Cadangan Devisa Maret Turun Rp50,7 Triliun
A
A
A
JAKARTA - Cadangan devisa Indonesia pada akhir Maret 2015 tercatat sebesar USD111,6 miliar, turun USD3,9 miliar atau setara Rp50,7 triliun (dengan kurs Rp13.000 per dolar AS), dari posisi akhir Februari 2015 sebesar USD115,5 miliar.
Bank Indonesia (BI) menyatakan, penurunan tersebut dipengaruhi oleh peningkatan pengeluaran untuk pembayaran utang luar negeri pemerintahdan dalam rangka stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamental. ”BI menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal dan menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi ke depan,” ungkap Direktur Departemen Komunikasi BI Peter Jacobs dalam keterangan resminya kemarin.
BI menyebutkan, kendati turun, posisi cadangan devisa per akhir Maret 2015 masih cukup membiayai 6,9 bulan impor atau 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Nilai cadangan devisa tersebut juga masih berada di atas standar kecukupan internasional, sekitar tiga bulan impor.
Ekonom Bank BNI Ryan Kiryanto sepakat bahwa posisi cadangan devisa akhir Maret masih dalam batas aman lantaran masih di bawah limit standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor. Meski demikian dia mengatakan bahwa sebaiknya pemerintah lebih agresif menghimpun pemasukan dari ekspor mengingat laju rupiah masih dalam kondisi tertekan akibat rencana kenaikan suku bunga di AS.
”Nanti di saat kita dapat devisa hasil ekspor itu bisa menguatkan posisi cadangan devisa kita,” ujarnya. Sementara, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, turunnya cadangan devisa sudah menjadi konsekuensi logis pelemahan rupiah yang terjadi beberapa bulan terakhir.
”Saya duga faktor lain yang penting adalah defisit neraca transaksi berjalan,” ujar dia saat dihubungi KORAN SINDO kemarin. Kendati cadangan devisa saat ini masih cukup untuk membiayai 6,9 bulan impor atau 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, Faisal menilai pemerintah harus memperhatikan dan mewaspadai defisit neraca berjalan yang terus terjadi, ditambah tekanan rupiah.
Karena itu, dalam kondisi ini BI perlu mengintensifkan komunikasi dengan pemerintah dalam hal kebijakan moneter guna mendukung percepatan peningkatan daya saing manufaktur yang berorientasi ekspor, percepatan peningkatan kinerja sektor pariwisata, dan menekan impor pangan.
Kunthi fahmar sandy
Bank Indonesia (BI) menyatakan, penurunan tersebut dipengaruhi oleh peningkatan pengeluaran untuk pembayaran utang luar negeri pemerintahdan dalam rangka stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamental. ”BI menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal dan menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi ke depan,” ungkap Direktur Departemen Komunikasi BI Peter Jacobs dalam keterangan resminya kemarin.
BI menyebutkan, kendati turun, posisi cadangan devisa per akhir Maret 2015 masih cukup membiayai 6,9 bulan impor atau 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Nilai cadangan devisa tersebut juga masih berada di atas standar kecukupan internasional, sekitar tiga bulan impor.
Ekonom Bank BNI Ryan Kiryanto sepakat bahwa posisi cadangan devisa akhir Maret masih dalam batas aman lantaran masih di bawah limit standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor. Meski demikian dia mengatakan bahwa sebaiknya pemerintah lebih agresif menghimpun pemasukan dari ekspor mengingat laju rupiah masih dalam kondisi tertekan akibat rencana kenaikan suku bunga di AS.
”Nanti di saat kita dapat devisa hasil ekspor itu bisa menguatkan posisi cadangan devisa kita,” ujarnya. Sementara, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, turunnya cadangan devisa sudah menjadi konsekuensi logis pelemahan rupiah yang terjadi beberapa bulan terakhir.
”Saya duga faktor lain yang penting adalah defisit neraca transaksi berjalan,” ujar dia saat dihubungi KORAN SINDO kemarin. Kendati cadangan devisa saat ini masih cukup untuk membiayai 6,9 bulan impor atau 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, Faisal menilai pemerintah harus memperhatikan dan mewaspadai defisit neraca berjalan yang terus terjadi, ditambah tekanan rupiah.
Karena itu, dalam kondisi ini BI perlu mengintensifkan komunikasi dengan pemerintah dalam hal kebijakan moneter guna mendukung percepatan peningkatan daya saing manufaktur yang berorientasi ekspor, percepatan peningkatan kinerja sektor pariwisata, dan menekan impor pangan.
Kunthi fahmar sandy
(ars)