RUU Penanganan Krisis Difinalisasi
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah bersama Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tengah memfinalisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).
Finalisasi RUU yang mengatur kerangka kebijakan di saat krisis keuangan itu diharapkan dapat rampung sebelum 22 April 2015. GubernurBIAgusMartowardojo mengatakan, keempat lembaga keuangan ini akan mendesak pengesahan RUU JPSK sebelum bulan Mei. Hal ini karena RUU JPSK sudah menjadi prioritas sejak tiga tahun terakhir.
”Selain revisi UU BI dan revisi UU Perbankan yang sudah ada di DPR, JPSK juga sudah masuk dalam prioritas pemerintah sejak tahun 2012,” ujar Agus di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, kemarin. RUU JPSK pernah diajukan oleh pemerintah bersama BI pada 2005. Dalam RUU tersebut Pemerintah bersama BI menyusun secara jelas soal protokol krisis dan tanggung jawab lembaga terkait yaitu Kementerian Keuangan (Kemenkeu), OJK, LPS, dan BI.
Tiga tahun berikutnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menolak meloloskan RUU tersebut dengan alasan belum jelasnya definisi kesulitan keuangan yang menyebabkan krisis sistemik. Melalui RUU ini, pada prinsipnya Kementerian Keuangan akan bertugas untuk menyusun perundang-undangan sektor keuangan dan menyediakan dana untuk penanganan krisis.
Di sisi lain, BI selaku bank sentral bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas moneter serta kesehatan perbankan, mengamankan dan melancarkan sistem pembayaran. Sedangkan, LPS diminta untuk menjamin simpanan nasabah bank serta resolusi bank bermasalah. Agus melanjutkan, sebelum DPR memasuki masareses, RUU JPSK harus sudah dibahas.
”Tim Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) berharap, DPR segera menyelesaikan dan presiden menandatangani kerangka ini sebelum 2 Mei,” sambungnya. Secara garis besar, kerangka kerja ini akan melandasi pengaturan skim asuransi simpanan, mekanisme pemberian fasilitas pembiayaan darurat oleh bank sentral, dan kebijakan penyelesaian krisis.
Dengan adanya RUU JPSK, stabilitas sistem keuangan dapat terjaga dan berfungsi normal, serta memiliki kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Selain itu, terdapat klausul perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan di saat kondisi perekonomian dalam negeri dilanda krisis.
Nantinya, pengambil kebijakan dapat memperoleh impunitas secara penuh atau perlindungan hukum yang lebih terbatas. Untuk mengantisipasi keselamatan kolapsnya sistem keuangan, pemerintah juga mencantumkan pasal-pasal agar penentuan bank yang berdampak pada sistemik tidak dilakukan ketika krisis terjadi.
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Hadad menambahkan, Undang-Undang JPSK harus fleksibel. Poin-poin penjabaranyanglebihterperinciseperti metode-metode atau resolusi akan lebih diarahkan untuk dibuatkan aturan pelaksanaannya tersendiri. ”RUUJPSKjugaakan sangat membantu bagi penyelamatan bank-bank besar,” ujar dia.
Muliaman juga berharap, ke depan kemampuan peminjaman dari bank akan terus meningkat walau sebenarnya kemampuan tersebut juga ditentukan oleh daya serapnya. Apabila daya serapnya besar, maka kredit perbankan juga akan tumbuh lebih besar. ”Kapasitas sektor perbankan harus lebih memadai dengan likuiditas yang agak longgar,” jelasnya.
Rabia edra
Finalisasi RUU yang mengatur kerangka kebijakan di saat krisis keuangan itu diharapkan dapat rampung sebelum 22 April 2015. GubernurBIAgusMartowardojo mengatakan, keempat lembaga keuangan ini akan mendesak pengesahan RUU JPSK sebelum bulan Mei. Hal ini karena RUU JPSK sudah menjadi prioritas sejak tiga tahun terakhir.
”Selain revisi UU BI dan revisi UU Perbankan yang sudah ada di DPR, JPSK juga sudah masuk dalam prioritas pemerintah sejak tahun 2012,” ujar Agus di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, kemarin. RUU JPSK pernah diajukan oleh pemerintah bersama BI pada 2005. Dalam RUU tersebut Pemerintah bersama BI menyusun secara jelas soal protokol krisis dan tanggung jawab lembaga terkait yaitu Kementerian Keuangan (Kemenkeu), OJK, LPS, dan BI.
Tiga tahun berikutnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menolak meloloskan RUU tersebut dengan alasan belum jelasnya definisi kesulitan keuangan yang menyebabkan krisis sistemik. Melalui RUU ini, pada prinsipnya Kementerian Keuangan akan bertugas untuk menyusun perundang-undangan sektor keuangan dan menyediakan dana untuk penanganan krisis.
Di sisi lain, BI selaku bank sentral bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas moneter serta kesehatan perbankan, mengamankan dan melancarkan sistem pembayaran. Sedangkan, LPS diminta untuk menjamin simpanan nasabah bank serta resolusi bank bermasalah. Agus melanjutkan, sebelum DPR memasuki masareses, RUU JPSK harus sudah dibahas.
”Tim Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) berharap, DPR segera menyelesaikan dan presiden menandatangani kerangka ini sebelum 2 Mei,” sambungnya. Secara garis besar, kerangka kerja ini akan melandasi pengaturan skim asuransi simpanan, mekanisme pemberian fasilitas pembiayaan darurat oleh bank sentral, dan kebijakan penyelesaian krisis.
Dengan adanya RUU JPSK, stabilitas sistem keuangan dapat terjaga dan berfungsi normal, serta memiliki kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Selain itu, terdapat klausul perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan di saat kondisi perekonomian dalam negeri dilanda krisis.
Nantinya, pengambil kebijakan dapat memperoleh impunitas secara penuh atau perlindungan hukum yang lebih terbatas. Untuk mengantisipasi keselamatan kolapsnya sistem keuangan, pemerintah juga mencantumkan pasal-pasal agar penentuan bank yang berdampak pada sistemik tidak dilakukan ketika krisis terjadi.
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Hadad menambahkan, Undang-Undang JPSK harus fleksibel. Poin-poin penjabaranyanglebihterperinciseperti metode-metode atau resolusi akan lebih diarahkan untuk dibuatkan aturan pelaksanaannya tersendiri. ”RUUJPSKjugaakan sangat membantu bagi penyelamatan bank-bank besar,” ujar dia.
Muliaman juga berharap, ke depan kemampuan peminjaman dari bank akan terus meningkat walau sebenarnya kemampuan tersebut juga ditentukan oleh daya serapnya. Apabila daya serapnya besar, maka kredit perbankan juga akan tumbuh lebih besar. ”Kapasitas sektor perbankan harus lebih memadai dengan likuiditas yang agak longgar,” jelasnya.
Rabia edra
(bbg)