Jaga Daya Beli Kelas Menengah Kunci Stabilkan Pertumbuhan Ekonomi
Selasa, 10 September 2024 - 08:22 WIB
JAKARTA - Menjaga daya beli masyarakat kelas menengah merupakan kunci untuk menjaga pertumbuhan ekonomi domestik, bahkan juga perekonomian global. Hal itu ditegaskan Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Ferry Irawan dalam Forum Diskusi Merdeka Barat 9 dengan tema "Satu Dekade Membangun Indonesia Maju", Senin (9/9).
"Kelas menengah merupakan engine pertumbuhan ekonomi, baik secara nasional maupun global. Kita akan memperhatikan kelas menengah ini dengan serius. Kelas menengah, khususnya di Asia, akan menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi global," ujar Ferry dalam paparannya.
Ferry menjelaskan, strategi pemerintah dalam menjaga daya beli kelas menengah didasarkan pada pemahaman yang mendalam terkait dua hal, yakni profil konsumsi dan karakteristik pekerjaan. Konsumsi kelas menengah mencakup kebutuhan penting seperti pendidikan, perumahan, bahan makanan, transportasi, hingga hiburan. Oleh karena itu, kata dia, kebijakan yang dirancang tidak hanya bertujuan mendukung kebutuhan dasar, tetapi juga kebutuhan sekunder yang menjadi bagian dari gaya hidup kelas menengah.
Sedangkan dari karakteristik pekerjaan, Ferry menjelaskan, kelas menengah di Indonesia sebagian besar bekerja di sektor formal dan wirausaha. Karenanya, pemerintah telah meningkatkan berbagai insentif bagi perusahaan yang awalnya 50% menjadi 100%. Sementara bagi wirausaha, pemerintah memperkuat program pendampingan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dan memperluas akses pembiayaan, seperti melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang telah mencapai Rp280 triliun.
Selain itu, program kompensasi finansial dan dukungan pelatihan bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan juga menjadi fokus utama pemerintah. Dengan subsidi pada beberapa kebutuhan kelas menengah, pemerintah berharap dapat menjaga daya beli mereka dan menjadikan kelas menengah sebagai pilar utama dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Kendati demikian, imbuh Ferry, pemerintah tidak melupakan masyarakat kelas bawah. Berbagai program bantuan sosial terus diperkuat untuk memastikan bahwa seluruh lapisan masyarakat tetap memiliki daya beli yang cukup.
Pemerintah juga gencar melakukan berbagai strategi dalam menjaga stabilitas perekonomian nasional, terutama untuk menghadapi tantangan eksternal yang silih berganti. Ferry mengingatkan, salah satu tantangan eksternal yang pernah dialami adalah isu perlambatan ekonomi China pada 2016. China merupakan tujuan utama ekspor Indonesia dengan porsi sekitar 20%. Apa yang terjadi di China, kata dia, secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi ekonomi nasional, termasuk dalam hal investasi.
Kemudian, pada periode 2017-2019, ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan China yang semakin meningkat juga memberikan tekanan pada perekonomian global. Puncaknya, pada 2020, pandemi COVID-19 melanda dunia, menyebabkan pembatasan aktivitas yang berdampak besar pada perekonomian.
Kini, lanjut dia, dunia kembali dihadapkan pada konflik geopolitik Rusia-Ukraina dan kebijakan moneter ketat di negara-negara maju. Namun demikian, di tengah tekanan-tekanan tersebut, tegas Ferry, perekonomian Indonesia masih mampu tumbuh sekitar 5%.
"Kelas menengah merupakan engine pertumbuhan ekonomi, baik secara nasional maupun global. Kita akan memperhatikan kelas menengah ini dengan serius. Kelas menengah, khususnya di Asia, akan menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi global," ujar Ferry dalam paparannya.
Ferry menjelaskan, strategi pemerintah dalam menjaga daya beli kelas menengah didasarkan pada pemahaman yang mendalam terkait dua hal, yakni profil konsumsi dan karakteristik pekerjaan. Konsumsi kelas menengah mencakup kebutuhan penting seperti pendidikan, perumahan, bahan makanan, transportasi, hingga hiburan. Oleh karena itu, kata dia, kebijakan yang dirancang tidak hanya bertujuan mendukung kebutuhan dasar, tetapi juga kebutuhan sekunder yang menjadi bagian dari gaya hidup kelas menengah.
Sedangkan dari karakteristik pekerjaan, Ferry menjelaskan, kelas menengah di Indonesia sebagian besar bekerja di sektor formal dan wirausaha. Karenanya, pemerintah telah meningkatkan berbagai insentif bagi perusahaan yang awalnya 50% menjadi 100%. Sementara bagi wirausaha, pemerintah memperkuat program pendampingan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dan memperluas akses pembiayaan, seperti melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang telah mencapai Rp280 triliun.
Selain itu, program kompensasi finansial dan dukungan pelatihan bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan juga menjadi fokus utama pemerintah. Dengan subsidi pada beberapa kebutuhan kelas menengah, pemerintah berharap dapat menjaga daya beli mereka dan menjadikan kelas menengah sebagai pilar utama dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Kendati demikian, imbuh Ferry, pemerintah tidak melupakan masyarakat kelas bawah. Berbagai program bantuan sosial terus diperkuat untuk memastikan bahwa seluruh lapisan masyarakat tetap memiliki daya beli yang cukup.
Pemerintah juga gencar melakukan berbagai strategi dalam menjaga stabilitas perekonomian nasional, terutama untuk menghadapi tantangan eksternal yang silih berganti. Ferry mengingatkan, salah satu tantangan eksternal yang pernah dialami adalah isu perlambatan ekonomi China pada 2016. China merupakan tujuan utama ekspor Indonesia dengan porsi sekitar 20%. Apa yang terjadi di China, kata dia, secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi ekonomi nasional, termasuk dalam hal investasi.
Kemudian, pada periode 2017-2019, ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan China yang semakin meningkat juga memberikan tekanan pada perekonomian global. Puncaknya, pada 2020, pandemi COVID-19 melanda dunia, menyebabkan pembatasan aktivitas yang berdampak besar pada perekonomian.
Kini, lanjut dia, dunia kembali dihadapkan pada konflik geopolitik Rusia-Ukraina dan kebijakan moneter ketat di negara-negara maju. Namun demikian, di tengah tekanan-tekanan tersebut, tegas Ferry, perekonomian Indonesia masih mampu tumbuh sekitar 5%.
(fjo)
tulis komentar anda