Dampak Fenomena Downtrading terhadap Penerimaan Negara
Minggu, 13 Agustus 2023 - 15:48 WIB
JAKARTA - Peralihan konsumsi dari rokok golongan 1 yang mahal ke rokok yang lebih murah (downtrading) dipercaya akan merugikan penerimaan negara dan program pengendalian konsumsi. Downtrading telah terbukti menjadi penyebab utama anjloknya penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) sepanjang setengah tahun pertama 2023 dan menghambat upaya pengendalian konsumsi rokok.
Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) mencapai Rp102,38 triliun di semester 1-2023, turun 12,61% dibandingkan periode yang sama tahun 2022. Peralihan konsumsi telah berimbas pada penurunan jumlah produksi rokok golongan I, terutama segmen rokok mesin baik sigaret kretek mesin (SKM) maupun sigaret putih mesin (SPM) yang cukainya lebih tinggi. Sebaliknya, produksi rokok golongan II dan III yang cukainya lebih rendah meningkat.
Rektor Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan Jakarta Mukhaer Pakkana menegaskan, downtrading akan terus menggerus penerimaan negara karena jarak tarif cukai rokok yang lebar dan strukturnya yang berlapis. Perpindahan konsumsi, kata dia, bisa mengarah pada maraknya peredaran rokok murah dari golongan dengan tarif CHT yang lebih rendah.
"Adanya sistem cukai yang berlapis mengakibatkan kenaikan tarif yang berbeda pada tiap jenis dan golongan rokok. Kesenjangan jarak menjadikan peralihan konsumsi dari golongan I ke golongan II semakin marak. Dan tentunya dengan adanya perpindahan konsumsi rokok ke golongan dengan tarif CHT lebih kecil, penerimaan negara akan berkurang," ujarnya.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/2022 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau menetapkan kenaikan tarif CHT sebesar 10% untuk 2023 dan 2024. Saat ini selisih tarif dan harga jual eceran (HJE) rokok mesin golongan I dan II sangat lebar. Tarif cukai SKM golongan I tercatat Rp1.101 per batang dengan HJE paling rendah Rp2.055 per batang.
Sementara tarif cukai SKM golongan II hanya Rp669 per batang dengan HJE Rp1.255 per batang. Artinya, SKM golongan I dengan golongan II memiliki gap tarif cukai Rp432 per batang dan HJE Rp800 per batang.
Gap lebih besar bahkan terjadi pada SPM di mana tarif cukai golongan I tercatat Rp1.193 per batang dengan HJE Rp2.165 per batang. Sementara tarif cukai SKM golongan II hanya Rp710 per batang dengan HJE Rp1.295 per batang. Sehingga, SPM golongan I dengan golongan II memiliki gap tarif cukai Rp483 per batang dan HJE Rp870 per batang.
Secara khusus, Mukhaer juga menyoroti peralihan konsumsi rokok yang lebih banyak terjadi antargolongan pada jenis rokok yang sama dibandingkan dengan jenis rokok yang berbeda. Dia mencontohkan, peralihan konsumsi rokok SKM dan SPM golongan I ke rokok SKM dan SPM golongan II yang kesenjangan tarifnya besar dan harganya lebih murah.
“Kondisi ini perlu diperhatikan, terutama bila perpindahan konsumsi rokok dalam satu jenis terjadi secara massif karena akan berpotensi mengurangi penerimaan CHT secara lebih signifikan. Selisih tarif ini bisa diatasi dengan dihapuskannya golongan. Penentuan cukai cukup berdasarkan jenisnya SKM, SKT, dan SPM," ungkapnya.
Baca Juga
Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) mencapai Rp102,38 triliun di semester 1-2023, turun 12,61% dibandingkan periode yang sama tahun 2022. Peralihan konsumsi telah berimbas pada penurunan jumlah produksi rokok golongan I, terutama segmen rokok mesin baik sigaret kretek mesin (SKM) maupun sigaret putih mesin (SPM) yang cukainya lebih tinggi. Sebaliknya, produksi rokok golongan II dan III yang cukainya lebih rendah meningkat.
Rektor Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan Jakarta Mukhaer Pakkana menegaskan, downtrading akan terus menggerus penerimaan negara karena jarak tarif cukai rokok yang lebar dan strukturnya yang berlapis. Perpindahan konsumsi, kata dia, bisa mengarah pada maraknya peredaran rokok murah dari golongan dengan tarif CHT yang lebih rendah.
"Adanya sistem cukai yang berlapis mengakibatkan kenaikan tarif yang berbeda pada tiap jenis dan golongan rokok. Kesenjangan jarak menjadikan peralihan konsumsi dari golongan I ke golongan II semakin marak. Dan tentunya dengan adanya perpindahan konsumsi rokok ke golongan dengan tarif CHT lebih kecil, penerimaan negara akan berkurang," ujarnya.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/2022 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau menetapkan kenaikan tarif CHT sebesar 10% untuk 2023 dan 2024. Saat ini selisih tarif dan harga jual eceran (HJE) rokok mesin golongan I dan II sangat lebar. Tarif cukai SKM golongan I tercatat Rp1.101 per batang dengan HJE paling rendah Rp2.055 per batang.
Sementara tarif cukai SKM golongan II hanya Rp669 per batang dengan HJE Rp1.255 per batang. Artinya, SKM golongan I dengan golongan II memiliki gap tarif cukai Rp432 per batang dan HJE Rp800 per batang.
Gap lebih besar bahkan terjadi pada SPM di mana tarif cukai golongan I tercatat Rp1.193 per batang dengan HJE Rp2.165 per batang. Sementara tarif cukai SKM golongan II hanya Rp710 per batang dengan HJE Rp1.295 per batang. Sehingga, SPM golongan I dengan golongan II memiliki gap tarif cukai Rp483 per batang dan HJE Rp870 per batang.
Secara khusus, Mukhaer juga menyoroti peralihan konsumsi rokok yang lebih banyak terjadi antargolongan pada jenis rokok yang sama dibandingkan dengan jenis rokok yang berbeda. Dia mencontohkan, peralihan konsumsi rokok SKM dan SPM golongan I ke rokok SKM dan SPM golongan II yang kesenjangan tarifnya besar dan harganya lebih murah.
“Kondisi ini perlu diperhatikan, terutama bila perpindahan konsumsi rokok dalam satu jenis terjadi secara massif karena akan berpotensi mengurangi penerimaan CHT secara lebih signifikan. Selisih tarif ini bisa diatasi dengan dihapuskannya golongan. Penentuan cukai cukup berdasarkan jenisnya SKM, SKT, dan SPM," ungkapnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda