Ramalan Ekonomi Dunia Gelap Kembali Mencuat, Ini Alasannya
Minggu, 06 Agustus 2023 - 11:15 WIB
JAKARTA - Ramalan tentang ekonomi dunia menjadi gelap atau krisis di 2023 kembali mencuat. Ramalan ini ramai diperbincangkan usai Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkitnya kembali dalam acara penyerahan insentif fiskal beberapa waktu lalu.
"Di 2023 ekonomi dunia gelap gulita karena pertumbuhannya diprediksi hanya 2,1%, turun drastis dari pertumbuhan tahun sebelumnya yang 6,3%," ucap Sri kala itu, dikutip di Jakarta, Minggu (6/8/2023).
Karena prediksi pertumbuhan ekonomi ini, maka diperkirakan banyak negara juga akan mengalami resesi. Bahkan, perdagangan dunia di tahun 2023 juga sedang berada dalam titik terendah.
"Namun kalau kita lihat, pertumbuhan perdagangan dunia ini at the lowest point, paling rendah hanya 2,0%. Tahun 2021 pertumbuhan perdagangan global mencapai 10,7%," ungkap Sri.
Dia mengatakan, kalau dunia tidak saling berdagang, pasti ada bagian dunia yang membutuhkan barang atau jasa tapi tidak mendapatkannya, dan kemudian akan mendorong harga-harga menjadi naik. Inilah yang kemudian menjadi alasan disrupsi yang terjadi, baik dari sisi supply maupun perdagangan serta dari sisi distribusi akan sangat menentukan inflasi.
"Inflasi tertinggi terjadi di tahun 2022, seluruh dunia mengalami kenaikan yang sangat tinggi, inflasinya di 8,7% dari yang tadinya 0%, atau mendekati 0. Negara maju, bahkan beberapa di antaranya mengalami deflasi namun kemudian melonjak menjadi 7,3%," tambah Sri.
Kondisi itu menggerus daya beli, dan berdampak pada permintaan yang menurun, kegiatan produksi pun juga akan mulai menurun. Melihat indikator PMI Manufaktur di Juni 2023, mayoritas sebesar 61,9% dari negara G20 dan ASEAN-6 mengalami kontraksi, di antaranya adalah AS, Eropa, Jerman, Prancis, Inggris, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Vietnam, Italia, Brazil, Afrika Selatan, dan Singapura.
Sebanyak 23,8% yang ekspansinya melambat, antara lain China, Thailand, Filipina, India, dan Rusia. Kemudian hanya 14,3% yang mengalami ekspansi dan akselerasi, yaitu Indonesia, Turki, dan Meksiko.
"Ini yang kontraksi negara-negara besar, bahkan negara tetangga kita Malaysia dan Vietnam juga kontraktif. Ini yang menggambarkan bahwa dampak pelemahan ekonomi global akibat termasuk salah satunya inflasi yang menggerus daya beli itu sangat besar," pungkas Sri.
"Di 2023 ekonomi dunia gelap gulita karena pertumbuhannya diprediksi hanya 2,1%, turun drastis dari pertumbuhan tahun sebelumnya yang 6,3%," ucap Sri kala itu, dikutip di Jakarta, Minggu (6/8/2023).
Karena prediksi pertumbuhan ekonomi ini, maka diperkirakan banyak negara juga akan mengalami resesi. Bahkan, perdagangan dunia di tahun 2023 juga sedang berada dalam titik terendah.
"Namun kalau kita lihat, pertumbuhan perdagangan dunia ini at the lowest point, paling rendah hanya 2,0%. Tahun 2021 pertumbuhan perdagangan global mencapai 10,7%," ungkap Sri.
Dia mengatakan, kalau dunia tidak saling berdagang, pasti ada bagian dunia yang membutuhkan barang atau jasa tapi tidak mendapatkannya, dan kemudian akan mendorong harga-harga menjadi naik. Inilah yang kemudian menjadi alasan disrupsi yang terjadi, baik dari sisi supply maupun perdagangan serta dari sisi distribusi akan sangat menentukan inflasi.
"Inflasi tertinggi terjadi di tahun 2022, seluruh dunia mengalami kenaikan yang sangat tinggi, inflasinya di 8,7% dari yang tadinya 0%, atau mendekati 0. Negara maju, bahkan beberapa di antaranya mengalami deflasi namun kemudian melonjak menjadi 7,3%," tambah Sri.
Kondisi itu menggerus daya beli, dan berdampak pada permintaan yang menurun, kegiatan produksi pun juga akan mulai menurun. Melihat indikator PMI Manufaktur di Juni 2023, mayoritas sebesar 61,9% dari negara G20 dan ASEAN-6 mengalami kontraksi, di antaranya adalah AS, Eropa, Jerman, Prancis, Inggris, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Vietnam, Italia, Brazil, Afrika Selatan, dan Singapura.
Sebanyak 23,8% yang ekspansinya melambat, antara lain China, Thailand, Filipina, India, dan Rusia. Kemudian hanya 14,3% yang mengalami ekspansi dan akselerasi, yaitu Indonesia, Turki, dan Meksiko.
"Ini yang kontraksi negara-negara besar, bahkan negara tetangga kita Malaysia dan Vietnam juga kontraktif. Ini yang menggambarkan bahwa dampak pelemahan ekonomi global akibat termasuk salah satunya inflasi yang menggerus daya beli itu sangat besar," pungkas Sri.
(uka)
Lihat Juga :
tulis komentar anda