Kinerja Industri Tekstil Menurun
A
A
A
JAKARTA - Kinerja industri tekstil akhir-akhir ini mengalami penurunan akibat melemahnya permintaan global yang berimbas ke pasar Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan, penurunan kinerja tersebut diperparah dengan daya beli masyarakat yang menurun akibat sejumlah kebijakan pemerintah yang banyak berubah. ” Salah satunya dengan menaikkan BBM (bahan bakar minyak) dalam waktu yang singkat menyebabkan daya beli masyarakat menjadi turun,” ujarnya di Jakarta kemarin.
Ade berharap, ke depan kebijakan soal BBM tidak terlalu banyak berubah dan lebih stabil. Pasalnya, BBM menjadi acuan berbagai industri terutama dalam hal penentuan harga jual produk. Menurut Ade, agar investasi lebih bergairah, salah satu yang perlu dipertimbangkan adalah energi, yaitu harga listrik. Pasalnya, selama ini harga listrik di Indonesia paling mahal di antara negara-negara Asia Tenggara lainnya yakni mencapai USD10 sen per kilowatt per jam.
Sementara, harga listrik di Vietnam dan Malaysia hanya sekitar USD6 sen per kilowatt per jam. Dalam hal ini pemerintah sedang berupaya untuk menurunkan harga listrik agar industri tekstil di dalam negeri dapat berdaya saing. ” Investasi juga diperlukan di bidang teknologi mesin supaya industri tekstil nasional bisa berdaya saing. Untuk mendorong investasi tersebut, harga listrik harus turun,” jelas Ade.
Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur (BIM) Kementerian Perindustrian (kemenperin) Harjanto mengatakan, listrik memang sedang diperjuangkan agar bisa lebih memiliki daya saing dengan negara lain. ” Sekarang lagi diusulkan soal listrik. Harapannya bisa segera disepakati sehingga industri dari hulu ke hilir bisa terintegrasi supaya lebih efisien,” ujarnya.
Selain itu, pemerintah sangat mendorong industri tekstil khususnya mesin tekstil dalam negeri dan berbagai macam insentif akan diberikan untuk insentif permesinan.
Oktiani endarwati
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan, penurunan kinerja tersebut diperparah dengan daya beli masyarakat yang menurun akibat sejumlah kebijakan pemerintah yang banyak berubah. ” Salah satunya dengan menaikkan BBM (bahan bakar minyak) dalam waktu yang singkat menyebabkan daya beli masyarakat menjadi turun,” ujarnya di Jakarta kemarin.
Ade berharap, ke depan kebijakan soal BBM tidak terlalu banyak berubah dan lebih stabil. Pasalnya, BBM menjadi acuan berbagai industri terutama dalam hal penentuan harga jual produk. Menurut Ade, agar investasi lebih bergairah, salah satu yang perlu dipertimbangkan adalah energi, yaitu harga listrik. Pasalnya, selama ini harga listrik di Indonesia paling mahal di antara negara-negara Asia Tenggara lainnya yakni mencapai USD10 sen per kilowatt per jam.
Sementara, harga listrik di Vietnam dan Malaysia hanya sekitar USD6 sen per kilowatt per jam. Dalam hal ini pemerintah sedang berupaya untuk menurunkan harga listrik agar industri tekstil di dalam negeri dapat berdaya saing. ” Investasi juga diperlukan di bidang teknologi mesin supaya industri tekstil nasional bisa berdaya saing. Untuk mendorong investasi tersebut, harga listrik harus turun,” jelas Ade.
Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur (BIM) Kementerian Perindustrian (kemenperin) Harjanto mengatakan, listrik memang sedang diperjuangkan agar bisa lebih memiliki daya saing dengan negara lain. ” Sekarang lagi diusulkan soal listrik. Harapannya bisa segera disepakati sehingga industri dari hulu ke hilir bisa terintegrasi supaya lebih efisien,” ujarnya.
Selain itu, pemerintah sangat mendorong industri tekstil khususnya mesin tekstil dalam negeri dan berbagai macam insentif akan diberikan untuk insentif permesinan.
Oktiani endarwati
(ars)