Pertumbuhan Ekonomi Diprediksi Hanya 5,1%
A
A
A
JAKARTA - Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi negaranegara berkembang di kawasan Asia Timur dan Pasifik tahun ini akan sedikit melambat, termasuk Indonesia.
Kendati demikian, kawasan Asia Timur dan Pasifik mendapatkan keuntungan dari rendahnya harga minyak dan membaiknya perekonomian negara-negara maju. Namun, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik Axel Trotsenburg mengatakan, hanya China yang mampu memperoleh pertumbuhan ekonomi di kisaran 7%.
”Selain kawasan tersebut, hanya ada kenaikan sekitar 0,5% pada negara berkembang termasuk Indonesia dengan prediksi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1%. Perkiraan ini didasarkan pada permintaan dalam negeri yang didorong oleh sentimen konsumen yang positif dan juga rendahnya harga minyak dunia,” ujarnya dalam telekonferensi dari Kantor Bank Dunia Singapura kemarin.
Dengan begitu, lanjut dia, kendati melemah, akumulasi persentase dari pertumbuhan kawasan Asia Timur dan Pasifik tetap berkontribusi sepertiga dari pertumbuhan global. Persentasetersebutmasihduakalilipat dari kontribusi semua negara berkembang di kawasan lainnya. Di Indonesia, merosotnya harga minyak akan mendorong permintaan barang dan juga menawarkan kesempatan bagi para pembuat kebijakan untuk mendorong reformasi pada sektor fiskal.
Hal itu kemudian mendorong peningkatan pendapatan dan sekaligus mengalihkan belanja negara ke bidang infrastruktur dan hal produktif lainnya. ”Reformasi dari pemerintahan akan memperbaiki daya saing Asia Timur dan membantu kawasan mempertahankan statusnya sebagai mesin pertumbuhan global,” sambung Axel.
Bagi Indonesia, dampak pertumbuhan akan sangat terlihat dalam kebergantungannya pada ekspor batu bara dan gas. Berbeda dengan Malaysia atau Papua Nugini yang memang bagian dari negara-negara net eksportir minyak, kedua kawasan tersebut akan mencatat pertumbuhan yang lebih lambat dengan nilai pendapatan yang juga lebih rendah.
Namun, menurut Axel, potensi tantangan ekonomi global masih terus mengancam kawasan Asia Timur dan Pasifik dalam era ekonomi yang terintegrasi ini. Pulihnya pertumbuhan di negara maju masih dikategorikan lambat dan belum merata. Sementara, pelemahan di kawasan Eropa dan Jepang bisa menurunkan indeks perdagangan dunia.
”Pemerintah Indonesia diharapkan membuat fokus yang berbeda arah dengan negara yang perekonomiannya maju untuk mendorong gejolak finansial,” paparnya. Hal ini menurutnya bisa dilakukan secara signifikan dengan meningkatkan biaya pinjaman dan mengurangi aliran uang menuju dalam negeri.
Ekonom Utama Bank Dunia untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik Sudhir Shetty menjelaskan, walau perekonomian Indonesia tetap kuat dalam kondisi pemulihan ekonomi global, tetap saja ada risiko jangka pendek atau jangka panjang. ”Dalam masa perbaikannya, kuncinya adalah kebijakan fiskal seperti reformasi penetapan harga bahan bakar minyak (BBM) yang sesuai,” tuturnya.
Nantinya, hasil dari reformasi tersebut akan meningkatkan pendapatan dalam negeri, dan membantu merestrukturisasi pengeluaran seperti investasi infrastruktur. Adapun yang sering terlupakan untuk digenjot adalah pemerataan dana perlindungan sosial hasil dari reformasi fiskal tersebut.
Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia Ndiame Diop menambahkan, bentuk subsidi pemerintah tersebut sebaiknya tidak hanya dikemas dalam bentuk dana, namun juga ke arah pemberdayaan. ”Libatkan bentuk edukasi secara langsung dari pemerintah untuk berbagai sektor seperti ketenagakerjaan, bukan hanya dengan peningkatan subsidi dan mutu pendidikan dasarnya,” ujarnya.
Rabia edra
Kendati demikian, kawasan Asia Timur dan Pasifik mendapatkan keuntungan dari rendahnya harga minyak dan membaiknya perekonomian negara-negara maju. Namun, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik Axel Trotsenburg mengatakan, hanya China yang mampu memperoleh pertumbuhan ekonomi di kisaran 7%.
”Selain kawasan tersebut, hanya ada kenaikan sekitar 0,5% pada negara berkembang termasuk Indonesia dengan prediksi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1%. Perkiraan ini didasarkan pada permintaan dalam negeri yang didorong oleh sentimen konsumen yang positif dan juga rendahnya harga minyak dunia,” ujarnya dalam telekonferensi dari Kantor Bank Dunia Singapura kemarin.
Dengan begitu, lanjut dia, kendati melemah, akumulasi persentase dari pertumbuhan kawasan Asia Timur dan Pasifik tetap berkontribusi sepertiga dari pertumbuhan global. Persentasetersebutmasihduakalilipat dari kontribusi semua negara berkembang di kawasan lainnya. Di Indonesia, merosotnya harga minyak akan mendorong permintaan barang dan juga menawarkan kesempatan bagi para pembuat kebijakan untuk mendorong reformasi pada sektor fiskal.
Hal itu kemudian mendorong peningkatan pendapatan dan sekaligus mengalihkan belanja negara ke bidang infrastruktur dan hal produktif lainnya. ”Reformasi dari pemerintahan akan memperbaiki daya saing Asia Timur dan membantu kawasan mempertahankan statusnya sebagai mesin pertumbuhan global,” sambung Axel.
Bagi Indonesia, dampak pertumbuhan akan sangat terlihat dalam kebergantungannya pada ekspor batu bara dan gas. Berbeda dengan Malaysia atau Papua Nugini yang memang bagian dari negara-negara net eksportir minyak, kedua kawasan tersebut akan mencatat pertumbuhan yang lebih lambat dengan nilai pendapatan yang juga lebih rendah.
Namun, menurut Axel, potensi tantangan ekonomi global masih terus mengancam kawasan Asia Timur dan Pasifik dalam era ekonomi yang terintegrasi ini. Pulihnya pertumbuhan di negara maju masih dikategorikan lambat dan belum merata. Sementara, pelemahan di kawasan Eropa dan Jepang bisa menurunkan indeks perdagangan dunia.
”Pemerintah Indonesia diharapkan membuat fokus yang berbeda arah dengan negara yang perekonomiannya maju untuk mendorong gejolak finansial,” paparnya. Hal ini menurutnya bisa dilakukan secara signifikan dengan meningkatkan biaya pinjaman dan mengurangi aliran uang menuju dalam negeri.
Ekonom Utama Bank Dunia untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik Sudhir Shetty menjelaskan, walau perekonomian Indonesia tetap kuat dalam kondisi pemulihan ekonomi global, tetap saja ada risiko jangka pendek atau jangka panjang. ”Dalam masa perbaikannya, kuncinya adalah kebijakan fiskal seperti reformasi penetapan harga bahan bakar minyak (BBM) yang sesuai,” tuturnya.
Nantinya, hasil dari reformasi tersebut akan meningkatkan pendapatan dalam negeri, dan membantu merestrukturisasi pengeluaran seperti investasi infrastruktur. Adapun yang sering terlupakan untuk digenjot adalah pemerataan dana perlindungan sosial hasil dari reformasi fiskal tersebut.
Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia Ndiame Diop menambahkan, bentuk subsidi pemerintah tersebut sebaiknya tidak hanya dikemas dalam bentuk dana, namun juga ke arah pemberdayaan. ”Libatkan bentuk edukasi secara langsung dari pemerintah untuk berbagai sektor seperti ketenagakerjaan, bukan hanya dengan peningkatan subsidi dan mutu pendidikan dasarnya,” ujarnya.
Rabia edra
(bbg)