IHSG Diproyeksi Tembus 6.800 Tahun Depan, Simak Faktor Pendorongnya
Selasa, 01 Desember 2020 - 11:49 WIB
JAKARTA - Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW) memproyeksikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan berada pada level 6.800 pada tahun depan.
Budi Hikmat, Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management menyatakan ada beberapa faktor pendorong yang menyebabkan IHSG berpotensi di level tersebut pada tahun depan.
Pertama, penyaluran stimulus dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang telah mencapai 78%. Hal ini ditunjukkan dengan kenaikan jumlah uang beredar (M1 growth) sebesar 17,6% pada September 2020 lalu. Kondisi ini juga didukung dengan kenaikan harga komoditi.
Kedua, sinyal pertumbuhan kredit yang perlahan tumbuh. Meski pertumbuhan kredit di September hanya tumbuh 0,12%, angka ini masih positif dibandingkan pertumbuhan kredit pada kuartal II/2020 lalu. Bank Indonesia memproyeksi, pertumbuhan kredit di kuartal IV/2020 akan membaik dibandingkan kuartal sebelumnya. Hal ini karena saldo bersih tertimbang mencapai 57,6%, yang lebih tinggi dibanding kuartal III lalu sekitar 50,7%.
(Baca Juga : Waspada! Berita Buruk Covid, IHSG Bisa Rontok Lagi )
Bahana TCW yang merupakan bagian dari Holding BUMN Asuransi dan Penjaminan, Indonesia Financial Group (IFG), mencermati aliran dana asing telah masuk pada Oktober, dan kian meningkat pada bulan November. Hal ini mendorong penguatan rupiah, sehingga memberi keyakinan bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga 3,75%, dengan situasi inflasi yang terkendali dan current account defisit turun bahkan berpotensi surplus di kuartal III/2020.
Aliran dana asing ini didorong dari terpilihnya Joe Bidden sebagai Presiden AS yang memberi harapan adanya perubahan pada sejumlah kebijakan yang mendorong rotasi investasi ke negara berkembang. Perlu diketahui, sejak tahun 2008, stimulus telah memperkuat ekonomi negeri Paman Sam ini sendirian. Hal ini menyebabkan investor asing relatif malas ke negara berkembang. Hal ini terlihat dari pergerakan IHSG yang underperform selama 10 tahun.
“Melihat beberapa indikator tersebut, kami melihat pasar obligasi dan saham berpotensi menguat, sebagai wadah dari investasi asing yang masuk. Adapun, jika yield obligasi turun, kita menargetkan investasi di pasar saham yang meningkat karena proyeksi imbal hasil yang lebih bagus,” ungkap Budi Hikmat dalam keterangan pers, Selasa (1/12/2020).
(Baca Juga : Analis: Kebijakan OJK-BEI Efektif Atasi Tekanan di Pasar Saham )
Sepanjang bulan November, IHSG telah menguat 12,77% dan telah berada pada level 5.783. Meski demikian, IHSG masih belum berada di level pada awal tahun, saat di level 6.323.
Budi berpendapat, IHSG masih berpotensi naik di tahun 2021. Rupiah juga berpotensi berada di bawah level 14.000 pada akhir tahun. Hal ini didukung dengan sentimen-sentimen perbaikan ekonomi Indonesia tahun depan, dan harapan akan vaksin yang mulai didistribusikan.
Budi Hikmat, Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management menyatakan ada beberapa faktor pendorong yang menyebabkan IHSG berpotensi di level tersebut pada tahun depan.
Pertama, penyaluran stimulus dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang telah mencapai 78%. Hal ini ditunjukkan dengan kenaikan jumlah uang beredar (M1 growth) sebesar 17,6% pada September 2020 lalu. Kondisi ini juga didukung dengan kenaikan harga komoditi.
Kedua, sinyal pertumbuhan kredit yang perlahan tumbuh. Meski pertumbuhan kredit di September hanya tumbuh 0,12%, angka ini masih positif dibandingkan pertumbuhan kredit pada kuartal II/2020 lalu. Bank Indonesia memproyeksi, pertumbuhan kredit di kuartal IV/2020 akan membaik dibandingkan kuartal sebelumnya. Hal ini karena saldo bersih tertimbang mencapai 57,6%, yang lebih tinggi dibanding kuartal III lalu sekitar 50,7%.
(Baca Juga : Waspada! Berita Buruk Covid, IHSG Bisa Rontok Lagi )
Bahana TCW yang merupakan bagian dari Holding BUMN Asuransi dan Penjaminan, Indonesia Financial Group (IFG), mencermati aliran dana asing telah masuk pada Oktober, dan kian meningkat pada bulan November. Hal ini mendorong penguatan rupiah, sehingga memberi keyakinan bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga 3,75%, dengan situasi inflasi yang terkendali dan current account defisit turun bahkan berpotensi surplus di kuartal III/2020.
Aliran dana asing ini didorong dari terpilihnya Joe Bidden sebagai Presiden AS yang memberi harapan adanya perubahan pada sejumlah kebijakan yang mendorong rotasi investasi ke negara berkembang. Perlu diketahui, sejak tahun 2008, stimulus telah memperkuat ekonomi negeri Paman Sam ini sendirian. Hal ini menyebabkan investor asing relatif malas ke negara berkembang. Hal ini terlihat dari pergerakan IHSG yang underperform selama 10 tahun.
“Melihat beberapa indikator tersebut, kami melihat pasar obligasi dan saham berpotensi menguat, sebagai wadah dari investasi asing yang masuk. Adapun, jika yield obligasi turun, kita menargetkan investasi di pasar saham yang meningkat karena proyeksi imbal hasil yang lebih bagus,” ungkap Budi Hikmat dalam keterangan pers, Selasa (1/12/2020).
(Baca Juga : Analis: Kebijakan OJK-BEI Efektif Atasi Tekanan di Pasar Saham )
Sepanjang bulan November, IHSG telah menguat 12,77% dan telah berada pada level 5.783. Meski demikian, IHSG masih belum berada di level pada awal tahun, saat di level 6.323.
Budi berpendapat, IHSG masih berpotensi naik di tahun 2021. Rupiah juga berpotensi berada di bawah level 14.000 pada akhir tahun. Hal ini didukung dengan sentimen-sentimen perbaikan ekonomi Indonesia tahun depan, dan harapan akan vaksin yang mulai didistribusikan.
(her)
tulis komentar anda