Duh! Nasib Produksi Minyak Tahun Depan Diramal Kecipak-Kecipuk
Jum'at, 16 Oktober 2020 - 07:15 WIB
JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong mengatakan, kondisi sektor hulu migas saat ini telah terjadi penurunan dalam beberapa tahun tahun akhir. Penurunan investasi khususnya kegiatan eksplorasi sudah terjadi dari 10 tahun yang lalu. Apalagi di tahun 2020 akibat pandemi Covid-19 membuat harga minyak turun drastis sehingga banyak investasi yang ditunda.
"Penurunan produksi minyak sudah mulai terasa dan akan lebih terasa lagi tahun depan. Penurunan yang terus menerus dari produksi ini harus diubah dengan cara melakukan eksplorasi yang masif," ujarnya dalam acara webinar, Kamis (15/10/2020).
Marjolijn melanjutkan, dibutuhkan upaya untuk meningkatkan daya saing industri migas Indonesia dan perubahan fokus industri ini dari sumber pendapatan negara menjadi penggerak perekonomian. Menurut dia, saat ini pemerintah sudah banyak melakukan perbaikan di sektor hulu migas namun masih dalam tata peraturan yang ada.
"Kita harus menerapkan startegi yang baru. Jadi yang tadinya hulu migas ini lebih difokuskan pada penerimaan negara maka harus diubah strateginya menjadi penggerak ekonomi. Artinya, harus dibuat policy yang jelas yang berpihak pada strategi itu," jelasnya.
Marjolijn menuturkan, sekitar 80% pengeluaran yang dilakukan aktivitas minyak dan gas akan mengalir kepada industri-industri penunjang. Perusahaan-perusahaan penunjang nantinya akan memberikan tambahan pajak baik dari perusahaan maupun pegawai yang akhirnya akan memberikan tambahan penerimaan pajak. Dengan begitu pergerakan ekonomi akan menjadi lebih baik. "Dengan mengubah strategi ini maka sebagian penerimaan negara akan lari ke investasi. Ini tidak mudah, karena itu perlu dilakukan perbaikan persepsi pengertian dari industri ini," tuturnya.
Pakar energi dari Center for Policy and Public Management (CPPM) Sekolah Bisnis & Manajemen (SBM) ITB Ahmad Yuniarto memaparkan, ada tiga kemungkinan skenario sektor hulu migas yang dihadapi Indonesia hingga tahun 2023, yaitu skenario Puting-Beliung, skenario Musim Barat, dan skenario Pancaroba.
Ketiga skenario tersebut menunjukkan iklim sektor hulu migas Indonesia yang dipengaruhi oleh dua faktor yakni pengelolaan pandemi dan konsolidasi industri. "Skenario Puting-Beliung adalah situasi ketika dampak pandemi tidak terkendali dan industri hulu migas tercerai-berai. Meskipun dampak pandemi dapat dikelola dengan efektif oleh pemerintah namun jika industri hulu migas jalan di tempat karena iklim investasi yang tidak kondusif, maka skenario yang mungkin terjadi adalah Musim Barat," jelasnya.
Menurut dia, harapan akan muncul untuk sektor migas ini dalam skenario Pancaroba, ketika dampak pandemi dapat dikelola secara efektif dan industri hulu migas mulai menata asa. "Dengan mengedepankan dampak ekonomi multiplier effect dari sektor ini dan bukan sekedar mengutamakan pendapatan negara," tandasnya.
"Penurunan produksi minyak sudah mulai terasa dan akan lebih terasa lagi tahun depan. Penurunan yang terus menerus dari produksi ini harus diubah dengan cara melakukan eksplorasi yang masif," ujarnya dalam acara webinar, Kamis (15/10/2020).
Marjolijn melanjutkan, dibutuhkan upaya untuk meningkatkan daya saing industri migas Indonesia dan perubahan fokus industri ini dari sumber pendapatan negara menjadi penggerak perekonomian. Menurut dia, saat ini pemerintah sudah banyak melakukan perbaikan di sektor hulu migas namun masih dalam tata peraturan yang ada.
"Kita harus menerapkan startegi yang baru. Jadi yang tadinya hulu migas ini lebih difokuskan pada penerimaan negara maka harus diubah strateginya menjadi penggerak ekonomi. Artinya, harus dibuat policy yang jelas yang berpihak pada strategi itu," jelasnya.
Marjolijn menuturkan, sekitar 80% pengeluaran yang dilakukan aktivitas minyak dan gas akan mengalir kepada industri-industri penunjang. Perusahaan-perusahaan penunjang nantinya akan memberikan tambahan pajak baik dari perusahaan maupun pegawai yang akhirnya akan memberikan tambahan penerimaan pajak. Dengan begitu pergerakan ekonomi akan menjadi lebih baik. "Dengan mengubah strategi ini maka sebagian penerimaan negara akan lari ke investasi. Ini tidak mudah, karena itu perlu dilakukan perbaikan persepsi pengertian dari industri ini," tuturnya.
Pakar energi dari Center for Policy and Public Management (CPPM) Sekolah Bisnis & Manajemen (SBM) ITB Ahmad Yuniarto memaparkan, ada tiga kemungkinan skenario sektor hulu migas yang dihadapi Indonesia hingga tahun 2023, yaitu skenario Puting-Beliung, skenario Musim Barat, dan skenario Pancaroba.
Ketiga skenario tersebut menunjukkan iklim sektor hulu migas Indonesia yang dipengaruhi oleh dua faktor yakni pengelolaan pandemi dan konsolidasi industri. "Skenario Puting-Beliung adalah situasi ketika dampak pandemi tidak terkendali dan industri hulu migas tercerai-berai. Meskipun dampak pandemi dapat dikelola dengan efektif oleh pemerintah namun jika industri hulu migas jalan di tempat karena iklim investasi yang tidak kondusif, maka skenario yang mungkin terjadi adalah Musim Barat," jelasnya.
Menurut dia, harapan akan muncul untuk sektor migas ini dalam skenario Pancaroba, ketika dampak pandemi dapat dikelola secara efektif dan industri hulu migas mulai menata asa. "Dengan mengedepankan dampak ekonomi multiplier effect dari sektor ini dan bukan sekedar mengutamakan pendapatan negara," tandasnya.
(nng)
tulis komentar anda