Inovasi Tanpa Teknologi

Kamis, 23 April 2015 - 09:09 WIB
Inovasi Tanpa Teknologi
Inovasi Tanpa Teknologi
A A A
I hate innovation! What? Apakah saya tidak salah dengar? Itu adalah kalimat Profesor W Chan Kim yang secara lantang disampaikannya di workshop Blue Ocean strategy beberapa tahun lalu di hotel Ritz Carlton, Jakarta.

Tentu ini mencengangkan. Bahkan, hampir-hampir merupakan a shocking statement. Padahal, dalam bukunya digembargemborkan kata ”value innovation”. Mengapa beliau melontarkan kalimat membenci Inovasi? Sesaat setelah itu, barulah Prof Kim menjelaskan mengapa secara ekstrem dia menyebut ”hate innovation” .

Karena, masih banyak pelaku bisnis di perusahaan yang menganggap hanya hal-hal yang berbau teknologi tinggi sajalah yang disebut sebagai inovasi. Sebut saja Google Glass atau Augmented Reality. Baru mendengar istilahnya saja, tentu setiap orang sudah merasa wow. Lalu terpesona dan segera menjulukinya sebagai sebuah inovasi, tidak diragukan lagi.

Karena, teknologi baru dan sophisticated. Profesor Kim mengingatkan pada kita kesalahan utama adalah mendefinisikan inovasi terlalu sempit. Apa yang disebut value innovation itu tidak harus berhubungan dengan kecanggihan fitur produk. Yang diperbarui haruslah punya nilai.

Saya terkesan dengan cara beliau menyadarkan kita bahwa yang disebut value innovation itu bukanlah sebuah konsep yang muluk-muluk, tetapi sangat mendasar. Konsep dan filosofi ini yang perlu diresapi bersama. Kata kunci dari inovasi adalah memberikan solusi. Solusi menurut konsumen atau target audien, dan bukan solusi menurut perusahaan.

Kesalahan lainnya adalah memahami konsep blue ocean secara parsial. Terlalu percaya diri untuk menamakan produk baru yang akan diluncurkan sebagai blue ocean. Padahal, pengamatan saya, ada kalanya sebuah produk baru tersebut lebih tepat disebut dengan line extension saja.

Artinya, tawaran dari produk yang sama. Tetapi, dengan masih terjebak pada marketing myopia yaitu rabun terhadap hal-hal yang ada di hadapan mata, maka jadilah produsen terlalu jauh mencaricari extra value yang disebutnya inovasi. Konser musikal Andre Rieu adalah sebuah konser musik klasik yang telah diubah konsepnya mengikuti perkem-bangan jaman.

Inovasi dalam konser ini adalah partisipasi audien. Gayanya yang lucu dan menghibur menjadikan penonton sering tertawa dan gayanya ini tentu saja sangat berbeda dengan konser klasik tradisional. Inovasi nilai (value innovation) Andre Rieu masuk menembus batas non-konsumen.

Bahwa yang kemudian digarap adalah audiens yang berbeda dari konser klasik umumnya, ini adalah sebuah inovasi terobosan untuk keluar dari red ocean, dari koridor yang membelenggu. Biasanya sebuah konser klasik dihadiri oleh orang-orang berjas dan baju elegan mewah dan menggambarkan sosok dari segmen tertentu.

Andre Rieu melihat peluang untuk menggarap audiens baru dari luar konsumen yang sudah established. Dia menerobos boundary. Siapasaja bolehnontonkonser klasik, bahkan semua orang diberikankesempatanuntukikut partisipasi dalam show -nya.

Di konser klasik pada umumnya orang harus duduk manis tanpa suara, tetapi Andre justru mengajak audiensnya ikut mendentingkan botol dan gelas minumannya sebagai sebuah kesatuan suara dalam konser yang sedang digelarnya. Itu adalah inovasi nilai! yang tidak mengandung teknologi tinggi dalam tawarannya. Demikian penjelasan Prof Kim yang masih membekas di benak hingga hari ini.

Mengapa Inovasi menarik perhatian saya-karena saat ini saya sedang ikut menjadi juri dalam ajang pencatatan rekor bisnis (ReBi). Cerita-cerita Prof Kim tentang inovasi yang sederhana tetapi punya nilai tinggi bagi konsumennya, tiba-tiba saya ingat kembali.

Inovasi dan ReBi

Saat pertama diminta untuk bergabung menjadi juri di acara ReBi-ajang pembuktian rekor bisnis, saya sempat berpikir beberapa kali. Benarkah ini ajang yang benar-benar diperlukan oleh pebisnis? Apakah ini hanya acara yang dibentuk untuk mendapatkan keuntungan dan komersialisasi dari sebuah award.

Menelusuri secara lebih mendalam ternyata memang ada kebutuhan dari pebisnis sendiri yang selama ini belum mendapatkan wadah atau media untuk mencatatkan prestasi- prestasinya di bidang bisnis.

Sebuah rekor, tentu saja harus diuji dan melalui serangkaian penilaian seksama, adalah sebuah prestasi yang bukan hanya bisa membuat nilai brand - nya meningkat, tetapi memberikan semangat perubahan kultur inovasi dalam internal organisasi perusahaan.

Bagaimana dengan kasus PSSI? Kericuhan yang dialami oleh organisasi ini membuat batalnya banyak serial pertandingan. Yang dikeluhkan oleh pemain bola yang andal dan pengelolanya di antaranya adalah lalu kapan kepandaian mereka akan diuji jika tidak pernah ada ajang pertandingan.

Pebisnis andal butuh ajang untuk mencatatkan prestasi. ReBi atau Rekor Bisnis yang dikelola oleh KORAN SINDO dan Yayasan Tera ini menjadi sebuah tempat yang aman untuk memperlihatkan sejauh mana komitmen perusahaan di bidang inovasi nilai. Tidak setiap hari mendapatkan blue oceans.

Tentu saja. Dalam ReBi sendiri ada beberapa kategori rekor. Bisa saja rekornya adalah yang terbaik, juga ada juga catatan sebagai pionir atau yang pertama kali memberikan tawaran solutif ke konsumennya.

Intinya, ReBi tetap mencatat sebagai apresiasi dari usaha perusahaan untuk menciptakan kultur inovatif di dalam organisasinya. Selamat kepada para pemenang ReBi pada periode ini. Lanjutkan perjuangan berinovasi. Keep it up !

Amalia E. Maulana. PH.D.
Brand Consultant & Ethnographer ETNOMARK Consulting www.amaliamaulana.com @etnoamalia
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0531 seconds (0.1#10.140)