Raih Laba Rp56,6 Triliun, Pengamat Sebut Buah Keberhasilan Efisiensi Pertamina
Sabtu, 10 Juni 2023 - 12:43 WIB
JAKARTA - Capaian impresif PT. Pertamina sepanjang 2022 dengan meraup laba tertinggi sepanjang sejarah, diyakini sebagai buah keberhasilan dalam menerapkan strategi efisiensi. Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menegaskan, keberhasilan itu bukan semata-mata karena faktor keberuntungan.
“Pertamina patut diapresiasi. Dengan meraih laba, berarti mereka telah melakukan kegiatan luar biasa, salah satunya efisiensi di berbagai sektor,” ujar Komaidi kepada media hari ini.
Sepanjang tahun 2022, BUMN energi ini meraup laba bersih USD3,8 Miliar atau setara Rp56,6 Triliun. Raihan tersebut meningkat sekitar 86% dibandingkan realisasi laba tahun sebelumnya dan merupakan terbesar sepanjang sejarah.
Komaidi menilai, tidak mudah untuk meraih laba pada kondisi saat ini. Keberhasilan tersebut, karena Pertamina memang menerapkan kebijakan yang tepat. Artinya apa? Bahwa hasil luar biasa tersebut bukan semata-mata karena windfall.
Terlebih selain efisiensi, Pertamina juga juga menerapkan digitalisasi sehingga bisa mengurangi loss dan penyalahgunaan BBM. "Kita harus melihat lebih objektif. Tidak 100% windfall. Sebab, jika Pertamina tidak menerapkan berbagai strategi, rugi juga," terang Komaidi.
Fakta bahwa Pertamina memang menerapkan strategi bisnis yang tepat, karena tahun-tahun sebelumnya juga mampu meraih hasil positif. Termasuk pada 2020, saat pandemi Covid-19. Ketika itu dimana banyak perusahaan migas dunia mengalami kerugian, ternyata Pertamina justru berhasil meraih laba sebesar Rp14 triliun.
Di tengah hantaman triple shocks berupa anjloknya harga minyak, jatuhnya permintaan minyak, dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, Pertamina justru memperlihatkan kinerja menggembirakan.
Padahal pada periode tersebut, sejumlah perusahaan migas dunia seperti Exxon Mobil Corporation, Chevron Corporation, dan BP melaporkan kinerja mereka melemah dan merugi. BP membukukan rugi bersih sebesar USD5,7 miliar selama 2020 dan Exxon Mobil mengalami kerugian sebesar USD20,1 miliar. Nasib serupa juga dialami Chevron yang membukukan kerugian USD11 juta pada kuartal tahun yang sama.
Ke depan Komaidi mengingatkan, Pertamina untuk tetap berhati-hati menghadapi berbagai tantangan, termasuk terkait transisi energi. Komaidi berharap, Pertamina lebih bijak dalam menetapkan portofolio investasi, termasuk di sektor energi fosil dan energi baru terbarukan (EBT). Terlebih, karena diperkirakan energi yang bersumber dari fosil masih dibutuhkan hingga 30-50 tahun ke depan.
"Saya kira isu-isu resesi dan ekonomi global, pelemahan mata uang, dan lainnya sudah biasa dihadapi oleh Pertamina. Namun persoalan transisi energi tergolong isu baru," pungkasnya.
“Pertamina patut diapresiasi. Dengan meraih laba, berarti mereka telah melakukan kegiatan luar biasa, salah satunya efisiensi di berbagai sektor,” ujar Komaidi kepada media hari ini.
Sepanjang tahun 2022, BUMN energi ini meraup laba bersih USD3,8 Miliar atau setara Rp56,6 Triliun. Raihan tersebut meningkat sekitar 86% dibandingkan realisasi laba tahun sebelumnya dan merupakan terbesar sepanjang sejarah.
Komaidi menilai, tidak mudah untuk meraih laba pada kondisi saat ini. Keberhasilan tersebut, karena Pertamina memang menerapkan kebijakan yang tepat. Artinya apa? Bahwa hasil luar biasa tersebut bukan semata-mata karena windfall.
Baca Juga
Terlebih selain efisiensi, Pertamina juga juga menerapkan digitalisasi sehingga bisa mengurangi loss dan penyalahgunaan BBM. "Kita harus melihat lebih objektif. Tidak 100% windfall. Sebab, jika Pertamina tidak menerapkan berbagai strategi, rugi juga," terang Komaidi.
Fakta bahwa Pertamina memang menerapkan strategi bisnis yang tepat, karena tahun-tahun sebelumnya juga mampu meraih hasil positif. Termasuk pada 2020, saat pandemi Covid-19. Ketika itu dimana banyak perusahaan migas dunia mengalami kerugian, ternyata Pertamina justru berhasil meraih laba sebesar Rp14 triliun.
Di tengah hantaman triple shocks berupa anjloknya harga minyak, jatuhnya permintaan minyak, dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, Pertamina justru memperlihatkan kinerja menggembirakan.
Padahal pada periode tersebut, sejumlah perusahaan migas dunia seperti Exxon Mobil Corporation, Chevron Corporation, dan BP melaporkan kinerja mereka melemah dan merugi. BP membukukan rugi bersih sebesar USD5,7 miliar selama 2020 dan Exxon Mobil mengalami kerugian sebesar USD20,1 miliar. Nasib serupa juga dialami Chevron yang membukukan kerugian USD11 juta pada kuartal tahun yang sama.
Ke depan Komaidi mengingatkan, Pertamina untuk tetap berhati-hati menghadapi berbagai tantangan, termasuk terkait transisi energi. Komaidi berharap, Pertamina lebih bijak dalam menetapkan portofolio investasi, termasuk di sektor energi fosil dan energi baru terbarukan (EBT). Terlebih, karena diperkirakan energi yang bersumber dari fosil masih dibutuhkan hingga 30-50 tahun ke depan.
"Saya kira isu-isu resesi dan ekonomi global, pelemahan mata uang, dan lainnya sudah biasa dihadapi oleh Pertamina. Namun persoalan transisi energi tergolong isu baru," pungkasnya.
(akr)
tulis komentar anda