Imbas Gejolak Timur Tengah, Subsidi BBM Bisa Bikin Pusing Pemerintah Baru
Senin, 15 April 2024 - 16:51 WIB
JAKARTA - Eskalasi konflik di Timur Tengah pascaserangan Iran ke Israel dinilai akan berimbas pada naiknya harga minyak dunia . Hal itu dipastikan akan ikut berdampak pada perekonomian Indonesia, khususnya pada kenaikan inflasi.
Hal itu diutarakan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis FEB UI Mari Elka Pangestu dalam webinar bertema "Ngobrol Seru Dampak Konflik Iran-Israel ke Ekonomi RI", Senin (15/4/2024). Mari mengatakan, sebelum serangan Iran ke Israel pun tensi di Timur Tengah sudah berdampak pada kenaikan harga minyak akibat antisipasi para pelaku pasar.
"Nah sesudah ada serangan, diperkirakan harga minyak akan makin naik, inflasi juga akan meningkat. Ada yang mempunyai pandangan bahwa ini mungkin Iran sengaja melakukan ini untuk mengganggu keadaan dunia. Terutama dampaknya kepada Amerika, karena dengan naiknya harga minyak, inflasi akan naik dan itu akan sangat mengganggu ekonomi Amerika," papar Mari Elka dalam webinar tersebut.
Namun, lanjut dia, konflik yang terjadi antara Iran dan Israel ini juga akan memunculkan tantangan besar bagi Indonesia, khususnya bagi pemerintahan yang baru. Sebab, apabila terjadi eskalasi konflik, maka pemerintah akan dihadapkan pada meningkatnya ketidakpastian yang berkaitan dengan anggaran dan tantangan fiskal.
Dilema subsidi bahan bakar minyak (BBM), tegad dia, akan semakin mengemuka. Pengelolaan subsidi BBM menurutnya akan menjadi penting, dengan potensi untuk mengurangi subsidi untuk menghadapi peningkatan defisit anggaran. Hal ini menurutnya menjadi tantangan besar bagi presiden terpilih Indonesia yang akan memasuki masa jabatan dalam enam bulan ke depan.
"Nah ini pemerintah yang baru, masih 6 bulan lagi, banyak hal-hal bisa terjadi dalam 6 bulan itu. Tapi kalau terjadi eskalasi, pemerintah baru yang akan masuk di bulan Oktober akan mengalami ketidakpastian yang tinggi, harga minyak yang tinggi," tuturnya. Mari berpendapat, jika kenaikan harga minyak tak terelakkan, maka mengurangi subsidi BBM mungkin perlu dilakukan. "Timbul dilema lagi mengenai harga minyak, mengenai subsidi BBM," tandasnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengakui harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) berpotensi menyentuh angka USD100 per barel pascaserangan Iran ke Israel.
Tutuka menjelaskan, sebelum konflik kedua negara Timur Tengah itu pecah, yakni pada Februari 2024, harga minyak mentah sudah menunjukkan tren kenaikan kurang lebih USD5 per barel setiap bulannya. "Jadi dengan adanya konflik baru Iran dengan Israel, ini sebetulnya tidak jauh dari angka USD100 per barel," ujarnya.
Kendati demikian Tutuka menilai, terkait dampak perang terhadap harga minyak ini akan berkelanjutan atau tidak, pemerintah masih menunggu reaksi dari Israel dan Amerika yang hingga kini memang belum mengeluarkan tanggapan apapun terhadap serangan tersebut.
"Saya katakan tadi sependapat kemungkinan besar harga ICP naik USD100. Tapi apakah berkelanjutan atau spike berhenti? Saya cenderung menunggu apa reaksi dari Israel dan Amerika terhadap konflik tersebut, jadi masih diskusi," tandasnya.
Hal itu diutarakan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis FEB UI Mari Elka Pangestu dalam webinar bertema "Ngobrol Seru Dampak Konflik Iran-Israel ke Ekonomi RI", Senin (15/4/2024). Mari mengatakan, sebelum serangan Iran ke Israel pun tensi di Timur Tengah sudah berdampak pada kenaikan harga minyak akibat antisipasi para pelaku pasar.
"Nah sesudah ada serangan, diperkirakan harga minyak akan makin naik, inflasi juga akan meningkat. Ada yang mempunyai pandangan bahwa ini mungkin Iran sengaja melakukan ini untuk mengganggu keadaan dunia. Terutama dampaknya kepada Amerika, karena dengan naiknya harga minyak, inflasi akan naik dan itu akan sangat mengganggu ekonomi Amerika," papar Mari Elka dalam webinar tersebut.
Namun, lanjut dia, konflik yang terjadi antara Iran dan Israel ini juga akan memunculkan tantangan besar bagi Indonesia, khususnya bagi pemerintahan yang baru. Sebab, apabila terjadi eskalasi konflik, maka pemerintah akan dihadapkan pada meningkatnya ketidakpastian yang berkaitan dengan anggaran dan tantangan fiskal.
Dilema subsidi bahan bakar minyak (BBM), tegad dia, akan semakin mengemuka. Pengelolaan subsidi BBM menurutnya akan menjadi penting, dengan potensi untuk mengurangi subsidi untuk menghadapi peningkatan defisit anggaran. Hal ini menurutnya menjadi tantangan besar bagi presiden terpilih Indonesia yang akan memasuki masa jabatan dalam enam bulan ke depan.
"Nah ini pemerintah yang baru, masih 6 bulan lagi, banyak hal-hal bisa terjadi dalam 6 bulan itu. Tapi kalau terjadi eskalasi, pemerintah baru yang akan masuk di bulan Oktober akan mengalami ketidakpastian yang tinggi, harga minyak yang tinggi," tuturnya. Mari berpendapat, jika kenaikan harga minyak tak terelakkan, maka mengurangi subsidi BBM mungkin perlu dilakukan. "Timbul dilema lagi mengenai harga minyak, mengenai subsidi BBM," tandasnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengakui harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) berpotensi menyentuh angka USD100 per barel pascaserangan Iran ke Israel.
Tutuka menjelaskan, sebelum konflik kedua negara Timur Tengah itu pecah, yakni pada Februari 2024, harga minyak mentah sudah menunjukkan tren kenaikan kurang lebih USD5 per barel setiap bulannya. "Jadi dengan adanya konflik baru Iran dengan Israel, ini sebetulnya tidak jauh dari angka USD100 per barel," ujarnya.
Kendati demikian Tutuka menilai, terkait dampak perang terhadap harga minyak ini akan berkelanjutan atau tidak, pemerintah masih menunggu reaksi dari Israel dan Amerika yang hingga kini memang belum mengeluarkan tanggapan apapun terhadap serangan tersebut.
"Saya katakan tadi sependapat kemungkinan besar harga ICP naik USD100. Tapi apakah berkelanjutan atau spike berhenti? Saya cenderung menunggu apa reaksi dari Israel dan Amerika terhadap konflik tersebut, jadi masih diskusi," tandasnya.
(fjo)
tulis komentar anda