2015. Hal itu bakal mendorong bank nasional untuk lebih efisien.
Kedua, belajar dari bank asing. Sekali lagi, ternyata hanya bank asing yang dapat menaikkan tingkat efisiensi dari 83,06% per Desember 2013 menjadi 79,30% per Desember 2014. Namun, data mencatat bank persero sebagai kelompok bank paling efisien pada 2014 dengan BOPO 69,57% jauh di bawah rata-rata industri 76,29%.
Pertanyaannya, mengapa bank asing tetap sanggup menaikkan tingkat efisiensi di tengah likuiditas ketat seperti saat ini? Salah satu sebabnya karena bank asing sudah lebih lama memanfaatkan teknologi informasi (TI) dalam menjalankan bisnis. Tegasnya, bank asing lebih banyak mengandalkan kecanggihan TI sehingga tidak terlalu banyak menggunakan kertas (paperless).
Sebaliknya, kelompok bank lain, termasuk bank pemerintah, masih banyak menggunakan kertas. Pengalaman penulis ketika mengikuti pelatihan di Citibank, Penang, Malaysia, menunjukkan bank asing itu sudah begitu canggih dalam memproses letter of credit (L/C) yang sangat minim menggunakan kertas.
Meskipun kantor Citibank tidak bisa dibilang besar, kantor itu merupakan pusat pemrosesan semua L/C dari seluruh bank di bumi ini. Semua proses L/C memanfaatkan data di komputer sehingga tidak perlu dicetak lagi.
Sebagai informasi, proses satu L/C itu bisa membutuhkan sekitar 20 lembar kertas ukuran A-4 kalau dicetak. Betapa tinggi efisiensi dapat dilakukan ketika terdapat 1.000 L/C per hari. Inilah salah satu contoh konkret langkah efisiensi.
Ketiga , manajemen risiko. Menerapkan manajemen risiko dengan benar dan baik sesungguhnya juga sebagai kiat dalam menggenjot tingkat efisiensi. Bagaimana kisahnya? Penerapan manajemen risiko itu bertujuan untuk menekan potensi risiko sedemikian rendah.
Nah , tatkala tidak terjadi risiko, maka tidak perlu menambah cadangan risiko terlalu tinggi. Rumusnya, kian tinggi efisiensi, kian tinggi pula daya saing. Sungguh!
Paul Sutaryono
Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI
(ftr)