Potensi Bursa Karbon Indonesia Capai Rp8.000 Triliun, Harus Ada Aturan Batasi Asing
Jum'at, 12 Mei 2023 - 20:19 WIB
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan ( OJK ) baru saja mengumumkan akan mempersiapkan aturan teknis bursa karbon pada Juni 2023, dan implementasi bursa itu ditargetkan berjalan pada September 2023. Kehadiran bursa karbon telah ditunggu-tunggu karena besarnya potensi perdagangan karbon global yang saat ini menembus angka Rp11.400 triliun, spesifik Indonesia potensinya diramal mencapai Rp8.000 triliun dalam jangka panjang karena memasukkan potensi hutan dan mangrove.
Sebagai langkah mendukung tata kelola dan ekosistem pengembangan bursa karbon di Tanah Air, diperlukan berbagai muatan materi peraturan teknis OJK yang sejalan dengan payung hukum yang ada, baik Permen LHK No.21 Tahun 2022 maupun UU PPSK. Dalam Pasal 24 UU PPSK disebutkan bahwa bursa karbon hanya dapat diselenggarakan oleh Penyelenggara Pasar yang mendapat izin usaha dari OJK. Hal ini menunjukkan bahwa penyelenggara bursa karbon idealnya bersifat terbuka asalkan mendapatkan izin dari OJK, tidak ekslusif hanya untuk penyelenggara bursa efek.
"OJK mesti clear menempatkan lembaganya sebagai regulator serta mendengarkan semua stakeholder peminat bursa karbon dalam mengatur perdagangan sekunder instrumen yang berkaitan dengan nilai ekonomi karbon di bursa karbon," jelas anggota DPR Komisi XI, Kamrussamad, Jumat (12/5/2023).
Ia pun menekankan perlunya pembuatan regulasi mendengarkan aspirasi pelaku usaha karbon dalam penyediaan peraturan OJK. "Harus inklusif dan adil bagi semua pelaku usaha," lanjutnya.
Sementara itu Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira menyebutkan, kehadiran aturan teknis bursa karbon perlu memfasilitasi setiap penyelenggara yang potensial.
"Belajar dari studi kasus bursa karbon di berbagai negara, termasuk Swedia, penyelenggara bursa karbon dapat berasal dari perusahaan berbasis teknologi bukan berasal dari bursa efek, dan itu sah-sah saja. Khawatir jika aturan teknis memberikan preferensi khusus pada penyelenggara bursa efek akan menghambat inovasi pengembangan bursa karbon," terang Bhima.
Ia juga menilai, ketika regulasi bursa karbon berburu dengan deadline, kualitas dari regulasi tetap perlu dijaga.
"Waktu yang ada hingga aturan teknis terbit bulan Juni perlu dimanfaatkan oleh OJK dalam merumuskan sebaik mungkin kesiapan pendaftaran hingga mekanisme pengawasan bursa karbon, sehingga bursa karbon yang hadir di Indonesia dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia, dan mencegah perusahaan luar negeri yang ingin melakukan greenwashing berlomba-lomba masuk ke bursa karbon Indonesia," tukas Bhima.
Sebagai langkah mendukung tata kelola dan ekosistem pengembangan bursa karbon di Tanah Air, diperlukan berbagai muatan materi peraturan teknis OJK yang sejalan dengan payung hukum yang ada, baik Permen LHK No.21 Tahun 2022 maupun UU PPSK. Dalam Pasal 24 UU PPSK disebutkan bahwa bursa karbon hanya dapat diselenggarakan oleh Penyelenggara Pasar yang mendapat izin usaha dari OJK. Hal ini menunjukkan bahwa penyelenggara bursa karbon idealnya bersifat terbuka asalkan mendapatkan izin dari OJK, tidak ekslusif hanya untuk penyelenggara bursa efek.
"OJK mesti clear menempatkan lembaganya sebagai regulator serta mendengarkan semua stakeholder peminat bursa karbon dalam mengatur perdagangan sekunder instrumen yang berkaitan dengan nilai ekonomi karbon di bursa karbon," jelas anggota DPR Komisi XI, Kamrussamad, Jumat (12/5/2023).
Ia pun menekankan perlunya pembuatan regulasi mendengarkan aspirasi pelaku usaha karbon dalam penyediaan peraturan OJK. "Harus inklusif dan adil bagi semua pelaku usaha," lanjutnya.
Sementara itu Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira menyebutkan, kehadiran aturan teknis bursa karbon perlu memfasilitasi setiap penyelenggara yang potensial.
"Belajar dari studi kasus bursa karbon di berbagai negara, termasuk Swedia, penyelenggara bursa karbon dapat berasal dari perusahaan berbasis teknologi bukan berasal dari bursa efek, dan itu sah-sah saja. Khawatir jika aturan teknis memberikan preferensi khusus pada penyelenggara bursa efek akan menghambat inovasi pengembangan bursa karbon," terang Bhima.
Ia juga menilai, ketika regulasi bursa karbon berburu dengan deadline, kualitas dari regulasi tetap perlu dijaga.
"Waktu yang ada hingga aturan teknis terbit bulan Juni perlu dimanfaatkan oleh OJK dalam merumuskan sebaik mungkin kesiapan pendaftaran hingga mekanisme pengawasan bursa karbon, sehingga bursa karbon yang hadir di Indonesia dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia, dan mencegah perusahaan luar negeri yang ingin melakukan greenwashing berlomba-lomba masuk ke bursa karbon Indonesia," tukas Bhima.
(uka)
Lihat Juga :
tulis komentar anda