Kartel Minyak Goreng Dinilai Tak Ampuh Saat Kebijakan Pemerintah Berubah-ubah
Senin, 27 Februari 2023 - 14:50 WIB
JAKARTA - Dugaan kartel minyak goreng pada tahun lalu diragukan beberapa kalangan. Pasalnya, kartel dinilai tak efektif dilakukan di saat pemerintah mengeluarkan kebijakan yang berubah-ubah dalam waktu singkat untuk mengatasi masalah minyak goreng.
“Berdasarkan konsepnya, kartel biasanya dilakukan di tengah kondisi pasar yang stabil. Sementara saat itu pemerintah mengeluarkan banyak kebijakan yang berubah-ubah dalam waktu yang singkat. Melakukan kesepakatan kartel pada saat itu justru tidak rasional,” kata Ine Minara Ruky, Guru besar FEB UI, saat sidang perkara dugaan kartel minyak goreng di KPPU, dikutip Senin (27/2/2023).
Menurut Ine, kebijakan pemerintah yang terjadi saat itu harus dianalisis karena perilaku pelaku usaha tidak steril dari lingkungan kebijakan pemerintah. Di samping itu, motivasi pelaku usaha melakukan kartel adalah mendapatkan keuntungan jangka panjang.
Apabila kartel dilakukan dalam jangka pendek, maka probabilitas efektivitasnya menjadi kecil. Begitu juga, keuntungannya akan lebih kecil dan biaya yang harus dikeluarkan menjadi tidak rasional.
“Misalnya, kalau ada kartel harga dalam dua atau tiga bulan, kemudian di tengah-tengah berhenti, karena ada structural break berupa kebijakan harga dari pemerintah. Namun, beberapa bulan kemudian kebijakan dicabut dan terjadi lagi kartel. Menurut saya itu tidak masuk akal. Apabila ingin melakukan kartel biasanya jangka panjang, tidak sepotong-sepotong,” papar Ine.
Keberhasilan kartel juga sangat bergantung berapa banyak pihak yang terlibat. Kartel semakin tidak efektif dengan semakin banyaknya peserta yang ikut dalam kesepakatan.
Dalam perkara ini, KPPU menduga sebanyak 27 perusahaan minyak goreng kemasan (terlapor) melakukan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli). Para rerlapor dituduh membuat kesepakatan penetapan harga minyak goreng kemasan pada periode Oktober - Desember 2021 dan periode Maret – Mei 2022, serta membatasi peredaran atau penjualan minyak goreng kemasan pada periode Januari – Mei 2022.
Menurut Ine, KPPU harus teliti dalam menyimpulkan adanya kartel terkait kenaikan harga minyak goreng pada periode tersebut. Keseragaman harga (price parallelism) yang terjadi tidak serta merta membuktikan adanya kartel.
Baca Juga
“Berdasarkan konsepnya, kartel biasanya dilakukan di tengah kondisi pasar yang stabil. Sementara saat itu pemerintah mengeluarkan banyak kebijakan yang berubah-ubah dalam waktu yang singkat. Melakukan kesepakatan kartel pada saat itu justru tidak rasional,” kata Ine Minara Ruky, Guru besar FEB UI, saat sidang perkara dugaan kartel minyak goreng di KPPU, dikutip Senin (27/2/2023).
Menurut Ine, kebijakan pemerintah yang terjadi saat itu harus dianalisis karena perilaku pelaku usaha tidak steril dari lingkungan kebijakan pemerintah. Di samping itu, motivasi pelaku usaha melakukan kartel adalah mendapatkan keuntungan jangka panjang.
Apabila kartel dilakukan dalam jangka pendek, maka probabilitas efektivitasnya menjadi kecil. Begitu juga, keuntungannya akan lebih kecil dan biaya yang harus dikeluarkan menjadi tidak rasional.
“Misalnya, kalau ada kartel harga dalam dua atau tiga bulan, kemudian di tengah-tengah berhenti, karena ada structural break berupa kebijakan harga dari pemerintah. Namun, beberapa bulan kemudian kebijakan dicabut dan terjadi lagi kartel. Menurut saya itu tidak masuk akal. Apabila ingin melakukan kartel biasanya jangka panjang, tidak sepotong-sepotong,” papar Ine.
Keberhasilan kartel juga sangat bergantung berapa banyak pihak yang terlibat. Kartel semakin tidak efektif dengan semakin banyaknya peserta yang ikut dalam kesepakatan.
Dalam perkara ini, KPPU menduga sebanyak 27 perusahaan minyak goreng kemasan (terlapor) melakukan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli). Para rerlapor dituduh membuat kesepakatan penetapan harga minyak goreng kemasan pada periode Oktober - Desember 2021 dan periode Maret – Mei 2022, serta membatasi peredaran atau penjualan minyak goreng kemasan pada periode Januari – Mei 2022.
Menurut Ine, KPPU harus teliti dalam menyimpulkan adanya kartel terkait kenaikan harga minyak goreng pada periode tersebut. Keseragaman harga (price parallelism) yang terjadi tidak serta merta membuktikan adanya kartel.
tulis komentar anda