Inflasi Medis Terus Naik, Ini yang Perlu Dilakukan Nasabah Asuransi
Rabu, 14 Agustus 2024 - 11:21 WIB
JAKARTA - Dana Moneter Internasional ( IMF ) mencatat, inflasi global turun dari 6,8% di tahun 2023 menjadi 5,9% di tahun 2024. Namun, tidak demikian dengan inflasi di sektor kesehatan yang terus meningkat didorong naiknya biaya bahan baku dan kemajuan teknologi yang mendongkrak harga rawat medis dan obat-obatan di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya.
Laporan riset Mercer Marsh Benefit (MMB) Health Trends 2024 yang diterbitkan oleh Mercer, salah satu firma konsultasi SDM terkemuka dunia, menyebut inflasi medis khususnya di Indonesia terus naik hingga 13%.
Kenaikan itu lebih tinggi dari proyeksi tren kenaikan biaya kesehatan di Asia yang sebesar 11,4%.
Menanggapi hal itu, financial advisor Andhika Diskartes mengatakan bahwa di tengah kondisi inflasi medis yang masih terus berlanjut, kepemilikan produk asuransi kesehatan justru menjadi lebih penting lagi. Sebab, kepemilikan produk asuransi kesehatan dapat membantu menjaga stabilitas keuangan diri dan keluarga dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi dan meningkatnya biaya medis.
Berdasarkan hasil Survei Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2023 yang dilakukan Badan Pusat Statistik, disebutkan bahwa 61,8% responden menggunakan layanan kesehatan dari kantong sendiri (OOP atau out of pocket). Padahal, WHO, merekomendasikan angka OOP tidak lebih dari 20% di suatu negara. OOP merupakan indikator untuk memastikan proteksi finansial masyarakat tetap terjaga dan mencegah pengeluaran kesehatan secara berlebihan karena sudah dilindungi oleh asuransi.
"Asuransi kesehatan memberikan perlindungan finansial yang sangat dibutuhkan ketika menghadapi risiko hidup seperti penyakit serius atau kecelakaan," ujarnya melalui keterangan tertulis, Rabu (14/8/2024).
Andhika mencontohkan, apabila seseorang sudah mengalokasikan Rp15 juta per tahun untuk asuransi kesehatan, maka di saat bersamaan dirinya telah meringankan beban jika sewaktu-waktu membutuhkan penanganan medis lewat klaim pertanggungan yang disepakati besaran maksimalnya. "Dengan kata lain, bisa terhindar dari risiko menguras tabungan atau aset saat harus membayar beban biaya medis yang tinggi," jelasnya.
Di sisi lain, inflasi medis mendorong industri asuransi untuk menyesuaikan biaya asuransi atau premi (repricing) yang harus dibayarkan oleh nasabah. Penyesuaian ini merupakan hal lazim yang tidak hanya terjadi di industri kesehatan. Dalam industri asuransi, kata dia, repricing bukan sebatas reaksi terhadap meningkatnya risiko kesehatan yang berimbas pada klaim lebih tinggi, namun juga sebagai bentuk antisipasi terhadap inflasi medis yang cenderung naik dari tahun ke tahun. "Tujuannya adalah memastikan nasabah asuransi kesehatan senantiasa mendapatkan perlindungan hingga ke masa depan," ujarnya.
Laporan riset Mercer Marsh Benefit (MMB) Health Trends 2024 yang diterbitkan oleh Mercer, salah satu firma konsultasi SDM terkemuka dunia, menyebut inflasi medis khususnya di Indonesia terus naik hingga 13%.
Kenaikan itu lebih tinggi dari proyeksi tren kenaikan biaya kesehatan di Asia yang sebesar 11,4%.
Menanggapi hal itu, financial advisor Andhika Diskartes mengatakan bahwa di tengah kondisi inflasi medis yang masih terus berlanjut, kepemilikan produk asuransi kesehatan justru menjadi lebih penting lagi. Sebab, kepemilikan produk asuransi kesehatan dapat membantu menjaga stabilitas keuangan diri dan keluarga dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi dan meningkatnya biaya medis.
Berdasarkan hasil Survei Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2023 yang dilakukan Badan Pusat Statistik, disebutkan bahwa 61,8% responden menggunakan layanan kesehatan dari kantong sendiri (OOP atau out of pocket). Padahal, WHO, merekomendasikan angka OOP tidak lebih dari 20% di suatu negara. OOP merupakan indikator untuk memastikan proteksi finansial masyarakat tetap terjaga dan mencegah pengeluaran kesehatan secara berlebihan karena sudah dilindungi oleh asuransi.
"Asuransi kesehatan memberikan perlindungan finansial yang sangat dibutuhkan ketika menghadapi risiko hidup seperti penyakit serius atau kecelakaan," ujarnya melalui keterangan tertulis, Rabu (14/8/2024).
Andhika mencontohkan, apabila seseorang sudah mengalokasikan Rp15 juta per tahun untuk asuransi kesehatan, maka di saat bersamaan dirinya telah meringankan beban jika sewaktu-waktu membutuhkan penanganan medis lewat klaim pertanggungan yang disepakati besaran maksimalnya. "Dengan kata lain, bisa terhindar dari risiko menguras tabungan atau aset saat harus membayar beban biaya medis yang tinggi," jelasnya.
Di sisi lain, inflasi medis mendorong industri asuransi untuk menyesuaikan biaya asuransi atau premi (repricing) yang harus dibayarkan oleh nasabah. Penyesuaian ini merupakan hal lazim yang tidak hanya terjadi di industri kesehatan. Dalam industri asuransi, kata dia, repricing bukan sebatas reaksi terhadap meningkatnya risiko kesehatan yang berimbas pada klaim lebih tinggi, namun juga sebagai bentuk antisipasi terhadap inflasi medis yang cenderung naik dari tahun ke tahun. "Tujuannya adalah memastikan nasabah asuransi kesehatan senantiasa mendapatkan perlindungan hingga ke masa depan," ujarnya.
tulis komentar anda