Kinerja Garuda Stall! Dari Untung Rp57 Triliun, Jadi Tekor Rp1,14 Triliun
Rabu, 02 Agustus 2023 - 09:54 WIB
JAKARTA - Maskapai penerbangan nasional PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) membukukan rugi bersih senilai USD76,5 juta pada semester I-2023. Realisasi itu setara Rp1,14 triliun (kurs Rp15.026).
Kinerja GIAA berbalik dari posisi laba yang dicapai pada periode yang sama tahun lalu sebesar USD3,76 miliar atau Rp57 triliun. "Perseroan mencetak rugi per saham dasar senilai USD0,0029 dari sebelumnya laba per saham USD0,14350," demikian mengutip laporan keuangan, Rabu (2/8/2023).
Penurunan performa bottomline terjadi meskipun pendapatan usaha GIAA meningkat 58,84%yoy mencapai USD1,39 miliar atau setara Rp20,97 triliun. Kontribusi tiket penerbangan berjadwal mendominasi sebesar USD1,01 miliar, disusul kargo dan dokumen sebanyak USD83,46 juta.
GIAA juga mendapat pemasukan dari penerbangan haji dan charter mencapai USD142,45 juta, meningkat dari paruh pertama tahun lalu di angka USD87,57 juta. Bisnis lain-lain yang mencakup pemeliharaan pesawat, biro perjalanan, jasa boga, hotel, hingga transportasi memberi pemasukan USD151,37 juta, naik dari sebelumnya USD113,83 juta.
Pos beban operasional GIAA ikut terdongkrak mencapai USD729,49 juta, yang dikontribusikan karena terdapat kenaikan ongkos bahan bakar, hingga gaji karyawan. Di sisi lain, beban bandara tampak masih mengikat perseroan, yang berasal dari biaya pelayanan pesawat dan penerbangan mencapai USD82,9 juta, kemudian beban tiket, penjualan, dan promosi yang naik di angka USD97,69 juta.
Serangkaian beban yang menggunung membuat maskapai pelat merah ini menanggung rugi sebelum pajak senilai USD109,56 juta, alias berbalik dari posisi laba sebelum pajak pada tengah tahun lalu di angka USD4 miliar.
Dari sisi neraca, jumlah aset GIIA per akhir Juni 2023 masih terjaga di kisaran USD6,2 miliar. Utang (liabilitas) tumbuh 1,5% mencapai USD7,89 miliar, sehingga mengalami defisiensi modal bersih senilai USD1,61 miliar, bengkak secara tahunan.
Hingga 30 Juni 2023, kas yang digenggam GIAA mencapai USD428,11 juta, berkurang sekitar USD110 juta sejak awal tahun. Selain karena berkurangnya kas dari aktivitas operasional, terdapat pengeluaran untuk aset pemeliharaan dan sewa pesawat, hingga alokasi untuk dana cadangannya.
Kinerja GIAA berbalik dari posisi laba yang dicapai pada periode yang sama tahun lalu sebesar USD3,76 miliar atau Rp57 triliun. "Perseroan mencetak rugi per saham dasar senilai USD0,0029 dari sebelumnya laba per saham USD0,14350," demikian mengutip laporan keuangan, Rabu (2/8/2023).
Penurunan performa bottomline terjadi meskipun pendapatan usaha GIAA meningkat 58,84%yoy mencapai USD1,39 miliar atau setara Rp20,97 triliun. Kontribusi tiket penerbangan berjadwal mendominasi sebesar USD1,01 miliar, disusul kargo dan dokumen sebanyak USD83,46 juta.
GIAA juga mendapat pemasukan dari penerbangan haji dan charter mencapai USD142,45 juta, meningkat dari paruh pertama tahun lalu di angka USD87,57 juta. Bisnis lain-lain yang mencakup pemeliharaan pesawat, biro perjalanan, jasa boga, hotel, hingga transportasi memberi pemasukan USD151,37 juta, naik dari sebelumnya USD113,83 juta.
Pos beban operasional GIAA ikut terdongkrak mencapai USD729,49 juta, yang dikontribusikan karena terdapat kenaikan ongkos bahan bakar, hingga gaji karyawan. Di sisi lain, beban bandara tampak masih mengikat perseroan, yang berasal dari biaya pelayanan pesawat dan penerbangan mencapai USD82,9 juta, kemudian beban tiket, penjualan, dan promosi yang naik di angka USD97,69 juta.
Serangkaian beban yang menggunung membuat maskapai pelat merah ini menanggung rugi sebelum pajak senilai USD109,56 juta, alias berbalik dari posisi laba sebelum pajak pada tengah tahun lalu di angka USD4 miliar.
Dari sisi neraca, jumlah aset GIIA per akhir Juni 2023 masih terjaga di kisaran USD6,2 miliar. Utang (liabilitas) tumbuh 1,5% mencapai USD7,89 miliar, sehingga mengalami defisiensi modal bersih senilai USD1,61 miliar, bengkak secara tahunan.
Hingga 30 Juni 2023, kas yang digenggam GIAA mencapai USD428,11 juta, berkurang sekitar USD110 juta sejak awal tahun. Selain karena berkurangnya kas dari aktivitas operasional, terdapat pengeluaran untuk aset pemeliharaan dan sewa pesawat, hingga alokasi untuk dana cadangannya.
(uka)
tulis komentar anda