RI Tak Tanggap, China Manfaatkan Ekonomi Afrika
A
A
A
JAKARTA - Direktur Riset CORE Indonesia Mohammad Faisal menyatakan, negeri ini seharusnya bisa mengintensifkan kerja sama ekonomi tidak hanya dengan negara-negara Asia, tetapi juga Afrika. Sebagai tuan rumah Konferensi Asia Afrika (KAA) Ke-60 pada pekan kemarin, Indonesia kurang tanggap, justru China yang sukses memanfaatkan momentum penting ini.
Menurut Faisal, sebagai pemrakarsa KAA, Indonesia semestinya mampu memanfaatkan peran yang lebih besar dalam perdagangan dengan negara-negara Afrika. Sayang, saat ini justru China yang banyak memanfaatkan potensi ekonomi negara-negara di kawasan tersebut.
Dia mencatat dari USD245 miliar atau sekitar Rp3.172 triliun nilai ekspor negara-negara Asia ke Afrika pada 2014, sebesar 43% berasal dari China, disusul India dan Korea masing-masing sebesar 14% dan 6%. Sementara pangsa pasar Indonesia hanya 1% dengan nilai USD2,4 miliar.
"Jenis produk yang diekspor Indonesia pun masih sangat terbatas. Di mana 40%-nya adalah crude palm oil," ujarnya, Minggu (26/4/2015).
Afrika yang memiliki populasi lebih dari satu miliar jiwa semestinya menjadi pasar yang sangat potensial bagi produk-produk ekspor Indonesia. Pelemahan ekonomi di kawasan Amerika dan Eropa, lanjut dia, semestinya menjadi kesempatan bagi eksportir Indonesia memperluas pasar ke kawasan tersebut yang terus mengalami pertumbuhan.
"Low cost green car atau LCGC yang menjadi produk manufaktur andalan baru Indonesia, semestinya sangat cocok dengan kebutuhan negara-negara berpenghasilan menengah-rendah yang sangat banyak terdapat di Afrika," jelas Faisal.
Sementara dari sisi investasi, minimnya penanaman modal yang mengalir ke kawasan Afrika menjadi salah satu penyebab lambannya pembangunan ekonomi dan pengentasan kemiskinan di benua tersebut.
Menurutnya, setelah 60 tahun berlalu sejak dialog Asia-Afrika dirintis, Indonesia semestinya dapat mengambil banyak pelajaran berharga (lessons learned) dari keberhasilan beberapa negara Asia yang mampu bangkit ekonominya dari ketertinggalan hingga menjadi negara yang maju dan disegani.
"Misalkan Korea yang berhasil melakukan transformasi menjadi negara maju berpendapatan tinggi dengan mengandalkan pembangunan industri manufaktur berteknologi tinggi," imbuhnya.
Sebab itu, perhelatan besar KAA Ke-60 pada pekan kemarin, idealnya dimanfaatkan untuk melakukan kerja sama yang dapat lebih mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat.
"Karena akan sangat disayangkan, apabila perhelatan tingkat tinggi dengan anggaran yang besar ini hanya berlalu dengan meninggalkan dokumen dan komitmen yang minim realisasi," tandas Faisal.
Menurut Faisal, sebagai pemrakarsa KAA, Indonesia semestinya mampu memanfaatkan peran yang lebih besar dalam perdagangan dengan negara-negara Afrika. Sayang, saat ini justru China yang banyak memanfaatkan potensi ekonomi negara-negara di kawasan tersebut.
Dia mencatat dari USD245 miliar atau sekitar Rp3.172 triliun nilai ekspor negara-negara Asia ke Afrika pada 2014, sebesar 43% berasal dari China, disusul India dan Korea masing-masing sebesar 14% dan 6%. Sementara pangsa pasar Indonesia hanya 1% dengan nilai USD2,4 miliar.
"Jenis produk yang diekspor Indonesia pun masih sangat terbatas. Di mana 40%-nya adalah crude palm oil," ujarnya, Minggu (26/4/2015).
Afrika yang memiliki populasi lebih dari satu miliar jiwa semestinya menjadi pasar yang sangat potensial bagi produk-produk ekspor Indonesia. Pelemahan ekonomi di kawasan Amerika dan Eropa, lanjut dia, semestinya menjadi kesempatan bagi eksportir Indonesia memperluas pasar ke kawasan tersebut yang terus mengalami pertumbuhan.
"Low cost green car atau LCGC yang menjadi produk manufaktur andalan baru Indonesia, semestinya sangat cocok dengan kebutuhan negara-negara berpenghasilan menengah-rendah yang sangat banyak terdapat di Afrika," jelas Faisal.
Sementara dari sisi investasi, minimnya penanaman modal yang mengalir ke kawasan Afrika menjadi salah satu penyebab lambannya pembangunan ekonomi dan pengentasan kemiskinan di benua tersebut.
Menurutnya, setelah 60 tahun berlalu sejak dialog Asia-Afrika dirintis, Indonesia semestinya dapat mengambil banyak pelajaran berharga (lessons learned) dari keberhasilan beberapa negara Asia yang mampu bangkit ekonominya dari ketertinggalan hingga menjadi negara yang maju dan disegani.
"Misalkan Korea yang berhasil melakukan transformasi menjadi negara maju berpendapatan tinggi dengan mengandalkan pembangunan industri manufaktur berteknologi tinggi," imbuhnya.
Sebab itu, perhelatan besar KAA Ke-60 pada pekan kemarin, idealnya dimanfaatkan untuk melakukan kerja sama yang dapat lebih mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat.
"Karena akan sangat disayangkan, apabila perhelatan tingkat tinggi dengan anggaran yang besar ini hanya berlalu dengan meninggalkan dokumen dan komitmen yang minim realisasi," tandas Faisal.
(dmd)