PLN Lakukan Hedging Garap Proyek Listrik 35 Ribu MW
A
A
A
JAKARTA - PT PLN (Persero) akhirnya memutuskan untuk melakukan upaya lindung nilai (hedging) guna mengantisipasi tingginya risiko gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD).
Hal ini dilakukan lantaran perseroan tengah memiliki tugas menggarap proyek kelistrikan 35 ribu megawatt (MW) yang jadi ambisi Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Direktur Utama (Dirut) PLN Sofyan Basir mengatakan, proyek kelistrikan yang ditargetkan selesai hingga lima tahun mendatang ini membutuhkan dana cukup fantastis sekitar Rp1.200 triliun.
Meski perseroan hanya diberi tugas 10 ribu MW, namun kebutuhan dana tersebut tidak sanggup ditutup oleh kas perseroan. "Minimnya pembiayaan dari dalam maka, pinjaman akan lebih banyak dari luar negeri, meski ada risiko valas," tuturnya di gedung Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (10/4/2015).
Menurutnya, saat ini perseroan juga telah memiliki exposure valas yang tinggi untuk membangun pembangkit listrik, dan kewajiban valas setiap bulan untuk kebutuhan energi primer dan bunga utang. Sebab itu, untuk memitigasi risiko valas perseroan memutuskan untuk melakukan hedging.
"Kami bersyukur pemerintah dan BI telah terbitkan regulasi untuk itu. Kami juga sudah koordinasi dengan Menkeu, akutansi independen dengan perhatikan prinsip good corporate governance (GCG)," imbuh dia.
Dalam proses transaksi Lindung nilai ini, BUMN kelistrikan ini difasilitasi tiga perbankan BUMN yaitu PT Bank Mandiri Tbk (Mandiri), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI).
"Kami juga ucapkan terima kasih pada BRI, BNI, dan Mandiri yang telah memberi fasilitas hedging. Dalam bulan ini kami akan implementasikan hal itu," pungkas Sofyan.
Hal ini dilakukan lantaran perseroan tengah memiliki tugas menggarap proyek kelistrikan 35 ribu megawatt (MW) yang jadi ambisi Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Direktur Utama (Dirut) PLN Sofyan Basir mengatakan, proyek kelistrikan yang ditargetkan selesai hingga lima tahun mendatang ini membutuhkan dana cukup fantastis sekitar Rp1.200 triliun.
Meski perseroan hanya diberi tugas 10 ribu MW, namun kebutuhan dana tersebut tidak sanggup ditutup oleh kas perseroan. "Minimnya pembiayaan dari dalam maka, pinjaman akan lebih banyak dari luar negeri, meski ada risiko valas," tuturnya di gedung Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (10/4/2015).
Menurutnya, saat ini perseroan juga telah memiliki exposure valas yang tinggi untuk membangun pembangkit listrik, dan kewajiban valas setiap bulan untuk kebutuhan energi primer dan bunga utang. Sebab itu, untuk memitigasi risiko valas perseroan memutuskan untuk melakukan hedging.
"Kami bersyukur pemerintah dan BI telah terbitkan regulasi untuk itu. Kami juga sudah koordinasi dengan Menkeu, akutansi independen dengan perhatikan prinsip good corporate governance (GCG)," imbuh dia.
Dalam proses transaksi Lindung nilai ini, BUMN kelistrikan ini difasilitasi tiga perbankan BUMN yaitu PT Bank Mandiri Tbk (Mandiri), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI).
"Kami juga ucapkan terima kasih pada BRI, BNI, dan Mandiri yang telah memberi fasilitas hedging. Dalam bulan ini kami akan implementasikan hal itu," pungkas Sofyan.
(izz)