Pemanfaatan Panas Bumi di Indonesia Belum Optimal, Ini 3 Penyebabnya!
Senin, 23 Oktober 2023 - 17:44 WIB
JAKARTA - Pemanfaatan panas bumi di Indonesia belum optimal dilakukan.Padahal, potensi cadangan panas bumi di Indonesia merupakan yang terbesar ketiga di Indonesia. Pengamat energi UGM Fahmi Radhi mengatakan ada tiga masalah yang menjadi penghambat pemanfaatan panas bumi di Indonesia.
"Pemanfaatan panas bumi di Indonesia belum optimal dimanfaatkan, saya mengamati ada beberapa hambatan," ujar Fahmi Radhi, Senin (23/10). Menurut Fahmi hambatan yang pertama adalah perizinan. Meski pemerintah telah menetapkan perizinan satu pintu, tetapi fakta lapangan memperlihatkan masih ada berbagai kendala, terutama terkait dengan pembebasan lahan, padahal kebanyakan proyek PLTP adalah proyek strategis nasional (PSN) yg diatur pembebasan lahannya lewat UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Kedua, hambatan dari segi infrastruktur.Fahmi menguraikan bahwa biasanya panas bumi berada di daerah pegunungan, hutan, dan area terpencil. Namun, tidak ada akses yang baik untuk menuju ke wilayah tersebut."Beberapa investor membangun sendiri operasionalnya. Jadi, besar di sana sehingga kurang nilai keekonomiannya," ucap Fahmi.
Yang ketiga adalah risiko eksplorasi panas bumi cukup tinggi."Risiko tidak memperolehnya ada, meski pun secara geologis ada sumber dayanya tetapi ternyata setelah dilakukan eksplorasi tidak seperti yang diperhuitungkan dan itu menyebabkan belum dimanfaatkan secara optimal," bebernya.
Oleh karena itu, setidaknya dukungan pemerintah dibutuhkan untuk mengurai masalah tersebut."Karena jenis usahanya termasuk berisiko tinggi, maka Pemerintah sangat disarankan untuk memberikan insentif seperti tax holiday dan lainnya," ujarnya.
Fahmi menyebut tingkat ketidakpastian yang sangat tinggi di fase awal proyek terkadang membuat calon investor berfikir ulang.Sebab, kebanyakan dari proyek yang dilelang sebagai WKP hanya didasarkan pada data Pemerintah yg memiliki keterbatasan sumber daya dan teknologi, sehingga seringkali harus disurvei ulang oleh calon developer.
"Jadi di depan sudah keluar biaya banyak, sementara potensi belum kelihatan secara pasti, sehingga membutuhkan risk analysis yang sangat robust serta skema pembiayaan atau bankability yang bisa menjamin kelangsungan proyek," ucap Fahmi.
Di sisi lain regulasi yang seringkali berubah, sehingga calon pengembang kesulitan untuk menghitung keekonomian proyek, karena terkadang harga tarif listrik yg telah disepakati di saat menang tender, ternyata masih bisa diminta dikurangi lagi.
"Pemanfaatan panas bumi di Indonesia belum optimal dimanfaatkan, saya mengamati ada beberapa hambatan," ujar Fahmi Radhi, Senin (23/10). Menurut Fahmi hambatan yang pertama adalah perizinan. Meski pemerintah telah menetapkan perizinan satu pintu, tetapi fakta lapangan memperlihatkan masih ada berbagai kendala, terutama terkait dengan pembebasan lahan, padahal kebanyakan proyek PLTP adalah proyek strategis nasional (PSN) yg diatur pembebasan lahannya lewat UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Kedua, hambatan dari segi infrastruktur.Fahmi menguraikan bahwa biasanya panas bumi berada di daerah pegunungan, hutan, dan area terpencil. Namun, tidak ada akses yang baik untuk menuju ke wilayah tersebut."Beberapa investor membangun sendiri operasionalnya. Jadi, besar di sana sehingga kurang nilai keekonomiannya," ucap Fahmi.
Yang ketiga adalah risiko eksplorasi panas bumi cukup tinggi."Risiko tidak memperolehnya ada, meski pun secara geologis ada sumber dayanya tetapi ternyata setelah dilakukan eksplorasi tidak seperti yang diperhuitungkan dan itu menyebabkan belum dimanfaatkan secara optimal," bebernya.
Oleh karena itu, setidaknya dukungan pemerintah dibutuhkan untuk mengurai masalah tersebut."Karena jenis usahanya termasuk berisiko tinggi, maka Pemerintah sangat disarankan untuk memberikan insentif seperti tax holiday dan lainnya," ujarnya.
Fahmi menyebut tingkat ketidakpastian yang sangat tinggi di fase awal proyek terkadang membuat calon investor berfikir ulang.Sebab, kebanyakan dari proyek yang dilelang sebagai WKP hanya didasarkan pada data Pemerintah yg memiliki keterbatasan sumber daya dan teknologi, sehingga seringkali harus disurvei ulang oleh calon developer.
"Jadi di depan sudah keluar biaya banyak, sementara potensi belum kelihatan secara pasti, sehingga membutuhkan risk analysis yang sangat robust serta skema pembiayaan atau bankability yang bisa menjamin kelangsungan proyek," ucap Fahmi.
Di sisi lain regulasi yang seringkali berubah, sehingga calon pengembang kesulitan untuk menghitung keekonomian proyek, karena terkadang harga tarif listrik yg telah disepakati di saat menang tender, ternyata masih bisa diminta dikurangi lagi.
Lihat Juga :
tulis komentar anda