Lembaga ISPO Harus Diperkuat
A
A
A
JAKARTA - Pelaku usaha di sektor perkebunan kelapa sawit mendukung penerapan Indonesian Sustainability Palm Oil (ISPO) atau sertifikasi kebun kelapa sawit ramah lingkungan.
Meski demikian, lembaga ISPO perlu diperkuat secara organisasi internal. Seiring dengan itu, sosialisasi ke pasar internasional perlu dilakukan secara kontinu agar memperoleh pengakuan dari negara-negara importir.
“Kita harus mengikuti regulasi Indonesia dan regulasi ini diadopsi di dalam ISPO. Jadi, aneh apabila kebun sawit milik Indonesia namun harus mengikuti ketentuanluarnegeri,” kataWakil Ketua Komite Tetap Bidang Perkebunan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Teguh Patriawan di Jakarta kemarin. Teguh sepakat apabila ada usulan bahwa ISPO bisa dijadikan standar sustainability satusatunya di Indonesia.
Namun masalahnya sekarang, sebagian besar para pembeli minyak sawit adanya di luar negeri. Produksi minyak sawit sebagian besar diekspor ke luar negeri. Ada regulasi di negara importir menuntut minyak sawit Indonesia harus mempunyai sertifikat International Sustainability & Carbon Certification (ISCC). Hal itu menjadi hambatan perdagangan bagi Indonesia. “Kita harus berpedoman pada ISPO,” tegasnya.
Menurut dia, target mandatori ISPO hingga akhir 2014 molor bukan karena perusahaan sawit tidak mau mengikuti ISPO. Terundurnya mandatori ISPO disebabkan oleh tenaga auditor yang dimiliki terbatas. Lambannya proses sertifikasi ISPO karena lembaga tersebut belum cukup kuat. “Oleh karena itu, komisi ISPO harus diperbesar dan diisi orang-orang yang kompeten di bidangnya untuk memperlancar proses sertifikasi,” harapnya.
Dia berharap, pemerintah bisa memperbaiki prosedur dan tata cara untuk mendapatkan sertifikat ISPO dan menambah tenaga auditor apabila semua perusahaan sawit sepakat menggunakan ISPO akan mendrive pasar di luar negeri. Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB) Achmad Manggabarani juga mendukung penerapan ISPO sebagai standar di Indonesia.
Dia juga menilai lembaga ISPO perlu diperbesar dengan menambah tenaga auditor serta orangorang yang kompeten. Di sisi lain, sosialisasi peran dan manfaat dari ISPO perlu dilakukan baik di dalam negeri maupun luar negeri. “Tujuannya agar diakui di pasar internasional, tidak hanya sebatas kertas administrasi saja,” paparnya. Achmad menambahkan, dengan adanya ISPO, semua kebun kelapa sawit sudah mendapat sertifikasi memenuhi aturan berkelanjutan.
Di sisi lain, pemerintah dan pelaku usaha harus dapat meyakinkan dunia internasional bahwa ISPO merupakan standar keberlanjutan yang diakui di pasar internasional. “Upaya ini harus dilaksanakan secara G to G dan B to B ,” ujarnya. Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Gamal Nasir menjelaskan, ISPO merupakan kewajiban (mandatori) bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit. Dengan ISPO, perkebunan kelapa sawit akan diakui dalam hal melestarikan lingkungan.
“Dalam aturan ISPO, kebun kelapa sawit dibuka dengan mengindahkan aturan lingkungan, tidak dengan cara membakar lahan dan memiliki perizinan yang jelas,” ujarnya. Menurut dia, dengan ISPO, Indonesia memiliki sertifikasi yang diakui dunia. Karena itu, pemerintah terus berupaya melakukan roadshow untuk menyosialisasikan sertifikat tersebut. “Roadshow ISPO sudah dilakukan di Timur Tengah dan Eropa. Ke depan akan diperluas ke negara lainnya,” katanya.
Saat ini total perusahaan yang sudah memiliki ISPO sebanyak 63 perusahaan dari jumlah 660 perusahaan minyak kelapa sawit yang tercatat di Kementan. Sebelumnya sertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil/RSPO (standar Uni Eropa) atau sertifikat sawit berkelanjutan dianggap sarat kepentingan pihak luar negeri.
Sehingga, Indonesia memunculkan sertifikat sawit ala Indonesia atau ISPO yang sejak 31 Desember 2014 lalu wajib dimiliki seluruh produsen sawit di dalam negeri. Direktur Tanaman Tahunan Kementan Herdrajat Natawijaya mengatakan, satu-satunya cara yang bisa dilakukan pelaku usaha kelapa sawit adalah melakukan sertifikasi sebagai bukti produk yang dihasilkan telah sesuai dengan persyaratan yang berlaku di pasar internasional.
“Pengembangan kelapa sawit harus dilakukan sesuai kaidah pembangunan berkelanjutan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19 Tahun 2011 tentang ISPO,” paparnya. Kementan mencatat, industri ini mampu menyerap 4,5 juta tenaga kerja perkebunan di seluruh Indonesia. Angkanya jauh lebih besar jika perhitungan termasuk tenaga kerja di bidang jasa penunjang industri.
Sudarsono
Meski demikian, lembaga ISPO perlu diperkuat secara organisasi internal. Seiring dengan itu, sosialisasi ke pasar internasional perlu dilakukan secara kontinu agar memperoleh pengakuan dari negara-negara importir.
“Kita harus mengikuti regulasi Indonesia dan regulasi ini diadopsi di dalam ISPO. Jadi, aneh apabila kebun sawit milik Indonesia namun harus mengikuti ketentuanluarnegeri,” kataWakil Ketua Komite Tetap Bidang Perkebunan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Teguh Patriawan di Jakarta kemarin. Teguh sepakat apabila ada usulan bahwa ISPO bisa dijadikan standar sustainability satusatunya di Indonesia.
Namun masalahnya sekarang, sebagian besar para pembeli minyak sawit adanya di luar negeri. Produksi minyak sawit sebagian besar diekspor ke luar negeri. Ada regulasi di negara importir menuntut minyak sawit Indonesia harus mempunyai sertifikat International Sustainability & Carbon Certification (ISCC). Hal itu menjadi hambatan perdagangan bagi Indonesia. “Kita harus berpedoman pada ISPO,” tegasnya.
Menurut dia, target mandatori ISPO hingga akhir 2014 molor bukan karena perusahaan sawit tidak mau mengikuti ISPO. Terundurnya mandatori ISPO disebabkan oleh tenaga auditor yang dimiliki terbatas. Lambannya proses sertifikasi ISPO karena lembaga tersebut belum cukup kuat. “Oleh karena itu, komisi ISPO harus diperbesar dan diisi orang-orang yang kompeten di bidangnya untuk memperlancar proses sertifikasi,” harapnya.
Dia berharap, pemerintah bisa memperbaiki prosedur dan tata cara untuk mendapatkan sertifikat ISPO dan menambah tenaga auditor apabila semua perusahaan sawit sepakat menggunakan ISPO akan mendrive pasar di luar negeri. Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB) Achmad Manggabarani juga mendukung penerapan ISPO sebagai standar di Indonesia.
Dia juga menilai lembaga ISPO perlu diperbesar dengan menambah tenaga auditor serta orangorang yang kompeten. Di sisi lain, sosialisasi peran dan manfaat dari ISPO perlu dilakukan baik di dalam negeri maupun luar negeri. “Tujuannya agar diakui di pasar internasional, tidak hanya sebatas kertas administrasi saja,” paparnya. Achmad menambahkan, dengan adanya ISPO, semua kebun kelapa sawit sudah mendapat sertifikasi memenuhi aturan berkelanjutan.
Di sisi lain, pemerintah dan pelaku usaha harus dapat meyakinkan dunia internasional bahwa ISPO merupakan standar keberlanjutan yang diakui di pasar internasional. “Upaya ini harus dilaksanakan secara G to G dan B to B ,” ujarnya. Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Gamal Nasir menjelaskan, ISPO merupakan kewajiban (mandatori) bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit. Dengan ISPO, perkebunan kelapa sawit akan diakui dalam hal melestarikan lingkungan.
“Dalam aturan ISPO, kebun kelapa sawit dibuka dengan mengindahkan aturan lingkungan, tidak dengan cara membakar lahan dan memiliki perizinan yang jelas,” ujarnya. Menurut dia, dengan ISPO, Indonesia memiliki sertifikasi yang diakui dunia. Karena itu, pemerintah terus berupaya melakukan roadshow untuk menyosialisasikan sertifikat tersebut. “Roadshow ISPO sudah dilakukan di Timur Tengah dan Eropa. Ke depan akan diperluas ke negara lainnya,” katanya.
Saat ini total perusahaan yang sudah memiliki ISPO sebanyak 63 perusahaan dari jumlah 660 perusahaan minyak kelapa sawit yang tercatat di Kementan. Sebelumnya sertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil/RSPO (standar Uni Eropa) atau sertifikat sawit berkelanjutan dianggap sarat kepentingan pihak luar negeri.
Sehingga, Indonesia memunculkan sertifikat sawit ala Indonesia atau ISPO yang sejak 31 Desember 2014 lalu wajib dimiliki seluruh produsen sawit di dalam negeri. Direktur Tanaman Tahunan Kementan Herdrajat Natawijaya mengatakan, satu-satunya cara yang bisa dilakukan pelaku usaha kelapa sawit adalah melakukan sertifikasi sebagai bukti produk yang dihasilkan telah sesuai dengan persyaratan yang berlaku di pasar internasional.
“Pengembangan kelapa sawit harus dilakukan sesuai kaidah pembangunan berkelanjutan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19 Tahun 2011 tentang ISPO,” paparnya. Kementan mencatat, industri ini mampu menyerap 4,5 juta tenaga kerja perkebunan di seluruh Indonesia. Angkanya jauh lebih besar jika perhitungan termasuk tenaga kerja di bidang jasa penunjang industri.
Sudarsono
(ars)